Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Tomo Sitepu melihat ada indikasi pemufakatan jahat dalam kasus penjualan aset milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat berupa lahan seluas 6,97 hektare di Dusun Punikan.
"Modus dalam kasus ini sudah sangat kental sekali. Kasus seperti ini pada tahun 80-an di Medan sudah terjadi dan para pelakunya sudah di penjara. Jadi ini kasus, memang sengaja dikondisikan sedemikian rupa," kata Tomo Sitepu di Mataram, Jumat.
Pada tahun 2017, lahan yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pertanian dan Perkebunan Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Dari penelusuran laman resmi di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK yang mengklaim lahan seluas 6,97 hektare tersebut sebagai warisan dari orang tuanya. Dia menggugat pengelola lahan berinisial IW.
Dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Mataram, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Namun majelis hakim dalam putusan perdata di tingkat pertama, menolak seluruh isi gugatan GHK.
Terkait hal itu, GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Dalam upaya hukum lanjutannya, majelis hakim menerima pengajuan banding GHK dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Dalam putusan bandingnya, majelis hakim menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orang tuanya berinisial GGK dan memerintahkan agar tergugat menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat kepada GHK.
Namun dalam proses gugatan yang memenangkan pihak penggugat, pihak kejaksaan melihat ada yang kurang beres.
Dari informasi pihaknya, Tomo mengatakan bahwa ada indikasi pemufakatan jahat antara penggugat dengan tergugat hingga kepemilikan lahan tersebut kini beralih.
"Di situ perjanjian antara keduanya, kalau menang di banding, lahan 4 hektare diberikan ke tergugat, 2 hektare ke penggugat. Kalau memang penggugat itu mengklaim sebagai pihak yang berhak, kenapa harus kasih lagi lahan ke tergugat," ujarnya.
Begitu juga dengan adanya dugaan perambahan dan penjualan ratusan pohon kelapa yang berada di dalam lahan.
Tomo menyayangkan hal tersebut hanya dilaporkan sebatas di lingkup pemerintahan. Menurutnya, itu sudah bagian dari tindak pidana karena melakukan perambahan di dalam kawasan yang masih tercatat sebagai aset Pemkab Lombok Barat.
"Kenapa juga pas ada penebangan pohon kelapa itu, lapornya ke pemerintah, kenapa tidak lapor ke polisi, itu kan bukan ranah administrasi, bukan ranah ketertiban, kenapa tidak laporkan pidananya," ucap dia.
Terkait hal itu, pihak kejaksaan juga akan meminta penjelasan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Lombok Barat sebagai pengelola aset.
"Itu kan diberikan pemerintah ke dinas pertanian dan perkebunan untuk dijaga. Kenapa sampai ada pembiaran. Alasan mereka sebelumnya tidak tahu, tetapi ketidaktahuan itu seperti apa, itu yang nanti akan kita cari tahu dari pemeriksaan," kata Tomo.
Pada Rabu (2/6), Kejati NTB menetapkan bahwa penanganan kasus ini naik ke tahap penyidikan pidana khusus. Hal itu sesuai dengan hasil gelar perkara di Gedung Kejati NTB.
Dalam agenda penyidikannya, penyidik kejaksaan akan melakukan pemeriksaan terhadap para saksi yang sebelumnya telah memberikan klarifikasi di tahap penyelidikan, termasuk dari pihak pemerintah.
Kemudian untuk kerugian negara dalam kasus ini, pihak kejaksaan akan menggandeng ahli. Namun dari hasil kajian sementara, nilai jual yang muncul dari penjualan lahan dalam bentuk kaveling itu sebagai nilai kerugian negara. nilainya mencapai Rp6,97 miliar.
"Kerugian juga akan kita lihat untuk pohon kelapa yang ditebang," ucapnya.
Terkait dengan putusan banding yang menyatakan bahwa kepemilikan lahan tersebut kini beralih ke GHK, pihak kejaksaan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat untuk membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).