CUCI OTAK

id

Jakarta (ANTARA) - Belakangan ini geger diberitakan tentang cuci otak. Beberapa korban telah berjatuhan. Mereka dimanfaatkan untuk kegiatan dengan motif tertentu atas nama agama. Atas nama agama pula sekelompok orang telah ditangkap polisi karena laku kejahatan terorisme. Mengapa orang sampai mau melakukan hal-hal yang di luar nalar dan kelaziman publik seperti itu?

Berbagai perspektif dari sisi psikologi, pemahaman keagamaan yang ekstrim, hingga konteks ekonomi telah diulas para pakar. Yang jelas kita prihatin dengan fenomena-fenomena tersebut. Ketika sekelompok orang atas nama agama menghalalkan segala cara untuk tujuan yang dipandang mereka mulia, maka bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

Kontradiksi antara atas nama kebaikan dan perilaku kejahatan hanya dapat dijalani oleh orang yang kehilangan orientasi. Cuci otak merupakan metode manipulatif untuk menghilangkan orientasi seseorang, sehingga kejahatan pun dipandang jalan yang baik. Para pencuci otak memasukkan klaim-klaim alias pembenaran-pembenaran di luar kelaziman.

Salah satu studi tentang cuci otak atau brainwashing, misalnya dilakukan oleh Kathleen Taylor. Dalam bukunya Brainwashing: The Science of Thought Control (2004), Taylor mengutip fenomena tahanan perang selama Perang Korea tahun 1950-an. Para tahanan (AS) yang dicuci otaknya, berbalik membela yang menahan (Korea Utara).

Istilah brainwashing itu sendiri, sebagaimana dikutip Taylor pertama kali dipopulerkan oleh jurnalis Edward Hunter dalam sebuah artikelnya di New Leader 7 Oktober 1950. Sepanjang Perang Korea, Hunter menayangkan serangkaian serial mengenai tema itu.

Taylor juga mencatat bahwa metode cuci otak lazim dipakai oleh rezim totalitarian dan komunis. Ia sendiri lantas membangun model FACET singkatan dari Freedom, Agency, Complexity, Ends (not means), dan Thinking. Ia pun yakin metode itu dapat dipakai juga untuk menangkal pengaruh cuci otak.

Setelah membaca buku itu, saya mencatat bahwa tampaknya cuci otak berbeda dengan hipnotis. Cuci otak lebih kompleks. Ia terkait dengan konteks penanaman ideologi pembenar, suatu nilai dasar atau tujuan utama yang harus dicapai dengan pengorbanan jiwa sekalipun. Kebebasan seseorang tidaklah ada, melainkan di bawah kontrol sang pengendali kebebasan.

Ia hanyalah sosok agen alias penyalur atau penyukses kepentingan yang lebih besar, kepentingan di luar kepentingan dirinya sesungguhnya, tetapi ia berkewajiban untuk memenuhinya. Ia mungkin sadar hanyalah sebagai sesosok zombie dalam hal kebebasan. Artinya ia terikat erat sekali dengan sesuatu yang membuatnya tidak bisa berkata tidak. Ia susah untuk memberontak pada sang penakluk.

Sang penakluk yang dimaksud adalah sang pengendali, sang sosok yang dipandang suci tempat berpasrah, sehingga siapa saja di bawah kendali pengaruhnya tak bisa menolak. Pada sekte-sekte tertentu praktik-praktik di luar kelaziman, sering kita dengar dimana sang elite memainkan kesempatan sedemikian rupa pada para anak-buah.

Ciri lain yang juga perlu kita catat adalah pergerakan sang pencuci otak yang sistematis-organisatoris. Bahkan mereka menjalankannya melalui metode sel. Rapi sekali. Suasana, interaksi, dan hirarkis organisatoris dibikin sesakral mungkin. Pucuk pimpinan tertinggi, sering digambarkan secara imajiner, sebagai sesosok yang suci.

Dalam batas-batas tertentu organisasi-organisasi mafia mempraktikkan pendekatan cuci otak itu. Tapi pendekatannya lebih keras, ketimbang organisasi yang memanipulasi simbol-simbol kesufian. Tetapi, apakah keras atau lunak, praktik pencucian otak membuat yang terkena segera kehilangan nalar dan kewajaran alias kelaziman publik.

Cuci otak dan politik, sepanjang sejarahnya sangat berimpitan. Metode cuci otak juga sudah dikenal dalam sejarah-sejarah kekuasaan kuno di China. Istilah China atas metode ini adalah xǐ năo. Ia dipakai sedemikian rupa pada rezim Mao, sebagai perekayasaan pola pikir untuk tujuan politik.

Beberapa kasus cuci otak yang mencuat belakangan, jelas terkait dengan politik juga. Dengan pembenaran ideologi-agama, tujuan politik ditetapkan. Mekanisme untuk menggapainya dilakukan dengan memperkuat basis ekonomi. Dan, inilah yang menjadi sorotan banyak kalangan, caranya dengan menghalalkan segala pendekatan.

Masyarakat harus waspada dengan gerakan-gerakan dengan pendekatan demikian. Caranya dengan memelihara kewajaran hidup dan nalar. Tak ada jalan pintas untuk mencapai tujuan: di dunia maupun akhirat. Agama mengajarkan kewajaran dan kelaziman umatnya. Tuhan telah memberi sinyal untuk tidak membebani umatnya di luar batas kemampuan. (***)

M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta.