Jakarta (ANTARA) - Kabupaten Berau di Kalimantan Timur tidak hanya dikenal dengan kekayaan alamnya yang memikat, namun juga menyimpan beragam situs sejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban di wilayah ini.
Salah satu peninggalan sejarah yang hingga kini masih terjaga adalah Keraton Sambaliung, istana megah yang dulunya menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambaliung. Istana ini terletak di Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tepat di tepi Sungai Kelay.
Riwayat Kesultanan Sambaliung bermula pada tahun 1810 ketika Kesultanan Berau, yang telah berdiri sejak 1377, dipecah menjadi dua kerajaan yakni Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
"Dulu waktu masih Kesultanan Berau mereka (silsilah Sultan Sambaliung dan Gunung Tabur) ini bersaudara. Sebelum datang ke Belanda, mereka masih akur-akur saja, memimpin Berau secara bergantian. Belanda melihat ada celah, pakai politik adu domba, baru tahun 1800-an mereka pecah," kata pengelola Keraton Sambaliung, Inda Pangean.
Penguasa pertama Sambaliung adalah Sultan Alimuddin, yang juga dikenal sebagai Raja Alam. Ia merupakan keturunan langsung dari Raja pertama Berau, Baddit Dipattung, yang lebih dikenal dengan nama Aji Suryanata Kesuma.
Pada generasi kesembilan, Aji Dilayas memiliki dua putra dari ibu yang berbeda yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Pada masa itu, pemerintahan Kesultanan Berau dijalankan secara bergiliran oleh keturunan kedua pangeran tersebut.
Raja Alam sendiri adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, yang berarti ia merupakan keturunan ke-13 dari Aji Suryanata Kesuma.
Kesultanan Sambaliung eksis hingga tahun 1960 ketika kerajaan tersebut digabungkan dengan Kesultanan Gunung Tabur menjadi Kabupaten Berau. Raja terakhir Sambaliung, Sultan Muhammad Aminuddin, menjadi bupati pertama wilayah tersebut.
Keraton Sambaliung dibangun mulai tahun 1881 dan rampung pada tahun 1930-an pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aminuddin. Saat ini, bangunan bersejarah ini telah dialihfungsikan sebagai museum yang menyimpan berbagai benda peninggalan Kesultanan Sambaliung.
Arsitektur keraton mencerminkan perpaduan gaya Melayu, China, dan Bugis, dengan seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu ulin yang kuat dan tahan lama. Warna hijau dan kuning mendominasi penampilan eksterior dan interior keraton.
Keraton ini memiliki 13 ruangan yang terdiri dari ruang utama, beberapa kamar, hingga ruang meditasi yang biasa digunakan raja untuk bertapa.
Terdapat empat taman di kompleks keraton, tiga di antaranya terletak di bagian depan.

Sebuah gapura besar dengan lambang keraton menyambut para pengunjung yang hendak memasuki area istana. Saat memasuki keraton, para pengunjung akan tiba di ruang utama yang luas dan nampak megah. Koleksi yang terpajang di ruang utama adalah kursi dan meja peninggalan sultan Sambaliung. Ruang utama berfungsi sebagai tempat digelarnya pertemuan adat atau pertemuan lainnya.
Informasi mengenai silsilah raja serta foto-foto para sultan terdahulu terpampang rapi di dinding ruangan. Di sebelah kanan ruang utama terdapat ruang singgasana yang berisi kursi singgasana raja dan lemari perlengkapan. Baik kursi di ruang tengah maupun singgasana tidak dapat diduduki sembarangan oleh pengujung.
Beberapa benda bersejarah dipamerkan pada berbagai ruangan kamar di keraton ini, seperti replika pakaian dan pernak-pernik keluarga kerajaan, koleksi senjata raja, alat musik tradisional, hingga replika tempat tidur keluarga kerajaan.
Koleksi yang menarik banyak perhatian antara lain sebuah kain besar yang terbuat dari serat nanas berumur 120 tahun, berasal dari India yang digunakan sebagai pembalut luka.
Terdapat juga senjata pribadi Raja Sambaliung yakni sebuah pedang besar yang berasal dari China yang di bagian bilahnya terdapat tulisan menggunakan aksara China.
Lalu ada dua tugu prasasti terbuat dari kayu, yang satu bertuliskan aksara Arab-Melayu dan satu lagi ditulis dengan aksara asli suku Bugis. Kedua tugu ini berisi aturan dan tata krama yang harus dipatuhi saat berada di lingkungan keraton.
Aturan yang tertulis misalnya dilarang berselisih saat berada di wilayah istana, tidak diperkenankan tertawa saat memandang istana, dilarang duduk di jalanan depan istana, dan apabila seseorang melewati istana dan sultan berada di depan istana hendaknya orang tersebut duduk terlebih dahulu sebelum melanjutkan langkahnya.
Salah satu isi aturan dalam tugu adalah tentang penghormatan perempuan yang bertuliskan:
"Jangan menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan meskipun di pandanganmu adalah seorang budak. Kalian para lelaki menepilah sedikit, jika perlu turunlah dari jalanan apabila ada perempuan bersama dengan ibunya yang kamu lihat turun dari rumah (menuju jalanan) maka laki-laki berhenti dahulu dan jangan langsung memotong arah jalannya."
Mungkin terlihat seperti hal kecil yang sepele, tapi begitu luar biasa ketika di masa kerajaan yang umumnya perempuan hanya sebagai objek bahkan tidak diperhitungkan, Kerajaan Sambaliung justru sangat menghormati perempuan termasuk yang derajatnya rendah seperti budak.
Baca juga: Menikmati tarian alun di langit Kota Mataram
Keraton sekaligus museum ini juga memiliki satu koleksi unik yakni awetan tubuh seekor buaya raksasa sepanjang tujuh meter yang dipajang dalam kotak kaca di bagian luar keraton.
Berdasarkan penuturan Inda, arwah buaya tersebut diyakini pernah merasuki tubuh manusia untuk menyampaikan protes.
"Intinya dia bertanya 'kenapa saya dibunuh?' dan katanya dia juga tidak suka dipajang," kata Inda.
Baca juga: Menengok wisata sejarah di Tegallinggah Bali
Kehadiran awetan buaya tersebut kini menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem sungai dan tidak mengusik habitat hewan liar seperti buaya yang masih banyak ditemui di perairan Berau.
Dengan koleksi benda pusaka serta nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi, keraton ini menjadi destinasi wisata edukatif bagi wisatawan yang berkunjung ke Berau.
Keraton Sambaliung bukan sekadar bangunan bersejarah, melainkan saksi bisu perjalanan panjang peradaban dan budaya di Kabupaten Berau.