Eks narapidana suap proyek rehabilitasi sekolah pascagempa mengajukan PK

id pengajuan pk

Eks narapidana suap proyek rehabilitasi sekolah pascagempa mengajukan PK

Arsip-Terdakwa korupsi "fee project" rehabilitasi sekolah pascagempa Lombok Muhir (tengah) menyampaikan keterangan usai menjalani sidang putusannya di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, NTB. (FOTO ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Eks narapidana kasus suap atau penerimaan "fee project" program rehabilitasi sekolah pascagempa Lombok, Nusa Tenggara Barat Muhir mengajukan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung.

"Kami mengajukan PK dengan dasar kekhilafan hakim," kata Suhartono, penasihat hukum Muhir di Mataram, Kamis.

Pengajuan PK ini pun secara resmi telah tercantum dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram tanggal 10 Januari 2023.

Dalam konstruksi kasus, Muhir ketika itu masih aktif menjabat Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram. Dia tertangkap pihak kejaksaan dalam operasi tangkap tangan (OTT) di salah satu rumah makan yang ada di Kota Mataram, 15 September 2018.

Dalam penangkapan Muhir, jaksa menyita amplop besar berwarna coklat yang berisi uang tunai Rp30 juta. Uang tersebut yang menjadi barang bukti Muhir menerima suap dari calon rekanan Totok Tjatur.

Ada juga uang Rp1 juta yang diterima Muhir dalam pertemuan sebelum OTT dari calon rekanan di lokasi berbeda di rumah makan yang ada di Kota Mataram.

Dengan konstruksi demikian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram dengan putusan nomor: 23/Pid.Sus-TPK/2018/PN Mtr, tanggal 1 Maret 2019 menjatuhkan vonis hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan.

Jaksa pun mengajukan banding dari putusan tersebut hingga Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram memutuskan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan memperbaiki hukuman menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Dari vonis banding tersebut, Muhir mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, pada 11 September 2019 dengan putusan nomor: 2745 K/Pid.Sus/2019, hakim kasasi memperbaiki putusan banding Pengadilan Tinggi Mataram nomor: 01/Pid.TPK/2019/PT MTR, tanggal 2 Mei 2019.

Dalam putusan, hakim kasasi mengubah putusan pengadilan tingkat kedua mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Muhir menjadi 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan.

Hakim pun menyatakan Muhir tetap terbukti bersalah melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Lebih lanjut, Suhartono menilai jaksa dalam kasus tersebut tidak dapat membuktikan secara sah bahwa Muhir menerima suap. Melainkan, jaksa meyakinkan hakim melalui keterangan saksi Sudenom yang ketika itu menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram.

Bahkan, dari keterangan saksi lain seperti Gufron, Doni Gautama, dan Mahesti mengaku ke hadapan majelis hakim tidak pernah melihat Muhir menerima uang dari Totok Tjatur.

"Artinya, unsur dalam pasal suap itu tidak dapat terpenuhi," ujarnya.

Suhartono juga menilai bahwa dakwaan yang dijatuhkan terhadap Muhir, yakni Pasal 11 tersebut tidak dapat berdiri sendiri.

"Seharusnya pemberi juga dihadapkan di persidangan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan," ucap dia.

Namun, upaya untuk mengembangkan ke arah tersebut, Suhartono tidak melihat langkah kejaksaan. Bahkan, hingga kliennya bebas menjalani masa hukuman, perkara tersebut berhenti sampai di Muhir.

Dalam pengajuan PK pun, Suhartono meyakinkan pihaknya meminta hakim mempertimbangkan kembali putusan tersebut dengan menyatakan Muhir tidak terbukti bersalah dalam dakwaan jaksa.

"Kami juga meminta agar hakim memulihkan harkat dan martabat Muhir sebagai warga negara yang baik," katanya.