Mataram, 15/12 (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemkes) mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan keperawatan jiwa, bagi para medis di berbagai institusi pelayanan kesehatan di kabupaten/kota hingga kecamatan juga dapat melayani pasien gangguan jiwa.
"Sudah dialokasikan anggarannya di 2013, dari dana dekonsentrasi," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, setelah meninjau kondisi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu sore.
Nafsiah mengaku tidak ingat jumlah anggaran pelatihan keperawatan jiwa itu, bahkan ia tidak ingin mempersoalkan jumlah dana untuk suatu program pembangunan kesehatan.
Menurut dia, bukan hanya soal jumlah dana, tetapi yang terpenting adalah komitmen pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran pelatihan itu.
"Bukan hanya jumlahnya, tetapi yang terpenting komitmen pemerintah daerah, kita kasih ke daerah, tetapi pemerintah tidak komitmen tentu tidak ada gunanya," ujarnya.
Nafsiah mengatakan, dana dekonsentrasi untuk pelatihan keparawatan jiwa itu diperuntukan kepada 33 provinsi di Indonesia, namun tidak mencakup semua kabupaten/kota.
Kabupaten/kota yang menjadi sasaran dana pelatihan itu akan dipilih, dan disesuaikan dengan perkiraan jumlah penderita gangguan kejiwaan di daerah tersebut.
"Nanti dipilih kabupaten mana yang paling membutuhkan anggaran tersebut, lalu diberikan dan tenaga medis yang ada harus dilatih, ditingkatkan kemampuannya, agar juga bisa melayani pasien gangguan kejiwaan," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr H Moch Ismail mengatakan, pihaknya tengah mengupayakan semua puskesmas memiliki perawat kejiwaan, agar dapat terbentuk sistem pelayanan kesehatan jiwa yang terarah dan komprehensif.
"Sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif itu yang diharapkan, sehingga diupayakan semua puskesmas miliki perawat kesehatan jiwa. Tentu diharapkan dukungan berkelanjutan dari Kementerian Kesehatan," ujarnya.
Ismail mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, guna mendapatkan tenaga keperawatan jiwa, selain berupaya memberi pelatihan kepada tenaga perawat yang ada.
Demikian pula pemerintah kabupaten/kota, yang juga berkewajiban memberikan pelatihan keperawatan jiwa kepada perawat yang bertugas di puskesmas atau layanan kesehatan lainnya.
"Setiap tahun diupayakan ada pelatihan SDM bidang kesehatan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan, terutama puskesmas yang banyak memiliki perawat kesehatan jiwa, sehingga pasien gangguan jiwa yang membutuhkan pelayanan dibawa ke rumah sakit, setelah keluar dari rumah sakit dan kembali mencuat gangguan kejiwaan, sanak keluarganya enggan bawa kembali ke rumah sakit. Kalau saja di puskesmas sudah ada perawat kesehatan jiwa, itu sangat membantu," ujarnya.
Ismail mengaku, telah mengagendakan kebutuhan perawat kesehatan jiwa itu dalam naskah Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) NTB, yang kemudian dibahas dalam Musrenbang Nasional, di Jakarta, 26-27 April 2012.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) di wilayah NTB 2007 (survei berikut 2017), rumah tangga dewasa yang menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa berat mencapai 0,96 persen dari total penduduk NTB yang mencapai 4,2 juta jiwa.
Sementara gangguan kesehatan jiwa ringan mencapai 12,8 persen, sehingga menempatkan peringkat NTB diatas nasional yang mencapai 11,6 persen dan dari 33 provinsi NTB, dan berada pada peringkat 10 besar nasional.
Jika mengacu kepada data SKMRT itu maka ada sekitar 40 ribu penderita gangguan jiwa berat dan lebih dari 500 ribu orang warga NTB menderita gangguan jiwa ringan.
SKMRT itu juga menunjukkan gangguan mental emosional yang ditemukan pada penduduk pada usia 15 tahun ke atas.
Dengan demikian, terdapat puluhan ribu orang dewasa di NTB yang teridentifikasi menderita gangguan kejiwaan, yang tentunya membutuhkan pertolongan medis dan terapi kejiwaan. (*)