Fenomena Pilu dan Semringah Pemilu

id Fenomena Pilu ,Semringah Pemilu,pemilu 2024,rekapitulasi,caleg

Fenomena Pilu dan Semringah Pemilu

Mujaddid Muhas, M.A., penulis buku "Nalar Pemilu dan Demokrasi" (2011) (ANTARA/HO-Dok. Mujaddid Muhas)

Mataram (ANTARA) - Hiruk pikuk pemilihan umum (pemilu) telah memasuki fase pleno penghitungan suara, baik tabulasi maupun rekapitulasinya. Dari sana ditentukan partai politik (parpol) mana dan siapa legislator yang memenuhi ketentuan regulasi, untuk terpilih serta menerima mandat di parlemen.

Cerita sekaligus berita realita fenomenal dan pilu menggambarkan betapa turbulensinya proses dan hasil pemilu. Dari berbagai platform media konvensional dan media sosial ditayangkan, ada calon legislatif (caleg) mengangkut kembali paping yang telah diberikan, mengambil kembali semen dan tandon yang telah disumbang, menagih kembali uang pada tim suksesnya (timses), memagar lahan akses jalan tetangga arealnya.

Bahkan ada caleg hingga menggeser lahan kuburan yang telah diwakafkan lama oleh keluarganya. Ada pula yang tragis: mengalami kerugian, lantaran membayar semiliar kepada dukun, dengan harapan bisa menang melalui "jalan supranatural". Lainnya, caleg bersama timsesnya tak kuat menerima kenyataan (stres) mencari pesantren untuk penetrasi ketenangan. Ada pula yang berjalan menyusuri malam dengan bergumam, sesekali teriak sekenanya. Saking maraknya, ada caleg yang terdampak seperti gila, secara medis sebelumnya normal.

Peristiwa deretan depresi akut tersebut, bukan hanya melanda caleg baru, ada yang bahkan caleg petahana. Pemandangan pilu ini, kita saksikan marak sepekan terakhir, dan mungkin bisa saja lebih banyak lagi. Dari beberapa pengakuan, sang caleg melalui timsesnya "bergerilya" membagi-bagikan amplop, souvenir, sembako dan lainnya dalam jumlah yang berbeda-beda kepada para pemilih. Ternyata realita berkata lain.

Harta benda ludes, utang numpuk, kemudian tidak terpilih. Harapan tak sesuai kenyataan, dibarengi dengan ketidakmampuan menerima keadaan sepenuhnya. Dari sinilah semua siklus berubah. Apalagi mendengar kabar, kompetitornya justru unggul. Kekontrasan itu, menjadikan sang caleg (dipastikan tidak semua), goyah dan kemudian bersikap tak biasanya. Berpikir singkat: depresi akut.

Belum lagi, kita menyaksikan para penyelenggara pemilu (terutama pada tingkatan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), mesti berjibaku dalam tabulasi penghitungan dan rekapitulasi suara. Dihadapkan pada ketidaksinkronan input dengan realita.

Melewati sesi-sesi pleno yang sungguh berat, menerima komplain bahkan cacian, hingga "dipaksa" berterus terang oleh para saksi, pengurus parpol, serta para caleg yang berada pada lokus daerah pemilihan (dapil).

Suasana rapat pleno saling bersahutan, interupsi. Saling respons dibalas lagi tak berkesudahan hingga pleno ditunda, dilanjutkan kembali, muncul ketidakpercayaan lantaran ingin membuka kotak suara. Ada opsi pemungutan suara ulang pada beberapa TPS, yang petugasnya tak lagi mendapat honorarium sebagaimana saat hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Kesemuanya sungguh ironi. Pilu nyaris dari semua lini. Disela waktu-waktu beras langka dan mengalami lonjakan harga.

Lantas, apakah fenomena ini sesuatu yang biasa-biasa? Demi kemanusiaan, saya mengatakan tidak biasa-biasa. Kita semua sudah harus lakukan renungan massal. Gejala depresi akut para caleg kandas, belum lagi lelah tak bertepi dari petugas dan pengawas TPS, bukan hal ihwal sederhana. Lantaran menyangkut psikologi kemanusiaan: kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.

Sisipan pertanyaan bisa disodorkan, apa guna politik, bila kita semua terdampak pilu tanpa mitigasi proses penyelenggaraan? Kesengsaraan dan kematian melanda, kendati dari sisi jumlah masih lebih dahsyat dari pemilu tahun 2019. Selentingan seloroh dari para caleg, faktur-faktur utang di toko bangunan, di pabrik manufaktur tekstil, di sentra sembako, rental kendaraan dan sebagainya. Pembayaran yang belum kunjung rampung itu, menghantui psikologi caleg. Beban pilu dari proses penyelenggaraan pemilu, tak berbanding setara dengan kesemringahan hasilnya. Dalam pengertian yang mencalonkan diri, jauh lebih banyak daripada yang terpilih.

Kendati, banyak caleg di antaranya yang telah menerima, semuanya dengan hikmah. Tak ada kompetisi yang tak ada kalah menang. Tak perlu meratapi, tetapi kita perlu menghadapi kenyataan ini sebagai pengalaman empirik. Bahwa turut serta sebagai kontestan itu tak semudah yang tampak dipermukaan. Bagi yang kandas, masih banyak kompetisi. Bukankah politisi punya banyak opsi, untuk bisa berkiprah dari multidimensi politik. Bagi yang unggul pun kita laik apresiasi.

Tidak gampang menjadi caleg terpilih. Berkompetisi dengan caleg parpol lain dan caleg separpol. Tentu, menghindari kejumawaan. Bahwa pengabdian luhur sebagai manusia politik (political man), menanti dengan segala dinamika multidimensinya. Dapat dikatakan melalui jalur politik, banyak hal baik yang bisa dilakukan. Untuk bermanfaat bagi warga masyarakat. Merealisasi janji kampanye, berkomitmen saat dialog, serta merumuskan regulasi di parlemen sesuai aspirasi dan ketentuan perundang-undangan.

Dalam pada itu, tersuar kabar viral fenomenal seorang komedian yang nyaris tak pernah kampanye seaktif kompetitor-kompetitornya. Hanya bermodalkan foto nyeleneh ala komedian. Ditambah dengan keterkenalannya: bertuah. Dialah Alfiansyah Komeng, calon senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Terpilih secara telak.

Suara yang memilihnya jauh melampaui dari tiga senator lainnya. Bahkan dari seluruh calon DPD di Jawa Barat. Saat penghitungan suara, para petugas, pengawas dan warga di TPS-TPS menjadikan slogan lawasnya, sebagai tanda bahwa Komeng terpilih di surat suara yang diterawang. Uhuy bersahutan, kemudian uhuy, beberapa saat kemudian uhuy lagi. Begitu seterusnya sebagai fenomena semringah uhuy, favorit pemilu 2024.

Lain halnya yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, seorang calon senator muda pemula, mencoba perhokian kompetisi politik pada pemilu kali ini dengan ciri khas serbapink. Seluruh alat peraga kampanyenya, kendaraan operasionalnya, bahkan busana dan performanya tak jauh dari warna pink. Warna khas perempuan muda lembut energik sebagai modal utama komunikasi politiknya.

Terbukti berhasil. Pemilih bejibun tren memilihnya: Mirah Midadan. Calon DPD yang secara perlahan menghiasi empat besar suara teratas DPD RI mewakili NTB. Kendati tidak tertinggi suaranya, tetapi ditengarai dapat mengalahkan dua senator petahana lainnya. Suatu capaian yang menakjubkan.

Fenomena uhuy dan fenomena pink tersebut, bila dianalisa konklusi saling berkaitan sebagai berikut: Pertama, calon senator Komeng dan calon senator Mirah menentukan diferensiasi yang mengontras. Selain memantik keunikan untuk menggiring pemilih, tersugesti memilihnya.

Pada pemilu 2019 yang lampau, pernah dialami calon DPD Evi Apita Maya (kini pun berpeluang periode kedua). Atensi pemilih pada kekontrasan pesona (diferensiasi) dari lainnya. Apalagi bagi pemilih yang dari sisi perilaku memilih (voting behaviour) tidak punya alasan dan memastikan pilihan hanya pada saat di TPS saja. Sangat memungkinkan memilih calon-calon yang punya kekontrasan pesona atau kekontrasan unik.

Kedua, pola pemilih yang mengalami pergeseran dari yang ingin memilih ideal menjadi ingin memilih yang memberikan hiburan kelegaan (entertainment) pada saat itu, tanpa berpikir panjang. Pola demikian tak ujug-ujug begitu saja. Adanya bejibun konten media sosial yang trennya simpel, singkat dan lucu memberikan pengaruh terhadap perilaku elektoral pemilih untuk memilih calon yang bisa membuat pemilih lega, kendati hanya saat itu saja. Ketiga, dengan melihat alat peraga atau gambar calon yang unik, terasosiasi bahwa itulah sesungguhnya yang dipilih. Cepat termemori ke dalam alam bawah sadar pemilih.

Apalagi menyangkut paras atau dalam terminologi perempuan disebut sebagai kecantikan. Perempuan memilih perempuan, sedangkan laki-laki cenderung memilih perempuan yang dinilainya cantik menurut takaran lazim iklan media (advertising). Analisa ini diperkuat dengan tetap melenggangnya senator Evi Apita Maya pada pemilu 2024 di NTB. Selain dua lainnya dari kalangan tuan guru (spiritual).

Satunya petahana TGH Ibnu Halil, satunya lagi M Rifki Farabi, putra pesohor ulama Tuan Guru Bajang. Keempat, sebentuk perlawanan senyap. Fenomena ini seperti "perlawanan" senyap dari pentas politik yang mungkin sudah pada taraf "membingungkan" pemilih. Ketika politik bertarif, maka muncul perlawanan (disobedience vote) atau lebih tepatnya kontras: pembalikan. Lantaran politik seolah pada gejala setaraf perniagaan. Politik yang meresahkan. Politik serbatarif.

Ngomong punya ngomong, apapun itu coblosan pemilu telah usai. Kita tingggal menunggu deretan pleno-pleno. Untuk memudahkan kepastian penghitungan suara pemilu, diperlukan satu terobosan mangkus sangkil, penulis artikel ini menyebutnya sebagai "tabulasi provinsi sentris". Sudah saatnya, penghitungan suara selesai di provinsi masing-masing dan diumumkan secara resmi yang meluas. Lebih mangkus, lantaran informasi mengenai hasil pemilu terasa bergema sekaligus cepat. Sedangkan sangkil dari gagasan ini, tampaknya tak perlu lagi ada pleno untuk tabulasi per provinsi di KPU Pusat atau pleno tersebut hanya meregistrasi dan mengakumulasi besaran akhirnya saja.

Dengan multikompleksnya rentetan tahapan pemilu, KPU di tingkat pusat kelewat padat urusan. Adanya tabulasi provinsi sentris meringankan beban pemilu. Pemilu yang cepat dan berkepastian membantu kejelasan dan meminimalisir simpang siurnya informasi pemilu yang hoaks dan kategori tidak perlu. Indonesia dengan topografi kepulauan dan agraris yang begitu luas, latar sosiologi yang majemuk, menjadi rasional apabila penghitungan suara pemilu mesti mangkus sangkil. Mangkus dari sisi tata cara nomenklatur, sangkil dari sisi tata ciri fiskal. Caleg dan calon senator bisa mengetahui kejelasan terhadap kontestasinya, sehingga tidak larut dalam turbulensi psikososial yang mendebarkan. Dengan begitu, kepastian dan kejelasan dari perencanaan, proses hingga hasil pemilu, terkonfirmasi dengan segera.

Sebagai pemilih yang telah tujuh kali nyoblos (1997-2024), saat pertama kali nyoblos pada pemilu terakhir orde baru (1997). Melihat perkembangan dari pemilu ke pemilu, sesuai dengan takar pengetahuan yang ada serta akumulasi ilmu kepemiluan yang dikaji. Pemilu kali ini, kian tampak dari yang terutama tidak tampak. Pemilu kali ini, pemilu yang sarat hiruk pikuk proses dan hasil penghitungan, dari aneka penghitungan-penghitungan di area garis demarkasi. Pemilu kali ini, pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada hari yang bersamaan. Pemilu kali ini pula, pemilu yang menyertakan artificial intelligence sebagai penunjang perkakas teknologi kepemiluan. Dengan plus minus pusaran turbulen, begitulah realitanya. Tentu saja, berharap penuh pemilu selesai dengan apik. Semangat semringah mewarnai parlemen bagi legislator dan senator 2024-2029. Ekspresi luhur periodik para pesohor.

-------
*) Penulis Buku "Nalar Pemilu dan Demokrasi" (2011)