Nama tempatnya Sembalun Lawang. Lokasinya tepat berada di kaki Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mpdl), Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Dengan dikelilingi bukit yang menjulang tinggi dan punggungan gunung yang hanya ditutupi padang sabana sehingga tidak malu-malu lagi menampakkan kekekaran dan kemolekkan tubuhnya, untuk ditonton oleh siapa saja yang berada di kakinya.
Dari sanalah dipercaya awalnya peradaban Pulau Lombok yang terus mengalir ke arah hilir pascaletusan hebat Gunung Samalas pada 1257. Gunung Samalas merupakan gunung sebelum Rinjani yang letusannya menghentakkan dunia hingga mengubah iklim global serta berdampak pada kelaparan dan kematian sampai Benua Eropa selama dua tahun.
Berdasarkan cerita warga dari leluhurnya secara turun-temurun, sekelompok warga yang berada di kaki gunung itu, itupun mengungsi ke tempat yang aman menuju ke arah timur, yakni hutan Pilin di daerah Sambalia, Labuan Lombok, sampai Selaparang.
"Selama ratusan tahun mereka mengungsi akibat trauma letusan itu, ada inisiatif dari beberapa orang yang mengajak kembali ke Sembalun sekaligus mencari leluhurnya," kata Mertawi, Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur kepada Antara.
Ketujuh kepala keluarga itu, kembali ke Sembalun dengan mendaki bukit sampai ke Bukit Nanggi. Dalam perjalanan itu mereka menghadapi derasnya sungai hingga tidak bisa menyeberang dan terus menyusuri tepi sungai. Akhirnya mereka tiba di kaki Bukit selong.
Karena tidak bisa juga menyeberang, mereka pun beristirahat di satu tempat yang kemudian merasa nyaman dan dibuatkan "dangau" atau tempat tinggal sementara dan selanjutnya menetap di situ. Jumlah bangunan sebanyak tujuh rumah yang saat ini menjadi Desa Adat Beleq.
"Tetapi dalam perjalanan waktu beranak pinak tetapi setiap ada keinginan membangun rumah yang baru selalu ada musibah yang mereka alami, misalnya anaknya meninggal pokoknya tidak bisa berkembang biak, termasuk membangun pondasi rumah ada musibah," katanya.
Mereka berkesimpulan di tempat itu tidak boleh ada bangunan tambahan selain bangunan yang sudah ada dan kemudian mereka berpikir untuk mengembangkan ke lokasi yang lebih luas di tempat lain.
Pada waktu yang disepakati mereka bergerak ke arah barat, lagi-lagi dihadang kali yang sangat deras dan dalam, lalu mereka bergerak ke arah selatan, menyusuri kali itu. Sampailah di bawah Bukit Majapahit. Di situlah mereka bertemu dengan dua orang asing, namanya Raden Aria Pati dan Raden Aria Mangunjaya. Mereka yang berdua itu mengaku dari Kerajaan Majapahit.
"Datu Majapahit dikenal bagi kita adalah punggawa Majapahit. Tetapi dua orang ini bukan sembarang memiliki kesaktian yang luar biasa, bisa hadir dengan cara gaib," katanya.
Kedua orang itu, menawarkan untuk membantu mencari tempat baru tersebut dan bergerak ke arah selatan mencari lokasi yang layak untuk diseberangi, Mereka sampai di satu titik yang paling sempit.
"Lalu kemudian mereka berusaha membuat jembatan sederhana. saling dukung saling pegang sampai mereka menyeberang. Saling membantu itu diabadikan jadi nama `Loko Sangka Bira` atau tempat saling membantu dengan ikhlas atau dikenal dengan gotong royong," katanya.
Hingga akhirnya menamai tempat baru untuk dihuni itu, yakni, Sembalun yang merupakan gabungan dari kata sembah atau menyembah sedangkan wulun berarti penguasa/raja/pimpinan, sehingga diartikan dari kata tunduk kepada yang Maha Kuasa.
Sungai itu pun sampai sekarang dikenal oleh masyarakat sebagai Sungai Majapahit, sedangkan Bukit Majapahit dikenal sebagai tempat tapak kaki para punggawa Kerajaan Majapahit yang sekarang ini.
Di bawah kaki bukit tersebut saat ini, terpampang tulisan, "Selamat Datang di Wisata Budaya Petilasan Majapahit. Petilasan Majapahit konon adalah tempat bersemedi orang-orang sakti dari Majapahit, yang sudah ada sebelum Desa Sembalun berdiri.
Tempat ini adalah bekas petilasan Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya. Pertama kali warga menemukan kedua Raden Majapahit itu, saat periode Sembalun Kedua (600-700 tahun yang lalu).
Pengaruh Majapahit
Diduga pengaruh dari Majapahit itu juga terlihat pada sejumlah kosa kata yang dipakai masyarakat Sembalun memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa.
Seperti peteng dedet (gelap gulita), kelabi (baju), mangan (makan), tetanduran (tanaman), demikian pula dengan penganan ringan yang dikenal masyarakat Sembalu, antara lain rengginang, cucur, serabi, wajik, gerupuk, tekel, dan gogos.
Selain itu, gelar keningratan bagi masyarakat Sembalun dahulu, yakni raden yang sama dengan Suku Jawa.
Kepercayaan akan Dewi Anjani yang bersemayam di Gunung Rinjani itu, bisa juga mengambil dari cerita Ramayana meski kisahnya berbeda. Di dalam Ramayana menyebutkan Dewi Anjani bersama saudaranya Subali bertapa, kemudian Dewa Batara Surya terangsang kepada Dewi Anjani sehingga spermanya dimuntahkan ke daun dan daun itu dimakan oleh seorang petapa hingga melahirkan anak, Hanoman.
Dari laman daring menyebutkan kata raden berasal dari kata rahadian atau roh-adi-an. Roh berarti ruh atau suksma. Adi berarti besar, luhur, mulia.
Kata raden ini juga setara dengan radin atau rasa, perasaan. Kata raden juga mengacu pada kata radya yang berarti negara, keraton, atau pemangku negeri. Gelar umum bagi para bangsawan Jawa ini dahulunya berarti pemangku negeri yang telah mencapai keluhuran rohani dan kemuliaan akhlak.
Bahkan juga telah mencapai "ketajaman perasaan" dan kelembutan hati nurani. Gelar ini juga dahulunya menunjuk kepada kewajiban para pemangku negeri, yakni para bangsawan atau pangeran di tanah jawa.
Sumpah Palapa
Cerita turun tumurun yang dikenal oleh masyarakat Sembalun atas keberadaan Majapahit itu, bisa dikaitkan dengan Sumpah Palapa yang disampaikan oleh Patih Gajah Mada.
Muhammad Muhlisin dalam bukunya Kudeta Majapahit dan Berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di Bumi Jawa, menyebutkan dengan bantuan Patih Amangkabumi Gajah Mada, Hayam Wuruk (Raja Majapahit) berhasil membawa Kerajaan Majapahit menuju masa keemasannya.
Sebagaimana halnya Raja Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh Dwipantara., Gajah Mada juga memiliki gagasan politik nusantara berupa Sumpah Palapa yang diikrarkan di hadapan Raja Tribhuwana Tunggadewi dan para pembesar Kerajaan Majapahit.
Raja Tribhuwana Tunggadewi merupakan ibu kandung dari Hayam Wuruk, sedangkan Raja Kertanegara merupakan Raja Singasari yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera dengan tujuan mengantisipasi ekspansi Kerajaan Mongol pada 1292 Masehi.
Buku Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, menyebutkan di antara tenggang waktu abad XI dan XVI adanya penaklukan Kerajaan Selaparang dan Dompu oleh Ekspedisi Kerajaan Majapahit yang dipimpin Empu Nala pada 1357 Masehi.
Setelah Kerajaan Selaparang ditaklukan, Gajah Mada datang ke Lombok yang pada saat itu lebih dikenal dengan nama Selapawis. Kedatangan Patih Gajah Mada tersebut ditulis dalam sebuah memori yang disebut Bencangah Punan.
Disebutkan pula, sebuah prasasti tembaga yang terdapat di Desa Menggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara yang menyebutkan nama Satria Lumendung Sari berasal dari Waringin Sungsang di Majapahit yang datang bersama Gajah Mada.
Oleh karena itu, jejak Majapahit di kaki Gunung Rinjani itu dimungkinkan terjadi mengingat adanya ekspedisi Nala bagian dari Sumpah Palapa hingga para punggawanya tiba di Sembalun.
Hal itu, menjadi khasanah menarik bagaimana imperium Majapahit bisa menembus bumi Sunda Kecil.