Bahlil perjuangkan perlakuan setara soal nilai karbon di WEF

id Bahlil lahadalia, nilai karbon, wef 2022, perhitungan nilai karbon, karbon credit, carbon credit, carbon pricing, umkm

Bahlil perjuangkan perlakuan setara soal nilai karbon di WEF

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. (ANTARA/Youtube Kementerian Investasi-BKPM)

Jakarta (ANTARA) - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memperjuangkan perlakuan setara antara negara maju dan negara berkembang terkait perhitungan nilai karbon dalam gelaran World Economic Forum (WEF) 2022 di Davos, Swiss.

Dalam konferensi pers di Davos, Swiss, yang dipantau secara daring dari Jakarta, Selasa, Bahlil mengatakan dirinya sempat mengulas secara transparan soal standar ganda nilai karbon yang diterapkan negara maju dalam salah satu agenda diskusi.

"Kami diskusi panjang lebar, dan saya mengulas secara transparan. Kenapa? Agaknya kami melihat standar ganda yang dipakai negara maju dalam menerapkan karbon ini sangat terlihat sekali. Contoh di Pasal 6, harga karbon di negara maju itu bisa sampai 100 dolar AS. Harga karbon negara berkembang yang mempunyai sumber daya alam itu dihargai cuma 10 dolar AS. Ini tidak fair," ungkapnya.

Selain perbedaan harga karbon di negara maju dan negara berkembang, Bahlil juga menilai tidak ada dasar dan cara penghitungan yang sama.

Baca juga: Menteri Investasi mendukung keberadaan jaringan 5G di Indonesia timur

Meski negara maju memberikan sumbangsih besar karena kondisi alam yang menurun, namun negara berkembang, termasuk Indonesia, melakukan dua pendekatan dalam menjaga karbon. Pertama, memelihara hutan atau sumber daya alam yang masih ada, serta kedua, melakukan penghijauan kembali, terutama di lahan gambut. "Itu pun dinilai berbeda," katanya.

Oleh karena itu, Bahlil meminta agar tidak ada lagu perlakuan yang berbeda soal hal tersebut karena tujuannya adalah untuk mendorong netralitas karbon yang jadi masalah global.

"Katakanlah mereka lebih banyak, mereka lebih daripada kita mereka tapi selisihnya jangan terlalu gede. Itu satu. Kedua, yang kita perjuangkan juga adalah jangan harga karbon, (upaya) memperbaiki hutan atau memperbaiki mangrove yang sudah punah itu nilainya lebih besar ketimbang dengan yang memelihara. Ini juga tidak fair. Yang penting bagi kami adalah harus ada keseimbangan yang adil," katanya.

Usulan lainnya, lanjut Bahlil, yaitu perlu adanya dasar yang jelas agar tidak ada kriteria yang berbeda pembelian karbon. Demikian pula perlu ada transparansi soal pembeli karbon.

Baca juga: NTB melibatkan Satgas Investasi BKPM tuntaskan persoalan GTI

"Dan harus ada transparansi soal juga untuk melibatkan UMKM karena masyarakat sekitar hutan itu penting juga untuk mendapatkan multiplier effect dari proses karbonisasi ini," katanya.

Bahlil menilai masyarakat sekitar hutan akan terdampak langsung oleh karbonisasi. Oleh karena itu, jika mereka tidak terjamin kesejahteraannya, maka hutan pun tidak akan dapat terjaga dengan baik.

"Mereka (negara maju) punya capital, mereka punya teknologi, tapi wilayah negara punya kita. Harus ada kolaborasi yang positif dong. Jangan sendiri mau dapat untung gede. Kita dikasih untung kecil. Tidak fair ini," pungkas Bahlil.