PN Mataram terima pengajuan kasasi mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi
Mataram (ANTARA) - Pengadilan Negeri (PN) Mataram menerima pengajuan upaya hukum kasasi mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi atas putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat yang turut membebankan yang bersangkutan uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp1,4 miliar.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin membenarkan adanya pengajuan kasasi dari Muhammad Lutfi ke Mahkamah Agung yang menjadi terdakwa korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima periode 2018-2022.
"Iya, terdakwa Muhammad Lutfi ajukan kasasi, jaksa KPK belum," kata Kelik.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto yang dikonfirmasi terkait hal tersebut mengaku belum mendapatkan informasi dari jaksa penuntut umum.
"Belum ada informasi, ditanyakan ke PIC (Person In Charge) bagian penuntutan dahulu," kata Tessa.
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima divonis tujuh tahun penjara
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi NTB pada sidang putusan banding Muhammad Lutfi, Rabu (7/8), mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram dengan menyatakan terdakwa terbukti melanggar dakwaan kesatu dan kedua penuntut umum.
Selain menyatakan terdakwa terbukti melanggar tindak pidana korupsi, hakim turut menyatakan terdakwa Muhammad Lutfi menerima gratifikasi dalam jabatan.
Dalam putusan banding, pidana pokok Muhammad Lutfi serupa dengan putusan pengadilan tingkat pertama, yakni dijatuhi pidana hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan pengganti denda.
Hakim tingkat banding turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp1,4 miliar subsider satu tahun kurungan pengganti.
Muhammad Lutfi melalui Abdul Hanan selaku penasihat hukum sebelumnya menyatakan keberatan atas putusan banding pada Pengadilan Tinggi NTB tersebut.
Baca juga: Dihukum tujuh tahun penjara, Mantan Wali Kota Bima ajukan banding
Menurut dia, putusan majelis hakim tingkat banding yang dibacakan pada Rabu (7/8) tersebut telah menyampingkan isi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993 tentang penyusunan surat dakwaan jaksa penuntut umum pada persidangan.
Putusan yang dibacakan oleh hakim PT NTB, kata dia, di luar kewenangan dan fakta persidangan yang seharusnya mengacu pada putusan pengadilan tingkat pertama bahwa gratifikasi tidak terbukti karena surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993.
Hakim pengadilan tingkat pertama dalam putusan, kata dia, sebelumnya menyatakan bahwa dakwaan tentang penerimaan gratifikasi tersebut tidak disusun secara sistematis dan benar, sehingga wajar jika hakim pengadilan tingkat pertama tidak mempertimbangkan dakwaan jaksa penuntut umum tentang gratifikasi dalam putusan.
Baca juga: KPK tunggu arahan pimpinan terkait banding mantan Wali Kota Bima
Dengan demikian, Hanan menyatakan tidak sependapat dengan hakim PT NTB yang memutus perkara Muhammad Lutfi dengan merujuk pada aturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Selain itu, dalam fakta persidangan pada pengadilan tingkat pertama, Hanan melihat tidak ada fakta yang mengungkap jelas tentang Muhammad Lutfi menerima uang atau barang.
Baca juga: Hakim bebankan mantan Wali Kota Bima bayar kerugian Rp1,4 miliar
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin membenarkan adanya pengajuan kasasi dari Muhammad Lutfi ke Mahkamah Agung yang menjadi terdakwa korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima periode 2018-2022.
"Iya, terdakwa Muhammad Lutfi ajukan kasasi, jaksa KPK belum," kata Kelik.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto yang dikonfirmasi terkait hal tersebut mengaku belum mendapatkan informasi dari jaksa penuntut umum.
"Belum ada informasi, ditanyakan ke PIC (Person In Charge) bagian penuntutan dahulu," kata Tessa.
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima divonis tujuh tahun penjara
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi NTB pada sidang putusan banding Muhammad Lutfi, Rabu (7/8), mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram dengan menyatakan terdakwa terbukti melanggar dakwaan kesatu dan kedua penuntut umum.
Selain menyatakan terdakwa terbukti melanggar tindak pidana korupsi, hakim turut menyatakan terdakwa Muhammad Lutfi menerima gratifikasi dalam jabatan.
Dalam putusan banding, pidana pokok Muhammad Lutfi serupa dengan putusan pengadilan tingkat pertama, yakni dijatuhi pidana hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan pengganti denda.
Hakim tingkat banding turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian keuangan negara senilai Rp1,4 miliar subsider satu tahun kurungan pengganti.
Muhammad Lutfi melalui Abdul Hanan selaku penasihat hukum sebelumnya menyatakan keberatan atas putusan banding pada Pengadilan Tinggi NTB tersebut.
Baca juga: Dihukum tujuh tahun penjara, Mantan Wali Kota Bima ajukan banding
Menurut dia, putusan majelis hakim tingkat banding yang dibacakan pada Rabu (7/8) tersebut telah menyampingkan isi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993 tentang penyusunan surat dakwaan jaksa penuntut umum pada persidangan.
Putusan yang dibacakan oleh hakim PT NTB, kata dia, di luar kewenangan dan fakta persidangan yang seharusnya mengacu pada putusan pengadilan tingkat pertama bahwa gratifikasi tidak terbukti karena surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993.
Hakim pengadilan tingkat pertama dalam putusan, kata dia, sebelumnya menyatakan bahwa dakwaan tentang penerimaan gratifikasi tersebut tidak disusun secara sistematis dan benar, sehingga wajar jika hakim pengadilan tingkat pertama tidak mempertimbangkan dakwaan jaksa penuntut umum tentang gratifikasi dalam putusan.
Baca juga: KPK tunggu arahan pimpinan terkait banding mantan Wali Kota Bima
Dengan demikian, Hanan menyatakan tidak sependapat dengan hakim PT NTB yang memutus perkara Muhammad Lutfi dengan merujuk pada aturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Selain itu, dalam fakta persidangan pada pengadilan tingkat pertama, Hanan melihat tidak ada fakta yang mengungkap jelas tentang Muhammad Lutfi menerima uang atau barang.
Baca juga: Hakim bebankan mantan Wali Kota Bima bayar kerugian Rp1,4 miliar