Mataram (Antara Mataram) - Lebih dari 50 mahasiswa Universitas Mataram menggelar unjuk rasa menolak sejumlah kebijakan Rektor Prof Sunarpi, yang menurut mereka tidak berpihak kepada mahasiswa.
Aksi massa itu berlangsung Sabtu sejak pukul 09.00 Wita hingga pukul 12.00 Wita, yang diawali di dalam kampus hingga berakhir di depan pintu gerbang utama perguruan tinggi negeri itu.
Aksi di depan pintu gerbang kampus itu, sempat diwarnai bentrokan fisik antara mahasiswa dengan satpam kampus, yang diawali dengan upaya menghalau ulah mahasiswa yang hendak membakar ban bekas di jalan umum.
Jalan di depan pintu gerbang utama kampus Unram itu merupakan Jalan Majapahit, salah satu ruas jalan protokol di Kota Mataram, sehingga ramai dilalui kendaraan bermotor.
Mahasiswa sempat mencopot spanduk yang dipasang pihak kampus di bundaran depan pintu gerbang kampus, kemudian membakarnya di ruas jalan protokol itu.
Selanjutnya mahasiswa meletakan ban bekas dalam kobaran api, namun aparat kepolisian menghalaunya dan Satpam Unram ikut menghalau hingga kejar-kejaran dan bentrokan fisik tak terhindarkan.
Sejumlah mahasiswa babak belur dipukul Satpam Unram, demikian pula seorang Satpam terkena pukulan di wajah dan bagian tubuh lainnya.
Bentrokan berakhir setelah aparat kepolisian melerai pertikaian tersebut, dan unjuk rasa kembali berlanjut namun hanya berupa orasi dan teriakan yel-yel.
Hilmi selaku koordinator aksi mahasiswa kemudian menyampaikan tuntutan massa aksi yang pada intinya berupa penolakan terhadap sejumlah kebijakan Rektor Unram.
Kebijakan tersebut yakni penerapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak diterapkan manajemen Unram sesuai Peraturan Mendiknas tentang UKT.
Peraturan itu memberi ruang kepada mahasiswa miskin untuk dapat kuliah, sehingga diberlakukan subsidi silang atau mahasiswa dari keluarga kaya membantu mahasiswa miskin.
Pembayaran UKT berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, dan dibagi dalam lima kategori, sehingga kategori pertama sampai lima, masing-masing sebesar Rp500 ribu, Rp850 ribu, Rp1,5 juta, Rp2,5 juta, dan Rp4,5 juta.
"Namun, dalam penerapannya di Unram, tidak sesuai semangat regulasi itu. Unram hanya memberlakukan kategori tiga sampai lima atau mengabaikan kategori satu dan dua, dengan alasan tidak ada mahasiswa yang berada pada kategori tersebut," ujar Hilmi.
Kebijakan tersebut ditentang mahasiswa pengunjuk rasa itu, yang mengacu kepada fakta bahwa cukup banyak penduduk NTB berada di bawah garis kemiskinan.
Kelompok mahasiswa itu juga menyoroti pengelolaan uang mahasiswa Unram yang tidak transparan, seperti pengelolaan dana Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kampus (JPKMK).
Masalah lainnya yakni denda 10 persen atas keterlambatan membayar SPP yang menurut mahasiswa tidak jelas arah pengelolaannya, dan masalah tersebut sempat dilaporkan seorang mahasiswa ke Komisi Informasi.
"Ada juga masalah penggunaan sistem satu jalur masuk kampus yang berakibat mahasiswa harus menempur jalur panjang jika mendiami lokasi yang berjauhan dengan pintu masuk. Juga penerapan jam malam yang bernuansa militerisasi sehingga mematikan kreativitas mahasiswa dalam berorganisasi," ujar Hilmi.
Kelompok mahasiswa itu kemudian menilai Rektor Unram sedang menerapkan bentuk liberalisasi pendidikan sebagai bagian dari kapitalisasi pendidikan, sehingga mereka merasa harus melawan dan mengingatkan Rektor Unram. (*)