Kritik sosial melalui seni kontemporer di Museum Macan

id Museum Macan,Agus Suwage,Museum,Metro Oleh Hendri Sukma Indrawan

Kritik sosial melalui seni kontemporer di Museum Macan

Pameran "TheĀ TheaterĀ of Me" oleh perupa Agus Suwage di Museum Macan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (26/7/2022). ANTARA/Hendri Sukma Indrawan

Jakarta (ANTARA) - Museum Macan, mendengar nama ini pasti kita membayangkan sebuah museum yang menampilkan berbagai hewan sejenis kucing besar dan buas menakutkan atau seputar tentang "permacanan" dari mulai macan yang diawetkan, patung replika macan hingga sejumlah macan lainnya.

Namun, museum tersebut sangatlah jauh dari bayangkan kita. Bahkan apa yang ditampilkan sama sekali tidak berhubungan dengan hewan karnivora ganas tersebut. Museum Macan ternyata adalah sebuah kependekan dari "Museum of Modern And Contemporary Art in Nusantara".

Museum yang berlokasi di AKR Tower, Kebon Jeruk, Jakarta Barat tersebut merupakan sebuah museum seni kontemporer yang menampilkan berbagai karya para seniman dan perupa dari Indonesia serta mancanegara.

Seni kontemporer dan modern yang ditampilkan oleh Museum Macan ini tidak terbatas pada lukisan, tetapi juga mencakup gaya modern menggunakan berbagai media, teknik dan seni instalasi.

Beberapa tahun terakhir, Museum Macan telah menjadi salah satu destinasi wisata baru di Ibu Kota karena karya yang ditampilkan tidak biasa dan penyajian hasil karya serta "spot-spot" yang ada di dalamnya sangat keren.

Pameran 'The Theater of Me'

Saat ini museum ini sedang menggelar pameran bertajuk "The Theater of Me" untuk merayakan tiga dekade berkarya perupa asal Yogyakarta, Agus Suwage. Mengutip dari laman resmi Museum MACAN, Agus Suwage adalah salah satu perupa terkemuka Indonesia yang praktik berkeseniannya muncul di tengah gejolak perubahan sosial dan politik Indonesia, menjelang era Reformasi pada pertengahan 1990-an, khususnya Kerusuhan Mei 1988. Campuran harapan dan ketakutan dapat dirasakan di banyak karya yang digantung serta dipajang di aula hingga sudut museum.

Karyanya secara mendalam mengungkapkan harapan dan rasa frustrasi dari generasi yang terhanyut dalam pergeseran kekuasaan serta identitas, yang dipengaruhi baik oleh pembaruan nasional maupun globalisasi.

Baca juga: Museum Fatahillah menjadi saksi bisu jejak sejarah Jakarta
Baca juga: Koleksi wayang kulit dari luar Pulau Jawa di Museum Wayang


Suwage dianggap sebagai pelopor seni rupa modern di Indonesia karena menjadi pelukis pertama yang memanfaatkan teknik seni lukis modern dari Barat.

Sebagai salah satu seniman kontemporer Indonesia yang paling terkenal, Suwage telah membangun reputasinya dengan mengekspresikan tema budaya dan sosial-politik melalui sinisme dan sindiran.

Sentimen-sentimen itu dimanifestasikan dalam sebuah pameran terbarunya tersebut yang digelar di Museum MACAN sejak 4 Juni hingga 15 Oktober 2022. Pameran itu memperlihatkan perkembangan Suwage sebagai seniman selama tiga dekade dan menampilkan lebih dari 80 karya seni dari perupa asal Yogyakarta tersebut, mulai dari patung, instalasi, lukisan, hingga gambar.


 
Para pengunjung melihat lukisan di pameran "The Theater of Me" oleh perupa Agus Suwage di Museum Macan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (26/7/2022). ANTARA/Hendri Sukma Indrawan

"(Pameran) direncanakan tepat sebelum pandemi, jadi kami harus menunda peluncuran dan berhenti," kata Suwage dalam konferensi pers yang diadakan pada 4 Juni lalu.

"Dan selama status yang panjang itu, saya telah melupakan banyak proses dan karya seni yang kami rencanakan untuk dipamerkan. Jadi ini adalah momen penting untuk menemukan kembali, mengenang, dan menghidupkan kembali karya-karya yang telah saya lakukan, seperti bertemu seorang teman lama," lanjut Suwage.

Lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 14 April 1959, Suwage memulai kariernya sebagai desainer grafis, di mana ia belajar disiplin dan lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB). Karya-karyanya telah dipamerkan di seluruh Indonesia dan luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, India, Meksiko, Belanda, dan Jerman. Sepanjang kariernya, ia konsisten menggali cerita bertema identitas serta wacana sosial-politik dan budaya pada masanya.


Karya Agus Suwage

Saat memasuki ruang pameran, pengunjung langsung disambut dengan instalasi bergaya monumen yang terdiri dari lebih dari seribu botol bir kaca berwarna hijau dengan sosok kerangka bersayap emas mengenakan sorban serta memegang pedang bertengger di atasnya.

Karya berjudul "Monumen yang Menjaga Hankamnas" (2012) merupakan sebuah parodi dari individu-individu yang haus kekuasaan, sekaligus kritik terhadap aib otoriter dan intoleransi. Meskipun reformasi sedang berlangsung, Suwage berpendapat bahwa toleransi masih merupakan konsep yang dibuat-buat yang harus diperjuangkan.
Karya-karya Suwage dalam pameran ini memang terlihat suram, terselubung dalam humor dan visualisasi gelap, tidak sopan namun tetap dengan kritik diri dan ironi. Karya tersebut diam-diam memancarkan emosi pedih dari perjalanannya dan kebenaran pahit yang telah dia saksikan sepanjang hidup.

Karya lainnya berjudul "Daughters of Democracy" (1996) adalah tiga lukisan menggambarkan wajah aneh dengan latar belakang hutan gundul. Lukisan tersebut diciptakan setelah kelahiran putrinya pada 1996, saat suasana di Jakarta meresahkan.

Melalui karya itu, Suwage bersimpati dengan pemberontakan dan protes mahasiswa yang meletus di Jakarta. Ia menggunakan karya ini untuk memberi penghormatan kepada mereka sebagai simbol harapan bagi generasi dan demokrasi baru.

Salah satu karya yang menarik perhatian adalah gambar potret dirinya dengan bentuk-Bentuk yang aneh, meresahkan dan menghibur. Karya tersebut merupakan bentuk keterbukaannya terhadap kritik, sebelum ia mengkritisi berbagai hal di luar dirinya.


Karya lainnya dari pameran ini adalah ‘100 Drawing dan 720 Hari’ yang dibuatnya dari 2012 sampai 2014, yang menghadirkan tampilan yang lebih dekat ke dalam narasi artistik Suwage saat mempraktikkan teknik cat air wet-on-wet. Teknik wet-on-wet sendiri adalah teknik mengaplikasikan sapuan cat air basah di atas permukaan kertas cat air yang dibasahi terlebih dahulu pada area tertentu.

Karya lainnya adalah "Toys' S' Us" (2003) dan "Passion Play" (2009) yang merupakan kritik terhadap hubungan kompleks seorang seniman di dunia komersial. Selain karya Agus Suwage, Museum Macan juga menampilkan pameran "Pose" oleh S. Sudjojono yang mengamati perubahan dan pergeseran sosial, ekonomi serta budaya di masyarakat dan salah satu karya seni yang menjadi favorit di museum ini adalah "Infinity Mirrored Room" karya seniman Jepang, Yayoi Kusuma.