Surabaya (ANTARA) - Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menyebut pemberian abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto sebagai langkah politik berani Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan komitmen terhadap rekonsiliasi nasional pascapemilu sekaligus menjadi terobosan penting dalam ranah hukum dan politik Indonesia.
“Tom memang membuat keputusan sebagai pejabat publik, tapi keputusan itu bagian dari diskresi kebijakan. Dalam sistem hukum pidana modern, kebijakan keliru tidak serta-merta dipidana tanpa bukti niat jahat yang jelas,” kata Hardjuno di Surabaya, Senin (4/8).
Hardjuno, yang juga kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, menilai vonis terhadap Tom Lembong sejak awal menyimpan kelemahan karena tidak adanya bukti kuat terkait unsur niat jahat (mens rea). Oleh sebab itu, menurutnya, abolisi merupakan koreksi yang layak diberikan Presiden terhadap kriminalisasi keputusan kebijakan publik.
“Ketika hukum dipakai untuk menghukum tafsir ideologi atau kebijakan, itu bukan keadilan, tapi pembalasan,” ujarnya.
Baca juga: Tom Lembong resmi bebas dari Rutan Cipinang
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengirim dua Surat Presiden (Surpres) ke DPR RI pada 30 Juli 2025. Surpres pertama bernomor R42/Pres/07/2025 terkait pemberian amnesti terhadap 1.178 terpidana termasuk Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, dan Surpres kedua bernomor R43/Pres/07/2025 mengenai abolisi untuk Tom Lembong.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat Presiden nomor R-43/Pres/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong dan Surpres Nomor R42/Pres/07/2025 tentang pemberian amnesti bagi 1.178 orang terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP),” kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers, Kamis (31/7/2025) malam.
Baca juga: Abolisi dan Amnesti: Pengertian, fungsi, dan dasar hukum yang perlu diketahui
Lebih lanjut, Hardjuno menyebut langkah Prabowo bukan hanya keputusan politik, tetapi bentuk pemulihan terhadap akal sehat hukum. Ia mengingatkan bahwa pemidanaan terhadap kebijakan administratif bisa menimbulkan preseden buruk dalam praktik demokrasi dan tata kelola birokrasi.
“Abolisi memang tidak menghapus status pidana, tetapi menghentikan proses kriminalisasi terhadap tindakan administratif atau diskresioner yang dipolitisasi,” katanya.
Meski mendukung langkah ini, Hardjuno tetap menekankan pentingnya transparansi agar publik tidak melihatnya sebagai bentuk impunitas. Ia menegaskan bahwa negara wajib menyampaikan narasi hukum dan moral di balik keputusan semacam ini.
“Presiden sudah mengambil langkah berani, sekarang waktunya menjelaskan narasinya dengan terang,” ujarnya.
Baca juga: Tom Lembong katakan abolisi tak hanya bebaskan fisik saya, tapi pulihkan nama baik
Soal pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Hardjuno menilai kebijakan itu sebagai bagian dari semangat rekonsiliasi politik pascapemilu. Namun, ia mengingatkan pentingnya komunikasi terbuka agar keputusan ini dapat diterima publik secara objektif.
“Keputusan Presiden tentu dilandasi semangat rekonsiliasi, dan itu patut dihargai. Tapi demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum, penting juga untuk menyampaikan secara gamblang dasar dan proses korektifnya,” tegas Hardjuno.
Dengan demikian, menurut Hardjuno, langkah Presiden bisa menjadi titik balik yang baik bagi pemulihan kepercayaan publik. Terutama bila dikawal dengan penjelasan yang jujur dan terbuka demi keadilan substantif.
Baca juga: Menkum Supratman menjelaskan alasan pemberian abolisi ke Tom dan amnesti ke Hasto
Baca juga: Hardjuno Wiwoho: Kwik Kian Gie, penjaga nurani publik dalam skandal BLBI
Baca juga: Hardjuno soroti putusan tipikor Thomas Lembong: Konstruksi hukum dipertanyakan
Baca juga: Hardjuno: Negara demokrasi membatasi Rangkap Jabatan, Indonesia kok malah longgar
Baca juga: Ramai soal Andrew Hidayat, Hardjuno Wiwoho: Jangan korbankan kredibilitas bursa demi euforia IPO Kripto
