Jakarta (ANTARA) - Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) mengusulkan opsi peningkatan pungutan produksi batu bara untuk meningkatkan anggaran negara dalam pembiayaan transisi energi.
Direktur Eksekutif Sustain Tata Mustasya, di Jakarta, Selasa, mengatakan dengan berbagai skenario harga yang diambil dari jumlah produksi batu bara kurun 2022-2024, negara bisa memperoleh tambahan penerimaan negara sebesar Rp84,55 triliun hingga Rp353,7 triliun dari peningkatan pungutan produksi batu bara
“Pemenuhan aspek keadilan, karena perusahaan batu bara memperoleh supernormal profit (mendapatkan untung yang sangat tinggi),” ujar Tata, dalam diskusi bertajuk Peningkatan Pungutan Produksi Batu Bara: Peluang Transisi Energi dalam Keterbatasan Fiskal sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Selasa.
Dikutip dari laporan Sustain di laman resminya, opsi peningkatan pungutan batu bara dapat mengatasi salah satu masalah dari transisi energi, seperti halnya skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yakni ketersediaan anggaran. Hal ini sekaligus sebagai disinsentif untuk industri batu bara yang merupakan energi fosil.
Baca juga: IESR usul pemerintah belajar transisi energi batu bara
Menurutnya, tambahan penerimaan tersebut dapat membiayai kebutuhan pendanaan untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 96,2 miliar dolar AS dari tahun 2023 sampai dengan 2030.
“Kebijakan ini juga dapat menjadi sinyal bagi kepemimpinan Indonesia di dunia internasional, di antara negara-negara Selatan dan Utara untuk mendorong transisi energi,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif dan Anggota Dewan Ekonomi Nasional Septian Hario Seto mengatakan, pungutan batu bara sudah sempat dilakukan di Indonesia melalui windfall profit tax dan royalti. Menurutnya, pendapatan negara dari royalti batu bara dua tahun terakhir tergolong besar.
Baca juga: Cadangan batu bara BUMI mencapai 2,4 miliar ton
“Total tahun 2022 sekitar Rp170 triliun, melebihi migas. Pada tahun 2023 sebesar Rp168 triliun,” katanya lagi.
Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative Tiza Mafira memaparkan bahwa berdasarkan perhitungan rata-rata penerimaan dan belanja fiskal Indonesia tahun 2016-2022, total penerimaan negara dari energi fosil sebesar Rp210 triliun atau 11 persen dari total penerimaan, sedangkan subsidi energi fosil mencapai Rp165 triliun atau 9 persen dari total belanja. Karena itu, menurutnya, belanja negara untuk subsidi energi fosil masih cukup besar.
Khusus batu bara, belanja negara digunakan dalam bentuk domestic market obligation (DMO) untuk menyubsidi harga. DMO membuat harga beli batu bara dalam negeri menjadi 70 dolar AS/ton, sementara harga pasar terus berfluktuasi, saat ini menyentuh 175 dolar AS/ton. Kondisi tidak beriringan dengan upaya transisi energi karena harga batu bara tergolong murah.