Mantan Direktur RSUD Lombok Utara batal jalani penahanan jaksa

id penahanan tersangka,tahap dua,korupsi rsud klu

Mantan Direktur RSUD Lombok Utara batal jalani penahanan jaksa

Gedung Kejati NTB. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara, berinisial SH, yang menjadi salah seorang tersangka korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU di tahun anggaran 2019, kembali batal menjalani penahanan Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat.

Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati NTB Efrien Saputra, Rabu, belum menyampaikan penjelasan perihal alasan penyidik membatalkan agenda penahanan hari ini yang menjadi syarat pelimpahan tahap dua dari kasus dengan kerugian negara Rp1,757 miliar tersebut.

Baca juga: Tiga tersangka korupsi proyek ICU RSUD Lombok Utara ditahan

Baca juga: Berkas korupsi RSUD Lombok Utara dinyatakan lengkap

Baca juga: Alasan sakit, Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB


Keterangan belum juga disampaikan baik melalui telepon seluler, maupun konfirmasi langsung dari petugas piket pada Lobi Gedung Kejati NTB yang menyampaikan Efrien belum bisa ditemui karena alasan "kurang enak badan".

Namun alasan pembatalan penahanan SH, telah dikonfirmasi oleh kuasa hukumnya, Herman Surenggana.

Dia menyampaikan, klien-nya batal menjalani penahanan karena alasan sakit. Sehingga dirinya yang mewakili klien-nya hadir memenuhi agenda panggilan penyidik dengan membawa bekal surat keterangan sakit SH.

"Pagi tadi sekitar jam 09.00 Wita, surat keterangan sakit-nya saya antarkan sendiri ke penyidik," kata Kuasa hukum SH, Herman Surenggana.

Dengan mengajukan surat keterangan sakit tersebut, Herman memastikan bahwa klien-nya bukan menghindar dari proses hukum yang kini sedang berjalan di tahap akhir penyidikan jaksa.

"Panggilannya itu memang untuk tahap dua, tetapi karena klien kami sakit, sakitnya itu stres, jadi kami minta tunda," ucap dia.

Herman pun memastikan klien-nya akan hadir pada hari pertama usai masa cuti bersama selesai, yakni pada Senin (9/5) mendatang.

"Tidak perlu tunggu panggilan lagi, kami langsung nyatakan ke jaksa tadi, kalau klien kami yang akan datang sendiri di hari pertama masuk, tanggal 9 Mei itu," kata Herman.

Sebelumnya SH juga berhalangan hadir pada agenda panggilan pertama untuk pelaksanaan tahap dua kasus tersebut. Herman sebagai kuasa hukum datang mewakili menyampaikan alasan SH tidak ikut serta bersama tiga tersangka lainnya dalam pelaksanaan tahap dua, Rabu (20/4) lalu.

Herman mengonfirmasi bahwa klien-nya sedang sibuk menjalankan tugas di Pulau Sumbawa, sebagai ketua satgas penanggulangan pencegahan COVID-19.

Karena alasan demikian, tersangka SH melalui kuasa hukumnya meminta penundaan pelaksanaan tahap dua ke jaksa. 

Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum telah menahan tiga tersangka, selain SH. Penahanan tiga tersangka dititipkan di Rutan Polda NTB.

Tiga tersangka yang menjalani penahanan tersebut adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, berinisial EB, direktur konsultan pengawas dari CV Cipta Pandu Utama berinisial DD, dan direktur perusahaan pelaksana proyek dari PT Apro Megatama, asal Makassar, Sulawesi Selatan, berinisial DT.

Proyek penambahan ruang operasi dan ICU ini terlaksana di tahun anggaran 2019. Proyek ini menelan dana APBD senilai Rp6,4 miliar.

Dugaan korupsinya muncul karena pengerjaannya molor hingga menimbulkan denda. Hal itu pun mengakibatkan adanya potensi kerugian negara Rp1,757 miliar. Nilai tersebut muncul berdasarkan hasil audit Inspektorat Lombok Utara.