Mataram, 16/3 (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan mengingatkan pemerintah daerah berhati-hati dalam penggunaan pola anggaran perjalanan dinas, agar tidak menimbulkan kesan ganda dalam laporan keuangan.
"Dalam pertemuan dengan Pak Gubernur dan para bupati/wali kota, saya tegaskan hal ini, karena perjalanan dinas sering menjadi momok di daerah," kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil, di Mataram, Jumat.
Rizal berada di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak Rabu (14/3), dan menghadiri pertemuan supervisi dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH M Zainul Majdi, dan bupati/wali kota atau pejabat yang mewakili sejumlah bupati/wali kota Se-NTB, di Mataram, Kamis (15/3).
Pertemuan supervisi itu terkait peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara/daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Ia mengatakan, sejauh ini penganggaran perjalanan dinas masih dibolehkan menggunakan pola lumpsum (biaya dibayar sekaligus) atau "at cost" (sesuai kebutuhan riil), namun harus berhati-hati karena semuanya patut didukung bukti otentik.
"Kasus-kasus yang menimpa anggota DPRD umumnya seperti ini, sehingga Pak Sekwan (Sekretaris DPRD) harus peka dan lebih berhati-hati, jangan ada kesan ganda," ujarnya.
Rizal menghendaki kuasa pengguna anggaran di pemerintahan daerah dalam menetapkan pola penganggaran perjalanan dinas baik lumpsum maupun "at cost" harus tetap memperdomani aturan dan ketentuan yang berlaku.
Di waktu lalu, Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara telah mengeluarkan Ketentuan perjalanan dinas dengan sistem lumpsum, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2003 tentang tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.
Dengan menggunakan sistem lumpsum maka pegawai yang akan melakukan perjalanan dinas akan menerima sejumlah uang tertentu yang dibayarkan sekaligus.
Dalam lumpsum yang diterima termasuk didalamnya adalah biaya transportasi, biaya penginapan dan biaya hidup selama perjalanan dinas.
Dengan sistem ini pegawai yang melakukan perjalanan dinas dapat mengatur sendiri penggunaan uangnya, karena tidak ada pertanggungjawaban lebih lanjut penggunaan uang tersebut, kecuali satu-satunya alat bukti yakni adanya Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang telah ditandatangani dan dicap oleh instansi tempat tujuan.
Pola ini berpotensi terjadi penyelewengan, sehingga Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan menteri keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap, yang kemudian diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 /PMK.05/2007 dan terakhir melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.05/2008.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang terakhir ini sistem perjalanan dinas yang menggunakan sistem lumpsum diubah menjadi kombinasi antara Lumpsum dan "at cost".
Perubahan tersebut berakibat penambahan tingkatan perjalanan dinas, semula hanya mengenal empat yaitu tingkat A, B, C, dan D, namun dalam Peraturan Menteri Keuangan yang baru tingkatan tersebut diubah menjadi enam tingkatan, yakni selain ABCD juga tingkat E untuk pejabat Eselon IV/Golongan III dan tingkatan F untuk PNS Gololongan II dan I.
Biaya perjalanan dinas yang diberikan itu berupa uang Harian yang meliputi uang makan, uang saku, dan transpor lokal, biaya transpor pegawai, biaya penginapan, uang representatif, dan sewa kendaraan dalam kota.
Uang harian yang diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan itu sebagai uang makan, uang saku dan transport lokal. Besarnya tergantung daerah tujuan perjalanan dinas.
Penggunaannya tidak memerlukan bukti pertanggungjawaban lagi. Uang tersebut bebas mau dibelanjakan atau tidak tanpa harus dibuktikan dengan bukti-bukti. Uang harian diberikan sesuai dengan jumlah hari perjalanan dinas.
Namun, jika pegawai yang melakukan perjalanan dinas pulang lebih awal dari hari yang tertera dalam surat tugas maka pejabat yang bersangkutan harus mengembalikan uang harian tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dengan tanggal yang tertera dalam tiket pergi dan pulang pejabat yang bersangkutan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, standar biaya perjalanan dinas, batas tertinggi biaya penginapan tersebut dibedakan antara provinsi dan kelas kamar hotelnya. Pemberian uang penginapan ini dilakukan secara "at cost", yaitu sesuai dengan bukti yang dikeluarkan.
Biaya transportasi juga diberikan dengan sistem "at cost". Standar biaya transportasi yang diberlakukan disesuaikan dengan tingkat perjalanan dinas.
Khusus untuk DPRD NTB, mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2009, yang mengatur standar satuan harga untuk biaya perjalanan dinas di pemerintah daerah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Hal itu merupakan Pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam keputusan kepala daerah tersebut juga diatur pendekatan penetapan biaya perjalanan dinas, baik lumpsum maupun "at cost" yang disesuaikan dengan sistem akuntabilitas/pertanggungjawaban keuangan yang dianut.
Hal tersebut berarti daerah diberi kebebasan untuk menentukan apakah akan menggunakan lumpsum atau "at cost" sesuai dengan kebutuhan. (*)