Sekda NTB Dinilai Tidak Memahami UU Kepariwisataan

id bppd ntb,pariwisata ntb,prof asikin,sekda ntb

Sekda NTB Dinilai Tidak Memahami UU Kepariwisataan

Prof Zainal Asikin. (Foto Antaranews/Iman).

Kalau Sekda NTB paham, tidak mungkin dilanggar
Mataram (Antaranews NTB) - Guru besar ilmu hukum Universitas Mataram Prof Zainal Asikin menilai Sekda NTB Rosiady Sayuti tidak memahami peraturan karena menunjuk Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah tanpa melalui mekanisme sesuai UU Nomor 10/2009 tentang Kepariwisataan.

"Kalau Sekda NTB paham, tidak mungkin dilanggar," kata Asikin kepada pers di Mataram, Jumat.

Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 10/2009 tentang Kepariwisataan khususnya Pasal 45 diatur soal pengurus Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD).

Unsur penentu kebijakan BPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berjumlah 9 orang anggota terdiri atas wakil asosiasi kepariwisataan 4 orang, wakil asosiasi profesi 2 orang, wakil asosiasi penerbangan 1 orang dan pakar/akademisi 2 orang.

"Nanti mereka inilah yang akan menentukan siapa yang menjadi Ketua BPPD, bukan ditunjuk oleh sekda," tegasnya.

Menurutnya, alasan sekda menunjuk Ketua BPPD hanya karena bisa berbahasa Arab, sangat tidak tepat. Sebab ada aturannya tertuang pada Pasal 45 bahwa yang menunjuk adalah asosiasi bukan pemerintah.

"Pemerintah tidak boleh intervensi, tugasnya hanya mengeluarkan surat keputusan (SK). Ini saya lihat, ada intervensi dan campur tangan pemerintah," katanya.

Asikin menilai, jika ada surat keputusan terkait kepengurusan BPPD yang diterbitkan oleh gubernur, tanpa melihat ada aturan yang dilanggar, maka kepengurusan BPPD yang baru bertentangan dengan undang-undang.

"Kalau mereka paham tidak mungkin dilanggar," katanya.

Asikin menduga ada unsur politis dalam penunjukan pengurus BPPD, bukan menjalankan unsur norma.

"Masak bapak itu aja bisa bahasa Arab," katanya.

Asikin, menyarankan kepada asosiasi kepariwisataan, jika keberatan atas keputusan Sekda NTB tersebut, menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena ada pelanggaran SK tersebut.

"Ketika proses penunjukan itu dinilai tidak memiliki dasar kuat, itulah yang menimbulkan kisruh, karena masing-masing organisasi/asosiasi tidak terwakili," ujar Asikin.

Menurut dia, jika kepengurusan BPPD NTB tetap dipaksakan, maka akan berimplikasi hukum.

"Sesuatu yang melanggar hukum jelas tidak sah, artinya berbahaya, karena di dalamnya banyak menyangkut kebijakan, termasuk gaji yang diterima oleh pengurus," kata Asikin. (*)