Mataram (ANTARA) - Tim kuasa hukum DPRD Nusa Tenggara Barat, menepis opini yang berkembang di masyarakat bahwa langkah hukum yang ditempuh lembaga legislatif dengan melaporkan aktivis yang juga Direktur LSM Logis, M Fihiruddin ke polisi sebagai upaya pembungkaman terhadap iklim demokrasi di wilayah itu.
"Kami ingin mengklarifikasi adanya narasi yang seolah-olah dibangun bahwa Fihiruddin dipidana karena bertanya. Padahal rangkaian apa yang dikemukakan Fihiruddin adalah bukan pertanyaan. Tetapi narasi-narasi yang di bangun justru pernyataan," kata Ketua Tim Kuasa Hukum DPRD NTB, Prof Zainal Asikin di Mataram, Selasa.
Baca juga: Tuduh anggota DPRD NTB suap BNN usai tertangkap konsumsi narkoba, ketua LSM jadi tersangka
Baca juga: Tersangka pencemaran nama baik DPRD NTB resmi ditahan
Ia menyatakan penyidik dalam hal ini Polda NTB dalam menindaklanjuti kasus ini pun tidak memakai ahli hukum dari Universitas Mataram (Unram) sebagai saksi ahli. Melainkan ahli-ahli hukum dari Jawa, untuk menghindari konflik kepentingan dalam persoalan tersebut.
"Dan menurut ahli-ahli hukum itu, apa yang disampaikan bukan lagi pertanyaan melainkan sudah pernyataan dan itu tuduhan," ujarnya.
"Oleh karena itu, karena dianggap memenuhi unsur dua alat bukti, sehingga APH menetapkan Fihiruddin sebagai tersangka," sambung Prof. Asikin.
Guru Besar Fakultas Hukum Unram ini, menambahkan, apakah ada ruang perdamaian dalam kasus ini. Dirinya menegaskan bahwa ruang damai semestinya sejak dilakukan, ketika DPRD melayangkan Somasi kepada yang bersangkutan, namun rupanya itu tidak digunakan oleh yang bersangkutan. Padahal jika itu dimanfaatkan menurut Asikin, maka kasus ini tidak akan berlanjut sampai ranah hukum.
"Andai mas Fihir datang dan meminta maaf saat Somasi itu selesai. Tapi ini kan tidak, justru narasi yang dibangun DPRD meminta damai. Kemudian menggugat DPRD di pengadilan dibuat pernyataan seolah-olah DPRD tidak mau berdamai. Kenapa di pengadilan mau berdamai sebelumnya tidak. Jadi, jangan di bolak balik," tegasnya.
Sebab, lanjut Prof. Asikin dalam Peraturan Mahkamah Agung RI, Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan bahwa, penggugat yang wajib hadir bukan tergugat.
“Justru semakin aneh, saat ini narasi yang berkembang bahwa DPRD melakukan pembungkaman terhadap rakyat. Kalau mengkritik, silahkan saja tidak masalah, tapi harus bisa membedakan kritik dengan fitnah. Kami menegaskan, tidak ada pembungkaman demokrasi, silahkan saja mengkritisi yang konstruktif," ujarnya.
Namun demikian, seandainya perdamaian itu kembali diupayakan pihak Fihiruddin, sebagai kuasa hukum, pihaknya menyerahkan sepenuhnya ke pelapor dalam hal ini DPRD NTB. Meskipun ada ruang yang sedang berproses.
Sementara itu disinggung terkait penerapan pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terhadap Fihiruddin, yang dinilai terlalu prematur. Asikin, menegaskan bahwa penerapan pasal tersebut bukan dari pihak kuasa hukum DPRD NTB, melainkan tim penyidik Reskrimsus Polda NTB atas dasar pertimbangan para ahli yang didatangkan dari Jawa.
"Jadi itu ranah penyidik, bukan kami dari kuasa hukum," katanya.
Sementara itu, tim kuasa hukum lainnya Burhanuddin juga menepis bahwa laporan lembaga ke polisi terhadap Fihiruddin adalah bersifat pribadi Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda.
"Jadi Bu Isvie melapor itu bukan pribadi. Sebagai anggota maupun Ketua DPRD itu tetap melekat terhadap Bu Isvie. Apalagi saat melapor, didampingi semua pimpinan dan ketua fraksi. Artinya sangat jelas, sehingga tidak bisa dianggap itu laporan pribadi," terangnya.
Oleh karena itu, selaku tim penasehat hukum, karena perkara ini tetap berlanjut Pengadilan Negeri (PN) Mataram, pihaknya pun tetap mengikuti tahapan laporan M Fihiruddin.
"Saat ini dalam sidang perdata, sedang pembacaan gugatan," katanya.
Sebelumnya, penyidik kepolisian secara resmi melakukan penahanan terhadap tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik DPRD, M. Fihiruddin pada Jumat (6/1).
Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto mengatakan bahwa penyidik melakukan penahanan usai yang bersangkutan menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka.
"Terhitung mulai hari ini hingga 20 hari ke depan, tersangka MF resmi menjalani masa penahanan tahap pertama di Rutan Polda NTB," kata Artanto.
Dia menjelaskan bahwa penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka dengan beberapa pertimbangan, yakni mengantisipasi tersangka menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan, dan melarikan diri.
"Jadi, penahanan tersangka ini sifatnya subjektif penyidik. Kami melakukan hal itu (penahanan) sesuai dengan prosedur," ucap dia.
Dalam kasus ini pun Artanto menyampaikan bahwa penyidik menetapkan M Fihiruddin sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 14 dan atau Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana itu mengatur persoalan penyebaran berita bohong yang dapat mengakibatkan keonaran di tengah masyarakat dengan ancaman pidana paling berat 10 tahun penjara.
Kemudian untuk Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik itu mengatur soal menyiarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan antar individu maupun kelompok.
Untuk ancaman pidana-nya, diatur dalam Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Tersangka MF sebelum menjalani penahanan di Rutan Polda NTB, menyampaikan bahwa dirinya menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Dia menunjukkan penahanan ini sebagai bagian dari upaya dirinya bersikap kooperatif terhadap proses hukum.
"Penjara ini cuma pindah tempat tidur saja," kata Fihiruddin.
Ketua LSM tuduh DPRD NTB bungkam demokrasi, kuasa hukum tepis tudingan
Tapi ini kan tidak, justru narasi yang dibangun DPRD meminta damai