Kasus penjualan aset lahan 6,9 hektare di Lombok Barat naik ke pidsus

id kasus penjualan,aset negara,kejati ntb

Kasus penjualan aset lahan 6,9 hektare di Lombok Barat naik ke pidsus

Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Kasus dugaan penjualan aset negara berupa lahan seluas 6,9 hektare milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, saat ini penanganannya naik ke Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat.

"Jadi, penyelidikan yang sebelumnya ada di bidang intelijen, sekarang penyelidikannya naik ke pidsus. Belum penyidikan," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Selasa.

Dengan begitu, jelasnya, penyelidikan oleh jaksa pidsus masuk dalam tahap pendalaman peran para pihak terkait. Serangkaian klarifikasi diagendakan oleh jaksa.

"Yang sudah diklarifikasi di intel, akan diagendakan lagi di pidsus, mungkin saja akan ada pendalaman keterangan untuk melihat perbuatan melawan hukum-nya," ujar dia.

Pada tahun 2017, lahan yang berada dalam status kelola Dinas Pertanian Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.

Setelah kepemilikan beralih, meskipun belum ada eksekusi pengadilan, lahan diduga diperjualbelikan dalam bentuk kaveling. Nilai jualnya diperkirakan mencapai Rp2 miliar.

Terkait dengan peralihan tersebut, pihak kejaksaan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).

Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.

Penggugat berinisial GHK mengklaim lahan seluas 6,9 hektare tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Dia menggugat pengurus lahan berinisial IW yang menduduki lahan.

IW yang dalam perkara tersebut sebagai tergugat, merupakan pengelola lahan. Penghasilan panen kelapa yang hidup di atas lahan itu disetorkan ke Pemda Lombok Barat. Setorannya Rp4 juta setiap tahun. Sebanyak 490 pohon kelapa diduga sudah ditebang dan dijual.

Kembali dalam gugatannya, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Hasilnya, majelis hakim dalam putusan perdatanya menolak gugatan GHK itu untuk seluruhnya.

Selanjutnya GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Hasilnya berbeda, majelis hakim menerima banding GHK serta membatalkan putusan PN Mataram dan menyatakan lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orang tuanya berinisial GGK.

Putusan bandingnya menyebutkan tergugat untuk menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat.

Dasar putusan banding itu pun yang menjadi dasar GHK mengajukan ke BPN Lombok Barat untuk menerbitkan kepemilikan lahan.