Catatan Akhir Tahun-MENAKAR KEBERHASIL PROGRAM NTB BUMI SEJUTA SAPI Oleh Masnun Masud

id

     Mataram, 13/12 (ANTARA) - Program unggulan Nusa Tenggara Barat Bumi Sejuta Sapi atau "NTB BSS" yang dicanangkan Gubernur TGH M Zainul Majdi pada 17 Desember 2008 dengan target populasi sapi mencapai satu juta ekor pada 2013 kini akan memasuki tahun terakhir.
     Di penghujung tahun 2012 ini NTB BSS itu akan memasuki tahun keempat. Tahun 2013 yang tinggal beberapa hari ini akan memasuki tahun terakhir dari program yang berlangsung selama lima tahun 2008-2013. Yang menjadi pertanyaan besar, mampukan pemerintah di "Bumi Gora" mewujudkan impian itu.
      Kepala Dinas Peternakan NTB H Hery Erfan Rayes dengan nada optimistis menyatakan, bahwa NTB BSS itu akan terwujud. Hingga kini populasi sapi di provinsi yang akan menjadi "gudang" ternak ini mencapai 896.000 ekor dari target 897.000 ekor.
      Ia menyatakan optimistis target tersebut akan tercapai, karena masih banyak penambahan populasi di kabupaten/kota yang belum didata dengan baik. Pihaknya juga tetap optimis program unggulan NTB BSS akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
      Menurut Hery, makna filosofis dari program NTB BSS itu sebenarnya bukan pada kata satu juta ekor sapi, tetapi lebih pada visi yang mengandung semangat untuk mempercepat tercapainya populasi optimal. Jadi tidak mutlak sejuta ekor sapi.     
      "Sebanarnya populasi satu juta ekor sapi itu bukan merupakan target utama. Kata sejuta tidak berarti angka mutlak, tetapi merupakan visi yang mengandung semangat untuk mempercepat tercapainya populasi optimal melalui program terobosan NTB BSS," ujarnya.
      Jenis sapi yang dikembangkan terutama adalah sapi Bali selain jenis sapi Hissar, Simental, Limousin, Brangus, Frisien Holstein, Brahman, dan sapi-sapi hasil persilangan berbagai jenis tersebut.
      NTB BSS merupakan program percepatan (akselerasi) pengembangan peternakan sapi dengan lebih mengutamakan pemberdayaan sumberdaya lokal dengan tujuan agar sesegera mungkin dapat tercapai populasi optimal sesuai dengan daya dukung wilayah.
      Dengan cara ini, katannya. peternakan sapi di NTB dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan masyarakat pedesaan, memenuhi kebutuhan daging nasional, memenuhi permintaan bibit sapi bagi daerah-daerah lain dan memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam daerah.      
      Dengan demikian, kata Hery, secara tidak langsung peternakan sapi diharapkan dapat menjadi lokomotif penggerak atau pengungkit sektor ekonomi lainnya dalam rangka meningkatkan perekonomian, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
      Isu strategis terkait TB BSS itu dikonsentrasikan pada tujuh permasalahan yang paling penting dalam pengembangan sapi di NTB, yaitu populasi, produksi, dan produktivitas ternak sapi yang belum optimal, tata ruang padang penggembalaan belum ada sehingga pemanfaatannya belum optimal.
      Pemanfaatan teknologi pakan, lahan berbasis pakan, dan limbah pertanian/industri belum optimal Penyediaan daging Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) masih terbatas serta pengembangan SDM dan kelembagaan belum efektif dan efisien.
      Selain itu sarana dan prasarana untuk pengembangan peternakan sapi belum memadai, investasi dalam bidang peternakan masih sangat terbatas.
      Karena itu dalam upaya peningkatan populasi, produksi, dan produktivitas sapi ditetapkan empat kebijakan pokok, yaitu "3S" atau Satu induk  Satu anak Satu tahun. Tujuan kebijakan ini untuk mengoptimalkan produktivitas induk sapi, sehingga meningkatkan jumlah kelahiran pedet.
     Pengendalian pengeluaran sapi bibit betina. Kebijakan ini berupa pembatasan pengeluaran sapi bibit betina selama tiga tahun pertama program NTB BSS (2009-2011), yang semula sekitar 13.000 ekor menjadi 8.500 ekor per tahun.
     "Dengan pembatasan pengeluaran sapi bibit betina selama periode tertentu maka jumlah induk pada periode berikutnya akan meningkat," kata Hery dengan nada optimis.
      Dalam kaitan itu juga dilasanakan kebijakan pengendalian pemotongan betina produktif. Ini dihajatkan untuk pengurangan persentase pemotongan betina produktif terhadap jumlah pemotongan, dari 20 persen pada 2009 menjadi 10 persen tahun 2013 dan 5 persen  pada 2018.
      Kebijakan ini merupakan bagian dari ikhtiar meningkatkan jumlah induk produktif. Sedangkan pengendalian penyakit pedet dilakukan melalui upaya pengurangan jumlah kematian pedet yang diakibatkan oleh parasit dengan memberikan obat cacing gratis untuk pedet umur 1 sampai 6 bulan. Kebijakan ini penting, karena hampir 70 persen kematian pedet diakibatkan oleh parasit.
      Tata ruang padang penggembalaan di wilayah Pulau Sumbawa juga perlu diatur sehingga pemanfaatannya menjadi optimal. Selama ini pemanfaatan padang penggembalaan bersifat turun-temurun, tanpa melibatkan campur tangan pemerintah untuk perbaikan ataupun perlindungannya.
      Hery mengakui, masalah pakan ternak merupakan salah satu faktor kendala dalam pengembangan peternakan sapi. Sementara ini pakan ternak ruminansia, terutama sapi, berasal dari padang penggembalaan, sebagian wilayah hutan, rumput alam pada lahan-lahan yang tidak digunakan untuk pertanian, dan limbah/hasil sisa produksi pertanian dan industri.           
     Lahan-lahan sumber pakan tersebut ke depan cenderung semakin sempit sehingga ketersedian pakan ternak akan berkurang. Karena itu, introduksi teknologi pakan ternak sangat diperlukan sehingga mengurangi ketergantungan ketersediaan lahan untuk pengembangan ternak sapi.   
                                      Persoalan pakan
     Persoalan pakan ternak itu masih menjadi kendala termasuk di Provinsi NTB. Karena itu perlu dicarikan solusi terbaik guna menyukseskan program unggulan NTB BSS yang juga penting dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Nasional (PSDN) 2014.
     Masalah pakan itu menjadi agenda bahasan pada Seminar Nasional bertajuk "Membangun Center of Excellence untuk Pengembangan Industri Peternakan Menuju Swasembada Daging Nasional" yang digelar dalam rangkaian Acara Panen Pedet 2012.
      Seminar tersebut digelar atas kerja sama antara Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pertanian, Pemda Provinsi NTB dan LIPI.
     Sebenarnya dari sisi populasi sapi secara nasional sudah swasembada. Hasil Sensus 2011 menunjukkan populasi sapi mencapai 14,8 juta ekor. Jumlah ini kalau ditambah dengan kerbau dan sapi perah menjadi 16,8 juta, maka jumlahnya lebih banyak lagi.
     Masalahnya di pakan, secara makro nasional, jumlah pakan kita potensial, kita banyak memiliki sumber pakan, tapi masalahnya ada di ketersediaan," papar Direktur Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Mursyid Maksum.
     Pakan ternak itu menurut Mursyid sangat mempengaruhi roduktivitas, yaitu berat sapi yang masih di bawah optimal, demikian juga pertambahan bobot sapi selama masa pengembangan juga tidak maksimal.
    "Selain itu, kita juga menghadapi masalah asupan pakan pada sapi yang masih relatif rendah. Peternak tidak pernah menghitung asupan pakan yang sesuai dengan perkembangan sapi sehingga mengakibatkan  bobot sapi tidak maksimal," ujarnya.
     Persoalan pakan juga akan berpengaruh ke faktor lain, terutama derajat kesehatan ternak karena pakan yang bagus akan menjadikan ternak sehat dan meningkatkan kualitas sapi potong.
     Kepala Bappeda NTB Rusiady Sayuti mengakui permasalahan pakan tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan peternakan sapi di NTB, terutama untuk memacu pencapaian target "NTB Bumi Sejuta Sapi" pada 2014.
      "Saat ini, ketersediaan pakan belum bisa terus menerus, pada musim kemarau relatif susah mencari pakan. Masalah kita adalah bagaimana menyediakan pakan sepanjang tahun," ujar Rusady.
      Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemprov NTB sudah melakukan penelitian tentang pakan dan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) khusus untuk pengembangan pakan yaitu Pusat Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia (P3TR) untuk penyediaan jerami dan sumber makanan yang lain.
        Sementara itu Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi mengatakan pihaknya ikut membantu mengatasi kelangkaan daging sapi di wilayah Jabodetabek dengan mengirim sebanyak 5.000 ekor sapi potong.
       "Ketika terjadi kelangkaan daging sapi di Jabodetabek yang menyebabkan harganya naik mencapai Rp100 ribu per kilogram, alhamdulillah NTB bisa berkontribusi dengan menyuplai 5.000 ekor sapi,"    
       Panen pedet itu merupakan bagian dari program unggulan NTB BSS sebagai salah satu program percepatan meningkatkan populasi di di Bumi "Gora NTB" dan ini sekaligus untuk mendukung Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau (PSDS/K) 2014.
      "Berkat bapak-ibu peternak, akhirnya lonjakan harga daging sapi di Jabodetabek dapat diminimalkan. Karena itu kami mengharapkan perhatian semakin meningkat dari Kementerian Pertanian, sehubungan dengan semakin semangatnya para peternak di NTB untuk meningkatkan hasil usaha ternaknya.
       Intinya, kata Zainul, berikanlah provinsi yang tinggi potensi sektor peternakannya, berupa dana yang dibutuhkan dalam jumlah yang memadai.
       Menurut data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, ternak sapi bibit dan potong yang diantarpulaukan  sepanjang 2012 mencapai 37.000 ekor, atau sekitar 30 persen dari potensi yang dimiliki.
       Jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan itu telah sesuai dengan kebijakan yang ditempuh terkait program NTB-BSS.  Pemerintah Provinsi NTB membatasi pengeluaran ternak sapi maksimal 30 persen dari potensi sapi bibit dan sapi potong yang dapat diantarpulaukan ke provinsi lain.
        Sapi bibit yang diantarpulaukan itu tergolong "grade" tiga karena "grade" satu dan dua harus tetap dipertahankan agar populasinya semakin bertambah, dan pada akhirnya peternak makin sejahtera.
        Sapi potong yang diantarpulaukan juga tergolong sapi yang kurang produktif atau layak dipotong sesuai permintaan konsumen.
        Sejatinya keberhasilan program unggulan yang dilaksanakan Pemorv NTB itu sangat tergantung dari dukungan semua pihak, baik petani pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. NTB BSS ini juga memiliki peran strategis dalam rangka menyukseskan PSDS/K 204. (*)