Meresapi budaya konsumsi tanah liat dari pameran alat rumah tangga

id camilan tanah liat,tanak kaken,peralatan rumah tangga,museum ntb,budaya lombok Oleh Khaerul Anwar *)

Meresapi budaya konsumsi tanah liat dari pameran alat rumah tangga

Anggota Dewan Kebudayaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Khaerul Anwar. (ANTARA/HO-Dokumen Pribadi)

Mataram (ANTARA) - Sebanyak 110 koleksi benda-benda bernilai budaya berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari bahan organik, seperti kayu, daun, tanah liat hingga batu terpajang rapi di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.

Ratusan alat dapur itu merupakan warisan tiga suku besar di Nusa Tenggara Barat, yaitu Sasak, Samawa, dan Mbojo yang berperan penting dalam pembentukan masyarakat.

Pada 13 Desember 2024 sampai 13 Februari 2025, Museum Negeri Nusa Tenggara Barat sengaja menghadirkan pameran temporer bertajuk 'Eksistensi dan Nilai Budaya, Alat Rumah Tangga Masyarakat Nusa Tenggara Barat' untuk mengingatkan tentang mengolah makanan dan minuman tanpa plastik.

Kapak serpi (flakes), kapak genggam, kulit kerang, kapak corong, manik-manik dan gerabah seperti jangkih (tungku memasak), ponjol (wadah nasi), remagan tempani, kekt (wadah untuk sangrai), nyiru (kelong), tembolak (tutup saji) dan ceret adalah peralatan rumah tangga yang jarang ditemui pada era sekarang.
 

Melintasi zaman

Bagi generasi Z yang lahir rentang tahun 1995 sampai 2010 mungkin hanya melihat bentuk fisik materi yang dipamerkan, yaitu peralatan rumah tangga dan benda-benda yang menyesaki ruang dapur ibu rumah tangga di masa lalu.

Hal itu sangat berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini dengan hadirnya peralatan canggih dan modern yang memudahkan orang melakukan aktivitas serba instan.

Mau memasak nasi ada alat penanak nasi elektronik, bahkan membuat sayuran dan lauk-pauk sekaligus memanaskannya ada panci listrik yang bisa digunakan. Untuk operasionalnya, peralatan masak menggunakan tenaga listrik, tinggal dicolok pada aliran listrik, tunggu dalam hitungan menit, masakan sudah matang, siap dihidangkan dan disantap.

Perkembangan zaman atau alasan tidak mau ribet, lalu tuntutan terhadap efisiensi pekerjaan membuat banyak orang lantas meninggalkan peralatan dapur tradisional.

Terlepas dari fungsi peralatan dapur terbuat dari tanah yang merupakan hasil tangan terampil perajin, tetap ada obyek-obyek bernilai sejarah yang bisa dilihat dan akan selalu diingat karena Indonesia memiliki banyak warisan budaya yang beragam dan unik. Bahkan dari material pembuatannya, tanah liat justru memiliki kandungan yang berguna bagi kesehatan.

Di Lombok atau mungkin juga di daerah lain di Indonesia, tanah liat biasanya jadi camilan atau semacam permen bagi ibu hamil. Di masa lampau banyak dijual di pasar lokal, terutama saat hari-hari pasaran.

Tanah liat disebut tanaq kaken atau tanah yang bisa dimakan. Bentuknya lempeng bulat-tipis dalam ukuran kecil maupun besar seukuran diameter kerupuk.

Dari para ibu rumah tangga, penulis mendapat informasi bahwa bahan baku camilan itu berupa tanah liat adalah pilihan yang cermat, bersih, dan suci. Lokasinya khusus, bukan di jalan yang sering dilalui manusia dan hewan, bisa di seputar kampung atau kawasan hutan dan tempat tersembunyi lain, tidak berkerikil dan tidak ada kandungan telur cacing.

Cara pembuatannya adalah tanah liat itu diadon, dipukul-pukul agar padat, ditambah air sedikit demi sedikit. Setelah itu adonan tanah liat dibentuk melingkar dan dijemur sampai kering, mengeras bak kerupuk, sehingga tanaq kaken siap dicamil.

Ketiadaan juru olah membuat tanaq kaken tidak lagi menjadi kudapan populer, bahkan kini punah akibat tidak ada masyarakat yang mau makan tanah liat.

Orang tua dulu punya kepercayaan mengonsumsi tanah liat dapat membuat badan ibu hamil menjadi lebih berenergi. Mereka percaya tanaq kaken adalah asupan berenergik yang membuat ibu bertenaga dan tetap melakukan aktivitas rumah tangga, entah memasak atau bekerja yang ringan, ataupun jalan-jalan rutin saat pagi dan sore hari.

Jadi pertanyaan mengapa ibu hamil di Lombok, umumnya jalan tanpa sandal. Penduduk meyakini itu berpengaruh terhadap kesehatan .


Kearifan lokal

Bagi penulis yang awam, melihat ibu yang dengan enak ngemut tanah liat itu tidak bisa membayangkan rasanya. Begitu pun menyaksikan ibu hamil tanpa alas kaki adalah hal biasa dan senang melakukannya sebagaimana yang dilakukan leluhur.

Rasa penasaran baru terjawab dari sejumlah telusur pustaka. Jalan kaki tanpa alas saat hamil tak hanya mengurangi peradangan akibat kerusakan sel-sel tubuh, namun juga membantu melepaskan elektron positif dalam tanah dan berpindah sebagai antioksidan yang mencegah terjadinya peradangan atau inflamasi.

Tanah liat mengandung banyak mineral yang dapat membantu kondisi fisik ibu hamil, seperti kaolin dalam tanah liat dapat membersihkan racun jahat (aflatoxin) dan dapat digunakan untuk obat diare, menguatkan pencernaan, serta menjaga sistem kekebalan tubuh.

Kemudian zat besi dalam tanah liat dapat mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh, termasuk janin, membantu meningkatkan hormon yang dibutuhkan oleh ibu hamil, membantu pembentukan plasenta, lalu membantu membentuk energi ekstra yang dibutuhkan oleh ibu hamil, sebab dalam satu tubuh ada dua nyawa berupa nyawa ibu hamil dan nyawa janin.

Mengurangi resiko lahirnya bayi berat badan rendah, mengurangi anemia, dan mengurangi terjadi pendarahan yang saat persalinan yang bisa saja berujung kematian pada ibunda merupakan manfaat lain dari zat besi.

Jadi tanah liat sekadar bahan baku kerajinan dan konstruksi bangunan, melainkan juga bisa dibikin makanan yang ekstrim sekalipun, apalagi soal kuliner Indonesia adalah gudangnya. Namun, dari fisik peralatan rumah tangga yang dipamerkan ada aspek kearifan lokal yang ingin disampaikan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat kepada generasi muda saat ini.

Keberadaan alat rumah tangga yang dipakai pada zaman dulu adalah sejarah peradaban masa lalu sebelum munculnya beragam peralatan dapur dari bahan, bentuk, teknologi pembuatannya.

Malah kalau dipanjang-panjangkan, hasil karya seni kriya bukti tangan terampil perempuan perajin. Peralatan rumah tangga juga sebagai simbol nilai kebersamaan sebab proses produksi melibatkan banyak orang.

Itulah tampaknya niat diadakan pameran, seperti komentar Kepala Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, Ahmad Nuralam bahwa koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat tidak semata mengangkat warisan budaya, tetapi juga mengajak kita semua untuk menerapkan perilaku ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan menggunakan peralatan rumah tangga tradisional.

Nenek moyang masyarakat Nusa Tenggara Barat telah menerapkan prinsip keberlanjutan seperti efisiensi, pemanfaatan sumber daya alam lokal, dan meminimalisir limbah. Nilai budaya peralatan rumah tangga memiliki relevansi yang kuat dengan nilai kekinian.

 

*) Penulis merupakan anggota Dewan Kebudayaan Daerah dan wartawan senior yang bertugas di Nusa Tenggara Barat (NTB).