Mataram (ANTARA) - Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Nusa Tenggara Barat (NTB) meminta pemerintah untuk mengevaluasi penerapan sistem lelang proyek fisik menggunakan mekanisme swakelola tipe 1.
Ketua Umum Gapensi NTB, H Agus Mulyadi mengatakan sistem tersebut dinilai memiliki berbagai kelemahan yang dapat mengganggu pelaksanaan proyek konstruksi serta membuka peluang terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ia menjelaskan bahwa sistem swakelola tipe 1 memberikan kewenangan besar kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk menentukan penyedia barang atau jasa. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
"PPK memiliki kekuasaan mutlak dan atau secara subyektif menunjuk penyedia. Ini membuka peluang terjadinya kongkalikong dan penyalahgunaan wewenang," kata Agus dalam keterangannya.
Ia merujuk pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Kepala Bidang SMK, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB sebagai salah satu contoh risiko dari sistem ini.
Sistem swakelola tipe 1 adalah mekanisme pelaksanaan proyek yang dilakukan secara mandiri oleh instansi pemerintah, tanpa melibatkan pihak ketiga seperti kontraktor. Seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga pengawasan, dilakukan oleh instansi terkait.
Agus mengatakan, dalam konteks Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 3 Tahun 2022, mekanisme ini digunakan untuk pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik di bidang pendidikan.
"Sistem ini juga merujuk pada PP Nomor 12 Tahun 2021 yang mengatur pelaksanaan proyek fisik secara swakelola," ujarnya.
Penerapan swakelola tipe 1 juga berpotensi menciptakan celah besar untuk penyalahgunaan kekuasaan. Ia menyoroti beberapa masalah utama yang timbul dari mekanisme ini:
Dalam sistem ini, lanjut dia, PPK memiliki kekuasaan untuk menunjuk penyedia barang atau jasa tanpa proses kompetisi yang ketat.
Baca juga: Peran Gapensi sangat vital dalam pertumbuhan ekonomi
"Proses penunjukan penyedia yang tidak transparan dapat memicu praktik KKN. Sistem ini perlu dikaji ulang agar tidak menjadi ajang penyalahgunaan kekuasaan," ucap Agus.
Ia juga mengkritisi pemisahan kewenangan pengadaan material dengan pelaksanaan konstruksi.
Agus mencontohkan penerapan di Dikbud NTB, di mana pengadaan material diserahkan kepada toko bangunan atau pihak tertentu yang ditunjuk oleh PPK.
"Kontraktor yang memiliki sertifikat badan usaha seharusnya bisa mengelola seluruh proses, mulai dari pengadaan material hingga pelaksanaan. Pemisahan ini justru menimbulkan miskomunikasi dan menghambat kelancaran proyek," katanya.
Dalam sistem ini, kontraktor hanya bertanggung jawab atas pelaksanaan konstruksi, sementara penyedia material ditunjuk langsung oleh PPK. Padahal, ketimpangan antara pengiriman material dan kebutuhan di lapangan dapat menyebabkan proyek mandek, kualitas menurun, dan tidak selesai tepat Waktu.
Agus juga menyoroti kesamaan pola sistem ini dengan mekanisme e-katalog / mini kompetisi yang berlaku di beberapa daerah. Dalam sistem tersebut, proses pengawasan dianggap kurang memadai karena tidak melibatkan mekanisme verifikasi berlapis.
Baca juga: Agus Hidayat terpilih pimpin Gapensi Kota Mataram
Kasus OTT Kabid SMK Dikbud NTB menjadi bukti nyata bahwa mekanisme swakelola tipe 1 memiliki celah besar untuk penyimpangan.
"Siapa saja bisa menjadi penyedia material melalui mekanisme ini, bahkan pedagang kecil sekalipun, asalkan mendapat persetujuan PPK. Ini menciptakan celah untuk kongkalikong," ujarnya.
Ia menilai, kasus OTT tersebut hanya salah satu contoh dari berbagai potensi penyalahgunaan yang lebih besar jika sistem ini tetap diberlakukan tanpa evaluasi menyeluruh.
Untuk itu, Gapensi NTB mengusulkan agar pemerintah pusat dan daerah meninjau ulang pemberlakuan regulasi terkait swakelola tipe 1.
Agus menekankan pentingnya kembali ke mekanisme yang lebih transparan seperti yang diatur dalam Keppres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Jasa Konstruksi.
"Mekanisme ini lebih transparan, adil, dan melibatkan saksi dari berbagai pihak. Dengan demikian, potensi KKN dapat diminimalkan. Kami sudah berkoodinasi dengan Gapensi induk agar hal ini disuarakan ke pemerintah pusat," katanya.