Mataram, 30/3 (ANTARA) - Sekitar 80 orang mahasiswa Universitas 45 Mataram menggelar aksi unjuk rasa di Mataram, Rabu, sebagai aksi solidaritas terhadap korban penganiayaan Atharuddin (21), yang dilakukan sekelompok warga yang diduga preman, 22 Maret lalu.
Aksi solidaritas korban penganiayaan itu digelar di tiga lokasi yakni di Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), perempatan Jalan Langko-Udayana-Airlangga-Pejanggik dan gedung DPRD NTB.
Para pengunjuk rasa itu menamakan diri Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (AMAK) yang dikoordinir Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan Universitas 45 Mataram Artharuddin, selaku korban penganiayaan. Ketua BEM Universitas 45 Mataram Halmuni juga ikut dalam aksi unjuk rasa itu.
Mereka menggunakan kain putih dikepala bertuliskan AMAK dan membawa spanduk serta pamflet yang antara lain bertuliskan "jangan biarkan kampus kami dipolitisir", "mari satukan tekad berjuang untuk pendidikan", "Berikan jaminan berekspresi dan berpendapat", dan "Pak polisi, cegah premanisme masuk ke kampus".
Para mahasiswa itu menuntut penghentian segala bentuk kapitalisasi pendidikan, berikan jaminan kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul dimuka umum, dan menghentikan segala bentuk kekerasan dan intimidasi pada mahasiswa.
Mereka juga menuntut agar pihak berwajib segera menangkap dan mengadili pihak yang melakukan penganiayaan terhadap mahasiswa Universitas 45 Mataram, termasuk aktor intelektualnya.
Saat berunjuk rasa di depan Polda NTB, massa AMAK ditemui oleh Staf Unit II Reskrim Polres Mataram selaku penyidik yang menangani kasus pemukulan Atharudin yakni Muhammad Bai Juli.
Muhammad menjelaskan bahwa penyidik Polres Mataram sudah melakukan serangkaian upaya penanganan tindak pidana penganiayaan itu, seperti telah memanggil saksi-saksi baik dari pihak mahasiswa maupun pejabat Universitas 45 Mataram yang dianggap mengetahui tindakan penganiayaan itu.
Pada 28 Maret lalu, penyidik Polres Mataram telah meminta keterangan Rektor Universitas 45 Mataram H. Lalu Sabidin Rifaini, dan Wakil Rektor (WP) II Universitas 45 Mataram Hamdani, guna menelusuri orang-orang yang menyuruh kelompok preman itu untuk menganiaya aktivitas mahasiswa yang tengah berunjuk rasa di kampus.
Kini, perkara tindak pidana penganiayaan itu masih terus dikembangkan, karena masih banyak saksi yang akan dipanggil dan dimintai keterangan.
"Pengembangannya mengarah kepada pengumpulan alat, pelaku pemukulan dan aktor intelektualnya," ujar Muhammad.
Ketika berunjuk rasa di DPRD NTB, massa AMAK ditemui anggota Komisi I DRRD NTB Muh. Amin, SH, yang mengatakan akan segera menindaklanjuti kasus kekerasan yang terjadi di Kampus Universitas 45 Mataram itu dan berjanji akan mengontrol dan mengawasi perkembangan kasus tersebut hingga tuntas.
Komisi I DPRD Provinsi NTB juga akan melakukan rapat internal membahas kasus kekerasan yang terjadi di Kampus Universitas 45 Mataram dan akan memanggil rektor, para intelektual dan pihak-pihak yang terkait dalam kasus kekerasan tersebut.
Pada 22 Maret lalu, sekelompok warga yang diduga preman nekat memasuki kampus Universitas 45 Mataram, dan menganiaya Ketua BEM Fakultas Perikanan Atharuddin yang tengah menggelar aksi unjuk rasa.
Kelompok preman yang jumlahnya lebih dari 15 orang itu mendatangi kampus itumenggunakan kendaraan pribadi jenis Suzuki Panther Nopol DR 9316 AC.
Beberapa orang pemuda yang menunjukkan ciri-ciri preman itu kemudian mendekati kelompok mahasiswa yang tengah menggelar aksi unjuk rasa dalam kampus Universitas 45 Mataram itu.
Aksi unjuk rasa itu sudah berlangsung sejak Kamis (17/3) dan para mahasiswa sempat membangun tenda di halaman kampus sehingga aksi massa itu terus berlanjut.
Tuntutan mahasiswa dalam aksi massa itu yakni Rektor Universitas 45 Mataram H. Lalu Sabidin Rifaini, dan Pengawas Yayasan Lalu Kushadianggrat alias Mamiq Adot, mundur dari jabatannya.
Sebelum tindak pidana penganiayaan itu terjadi, kelompok preman itu menanyakan satu persatu nama mahasiswa pengunjuk rasa itu hingga menemukan Artharudin selaku Ketua BEM Fakultas Perikanan dan Kelautan, dan menganiayanya.
Karena itu, para mahasiswa menduga kelompok preman itu merupakan orang suruhan pihak yang tidak menghendaki aksi massa dalam kampus itu. (*/Riko)