Mataram (ANTARA) - Resensi buku: Iraqi Ba‘thists in America’s Cold War, Weldon C. Matthews, 304 halaman (plus index), ISBN: 9781399547581, cetakan pertama Juni 2025, Edinburgh University Press, UK
Iraq, negeri 1001 malam, hancur berantakan begitu pasukan AS merangsek masuk. Invasi AS ke Iraq pada Maret 2003 merupakan perbuatan sepihak. Deklarasi invasi diumumkan Presiden AS George Bush Jr berdasar informasi sesat. Tapi, Bush dan gerombolannya di Gedung Putih saat itu //haqqul yakin// bahwa Iraq sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Minim bukti, tanpa data pasti. Hanya berdasar sumber dari politisi Iraq yang melarikan diri ke AS, Ahmad Shalabi.
Shalabi politisi anti-Saddam Hussein. Keluarganya hengkang dari Iraq pada 1958 usai pecah revolusi 14 Juli di Iraq. Abdul Karim Qasim, perwira militer, naik ke tampuk kekuasaan menjadi perdana menteri Iraq. Pengaruh Ba'ath belum begitu kuat di Iraq. Namun, keluarga Shalabi sudah tak tahan hidup di Iraq, lalu memutuskan ke AS dan Inggris. Lantas, Ahmad Shalabi mendirikan Kongres Nasional Iraq. Di lembaga ini ia menampung para politisi pelarian Iraq dan juga menjalin komunikasi dengan para pendukungnya di Iraq dan sekitarnya.
Komunikasi Shalabi dengan Paul Wolfowitz berlangsung sangat akrab. Sebelum invasi AS ke Iraq 2003, secara rutin Shalabi menyuplai informasi-informasi sesat ke dalam lingkaran pemerintahan Bush tentang senjata pemusnah massal yang dipersiapkan Saddam Hussein. CIA membutuhkan informasi Shalabi karena CIA sudah kesulitan menempatkan ''aset''-nya di di lapangan. Saddam Hussein membuat CIA kewalahan beroperasi di Iraq. Saddam Hussein sudah tahu betul bagaimana harus menghadapi beragam operasi CIA di kawasan itu.
Sebab, Partai Ba'ath yang dikomandani Saddam Hussein sebenarnya merajut sejarah panjang berhubungan dengan para pejabat AS selama perang dingin. Berkat dukungan para pejabat AS, Partai Ba'ath sukses melakukan berbagai orkestrasi kekerasan di Iraq. Mobilisasi massa untuk Saddam Hussein juga dikerjakan Partai Ba'ath berkat dukungan AS karena AS berkepentingan dengan Iraq agar tak jatuh ke Partai Komunis yang didukung sepenuhnya oleh Moskow dan Beijing.
Perang dingin justru menghangatkan hubungan AS dan Iraq. Melalui partai ini, baik Saddam maupun AS berhasil melakukan pengendalian terhadap buruh, perempuan, mahasiswa, petani dan kalangan profesional di Iraq. Di mata para pejabat AS, kaum Ba'ath atau yang akrab disebut Ba'athis, adalah kaum nasionalis Arab. Kaum ini mempunyai keinginan membangun negerinya lebih modern secara demokratis. Sehingga jargon mereka untuk membangun, memodernisasi dan ikut serta dalam denyut kapitalisme menjadikan mereka sejalan dengan AS.
Selama lebih dari dua dekade sejak usai revolusi 1958, kemesraan para nasionalis Arab dengan AS berlangsung secara intens. Kaum Ba'athis meyakini bahwa revolusi mendatangkan berkah. Terutama untuk mewujudkan masyarakat sosialis yang demokratik. Sehingga keinginan kuat kaum Ba'athis ini sesungguhnya juga memantik rasa was-was di internal pemerintahan di AS. Apalagi ketika kaum Ba'athis yang didukung CIA sukses mendongkel Abdul Karim Qasim, Perdana Menteri Iraq, pada Februari 1963 dari tampuk kekuasaan.
Presiden John F Kennedy berada dibalik pendongkelan itu. Kennedy geram karena pada Desember 1961, perusahaan minyak Iraq menarik konsesi eksplorasi minyak Iraq untuk AS. Pada kurun sebelumnya, Presiden AS Dwight D. Eisenhower juga melancarkan operasi rahasia CIA mendongkel Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh pada tahun 1953 karena Mossadegh melakukan nasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian. Nyaris seluruh operasi CIA di kawasan Timur Tengah pada dekade itu bermotif mempertahankan hegemoni AS atas minyak selain juga bertujuan ideologis. Melawan kelompok komunis.
Kaum Ba'athis mendapatkan manfaat dari dukungan AS sebelum mereka meraih kekuasaan. Sangat mungkin bahwa dukungan tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, agar kaum Ba'ath mengimbangi pengaruh komunis dalam kepemimpinan asosiasi Irak. Kedua, untuk membantu kaum Ba'ath, bersama dengan nasionalis lainnya, untuk mencegah komunis meraih kemenangan dalam perjuangan penuh kekerasan setelah diperkirakan Qasim akan jatuh. Para pejabat AS melanjutkan hubungan mereka dengan Partai Ba‘th saat pembentukan pasukan paramiliter untuk menghadapi kaum komunis.
Setelah berhasil dalam kudeta, kelompok Ba‘this mengalihkan pasukan paramiliter mereka guna membunuh dan menangkap komunis, serta menginterogasi mereka di tempat-tempat penahanan yang baru didirikan. Semua ini menunjukkan bahwa sasaran utama tindakan rahasia Amerika bukanlah Qasim tetapi Partai Komunis Irak.
Ala kulli hal, CIA mengalihkan upayanya ke negara-negara di luar Blok Komunis, di mana para agen CIA menyuplai senjata dan radio, serta melatih gerilyawan untuk melawan semua komponen yang didukung Soviet. Operasi ini bertajuk "stay-behind" (berada di belakang). Tujuannya, mempertahankan pengaruh AS sembari mendorong aktor-aktor di lapangan. Jika pada era perang dingin sifat pengaruh itu ideologis dan ekonomi, maka usai perang dingin sifat pengaruh itu bisa jadi supremasi ekonomi.*