Mataram (ANTARA) - Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip karya fenomenal George Orwell (1945) yang berjudul Animal Farm. Melalui karyanya itu, Orwell menceritakan dengan sangat apik bahwa suatu malam, Major, si babi tua yang bijaksana, mengumpulkan para binatang di peternakan untuk bercerita tentang mimpi anehnya. Setelah sekian lama hidup di bawah tirani manusia, Major mendapat visi bahwa kelak sebuah pemberontakan akan dilakukan binatang terhadap manusia, menciptakan sebuah dunia di mana binatang akan berkuasa atas dirinya sendiri.
Singkatnya, para hewan ternak dengan khidmat mendengar pidato panjang si Major tua sebagai bentuk perlawanan untuk mengakhiri perbudakan yang dilakukan oleh manusia terhadap para hewan ternak. Si Major dalam pidatonya menyeru: “Ingatlah tugas kalian untuk tetap memusuhi manusia dengan segala kerakusannya. Apapun yang berjalan dengan dua kaki, tetaplah musuh. Apapun yang berjalan dengan empat kaki, atau bersayap, adalah teman. Bahkan, jika kalian berhasil mengalahkan manusia, jangan tiru kejahatannya.”
Apa yang dikritik Orwell dalam novel alegoris tersebut sejatinya merupakan gambaran tajam tentang kerakusan, eksploitasi, dan dominasi manusia terhadap mahkluk hidup, termasuk atas alam semesta. Pandangan bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu ini kemudian disebut sebagai antroposentrisme. Paradigma ini telah lama menjadi akar dari berbagai krisis lingkungan hidup yang kini kita saksikan. Dalam perspektif antroposentrisme, alam dianggap sebagai objek pasif yang hanya bernilai sejauhmana dapat memenuhi kebutuhan manusia. Paradigma ini pada akhirnya melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang merusak alam karena dijadikan sebagai komoditas ekonomi bagi kepentingan manusia (Keraf & Capra, 2014).
Luka Ekologi di Raja Ampat
Dalam konteks Indonesia hari ini, wajah antroposentrisme telah menciptakan luka ekologis melalui kawasan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Data Greenpeace melaporkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah dirusak akibat aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Organisasi lingkungan global ini memperingatkan bahwa operasi tambang di kawasan tersebut tidak hanya mengancam keutuhan ekosistem dan keanekaragaman hayati, tetapi juga berisiko menghancurkan potensi ekowisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi berkelanjutan di wilayah itu (Tempo, 2025).
Kebijakan pemerintah yang menempatkan skema hilirisasi nikel sebagai poros pembangunan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem dan hak masyarakat lokal menunjukkan bias struktural antroposentrisme dalam perumusan kebijakan publik. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang aktivitas tambang di pulau-pulau kecil. Namun kenyataannya sejak 2017, PT GAG Nikel telah mengantongi izin tambang untuk beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat.
Dalam perspektif sosiologi lingkungan, hal ini menggambarkan terjadinya alienasi ekologis yakni tercerabutnya relasi sosial antara manusia dengan alam yang ditopang oleh institusi negara dan korporasi. Negara, alih-alih menjadi pelindung ruang hidup warganya, namun justru bertindak sebagai fasilitator kepentingan modal dengan membuka ruang legal bagi praktik ekstraksi sumber daya alam secara masif. Regulasi yang seharusnya melindungi kawasan konservasi dan masyarakat adat justru dilonggarkan atau diabaikan demi memuluskan agenda pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif. Hasilnya adalah kerusakan ekologis yang sistematis, hilangnya keanekaragaman hayati, serta terpinggirkannya praktik ekonomi masyarakat lokal.
Ironisnya, ketika tekanan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil meningkat, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia hanya merespons dengan pembekuan sementara izin tanpa ada evaluasi serius atau pencabutan permanen. Langkah ini lebih terkesan sebagai respons politik sesaat, bukan langkah strategis untuk menjaga ekosistem dan hak masyarakat adat. Negara, dalam hal ini gagal menjalankan mandatnya sebagai pelindung ruang hidup rakyat. Di mana struktur kebijakan dan logika pembangunan nasional melaui skema hilirisasi nikel yang digadang-gadang akan membawa kesejahteraan ternyata justru memunculkan ketimpangan baru, konflik agraria, dan kerusakan permanen pada lanskap ekologis.
Perlunya Reformasi Kebijakan Ekologis
Krisis ekologis adalah cermin kegagalan moral manusia. Selama nilai pertumbuhan selalu diukur dengan logika pasar, selama itu pula kita akan berjalan menuju kehancuran lingkungan.
Oleh karena itu, krisis lingkungan hidup di Raja Ampat bukan semata-mata kerusakan lingkungan fisik, melainkan juga krisis keadilan sosial dan ekologi yang saling terkait. Maka, penyelesaian persoalan ini tidak cukup dengan pendekatan teknokratis atau pemulihan ekologis semata, tetapi juga memerlukan reformasi dan penegakan kebijakan yang menempatkan keadilan ekologis dan kedaulatan komunitas sebagai pijakan utama pembangunan.
Tidak hanya itu, evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat sipil dan komunitas adat. Negara harus memastikan bahwa proses pembangunan bersifat partisipatif, adil, dan berpijak pada prinsip bahwa lingkungan hidup yang sehat adalah hak setiap generasi. Tanpa reformasi kebijakan yang berani dan berkeadilan, krisis ekologis akan terus meluas dan menjadi warisan kehancuran yang kita teruskan kepada masa depan.
Terakhir, sebagai bahan perenungan, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pesan mendalam dari seorang anak Papua yang terdampak akibat tambang nikel di Raja Ampat: “Kami tak pandai berdebat di meja rapat, kami tak punya kekuatan untuk menulis undang-undang, tapi kami tau persis arti kehilangan”.
*) Penulis Sosiolog dan Praktisi KONSEPSI NTB