Mataram (ANTARA) - Tanggal 10 November 2025 akan menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Bima dan seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada momentum Hari Pahlawan, negara akan mengumumkan Sultan Muhammad Salahuddin, yang merupakan Sultan Bima ke-XIV, sebagai Pahlawan Nasional.
Pengakuan ini bukan sekadar seremoni kenegaraan, melainkan penegasan bahwa semangat perjuangan dari Tanah Samparaja adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik perjuangan Indonesia.
Lebih dari satu abad lalu, Sultan Salahuddin memimpin Bima di tengah tekanan kolonial Belanda. Ia bukan penguasa yang berjarak dari rakyat, melainkan pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah.
Di masa genting menuju kemerdekaan, ia menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai inti pemerintahan dengan membuka akses pendidikan, memperkuat ekonomi rakyat, dan memelihara nilai kebangsaan jauh sebelum republik ini lahir.
Sultan Salahuddin adalah contoh pemimpin yang melampaui zamannya. Di saat banyak kerajaan memilih bertahan dalam status quo, ia justru memimpin Bima keluar dari bayang-bayang kolonial.
Peristiwa “Bima Merdeka 103 Hari” menjadi bukti bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya menyala di Jawa dan Sumatera, tetapi juga di tanah timur Nusantara.
Tindakan politik terbesarnya tercatat dalam Maklumat 22 November 1945, ketika Sultan menyatakan kesetiaan penuh Kesultanan Bima kepada Republik Indonesia yang baru berdiri.
Keputusan itu diambil di tengah ketidakpastian nasional, ketika banyak kerajaan masih ragu untuk memihak republik.
Dengan penuh keberanian, Sultan memilih Indonesia, meski keputusan itu berarti melepaskan sebagian besar kekuasaan tradisional yang telah berabad-abad dipegang oleh keluarganya.
Langkah tersebut bukan sekadar simbol politik, melainkan perwujudan cinta tanah air dan keberanian moral untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan istana.
Ia memahami bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya lahir dari perang, tetapi juga dari kebijaksanaan dan keikhlasan seorang pemimpin.
Lebih dari sekadar raja, Sultan Salahuddin adalah pendidik dan pembaharu sosial. Ia membuka sekolah umum dan agama dengan biaya pribadi, memberi beasiswa kepada anak-anak miskin, serta mengajarkan bahwa ilmu dan iman harus berjalan seiring.
Pandangannya yang progresif menjadikan Bima salah satu wilayah dengan tingkat literasi tinggi di timur Indonesia pada masa kolonial.
Setelah proklamasi, ketika Belanda berusaha kembali menancapkan kekuasaan melalui NICA, Sultan dengan tegas menolak kehadiran mereka.
Sikapnya mendapat perhatian nasional. Presiden Soekarno bahkan datang ke Bima untuk menyampaikan terima kasih atas keteguhan sang Sultan dalam membela republik muda.
Kini, ketika negara menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya, pengakuan itu bukan hanya penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga refleksi bagi masa kini.
Di tengah krisis keteladanan dan menguatnya pragmatisme politik, sosok Sultan Salahuddin mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah kehampaan, dan ilmu tanpa pengabdian adalah kesia-siaan.
Warisan nilai-nilai Sultan perlu terus dijaga melalui pelestarian Museum Asi Mbojo dan kompleks Samparaja, serta integrasi ajaran perjuangannya dalam pendidikan lokal.
Prinsip pemerataan pendidikan, keadilan sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil adalah pesan yang tetap relevan hingga kini.
Ketika nama Sultan Muhammad Salahuddin disebut di Istana Negara pada Hari Pahlawan, yang hadir bukan hanya kebanggaan Bima, tetapi juga penegasan bagi seluruh bangsa, bahwa dari Tanah Samparaja, lahir pahlawan yang menyalakan cahaya kemerdekaan bagi Indonesia.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Tangis anak di Bumi Seribu Masjid
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Debu dan jejak integritas di lintasan motocross
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Samota di tikungan integritas
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menyelamatkan gili dari sengketa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Superhub Bali-NTB-NTT, Dari wacana ke aksi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika Mandalika melahirkan juara
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kenaikan tarif dan ujian tata kelola Rinjani
