Jakarta (ANTARA) - Dulu kontra, sekarang pro. Dahulu ingin perubahan, sekarang ingin pertahankan. Kemarin berseberangan, sekarang jabat tangan.
Perubahan drastis sikap beberapa partai politik itu terbaca jelas setelah Mahkamah Konstitusi pada 22 April 2022 menolak permohonan yang diajukan pasangan calon presiden/wakil presiden Anies Rasyid Baswedan/Muhaimin Iskandar (nomor urut 1) dan duet capres/cawapres Ganjar Pranowo/Mahmud Md. (nomor urut 3) dalam sengketa Pilpres 2024.
Dalam jagat politik praktis, perubahan sikap tersebut merupakan kelaziman karena ujung dari pergulatan politik adalah kepentingan. Sikap adalah fungsi kepentingan.
Oleh karena itu, satu demi satu partai politik yang dalam Pilpres 2024 menjadi lawan duet Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka, belakangan mulai merapat ke pasangan nomor urut 2 ini.
Tidak terlalu penting siapa yang lebih dulu berinisiatif untuk berkoalisi. Yang hampir dipastikan, Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka -- setelah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih -- hampir dipastikan bakal mendapat tambahan "gerbong" baru.
Tentu ini menjadi tambahan energi bagi Prabowo/Gibran. Makin banyak dukungan partai politik akan memudahkan legislatif dan eksekutif bersinergi dalam mengeksekusi program-program yang dijanjikan selama kampanye.
Koalisi Indonesia Maju sebagai pengusung Prabowo/Gibran terdiri atas Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, serta partai yang tak lolos ambang batas parlemen: PSI, Gelora, dan Garuda.
Pergerakan partai yang masuk ke barisan pemerintah yang akan datang paling terlihat dari kubu Koalisi Perubahan.
Mereka yang dahulu mendukung Anies Baswedan/Muhaimin Iskandar, perlahan merapat ke Prabowo. Kedua partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai NasDem.
NasDem dan PKB mencoba lebih realistis dengan menurunkan ego yang tercipta selama pemilu. Apalagi kedua partai ini memang tidak berpengalaman di luar pemerintahan.
Menyatunya dua partai itu ke kubu pemerintahan yang akan datang diharapkan dapat menjadi momentum untuk menyudahi gesekan di tengah masyarakat.
Gestur politik kedua partai itu sebenarnya sudah tercium jauh sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Prabowo/Gibran tidak melakukan pelanggaran pemilu.
NasDem, misalnya. Kala itu partai besutan Surya Paloh mengundang Prabowo untuk bertemu di NasDem Tower, Jakarta, pada 22 Maret lalu.
Dalam acara pertemuan politik dibalut buka puasa bersama ini, NasDem memberikan sinyal bergabung dengan capres peraih suara terbanyak.
"Saya berkeyakinan bahwa faktor kerja sama di antara pemimpin itu sangat penting, dan ini yang dituntut rakyat kita," kata Surya Paloh.
Walau taipan media itu tidak bicara gamblang ingin mendukung Prabowo, pernyataannya seakan menggambarkan bahwa satu kaki NasDem sudah mendarat di rumah koalisi Prabowo/Gibran.
Pernyataan lebih tegas akhirnya mulai dikatakan Surya Paloh kala bertemu dengan Prabowo di rumah Kartanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 24 April lalu.
Tepat di teras rumah Prabowo, Surya Paloh menyatakan dengan tegas ingin mendukung Pemerintah. Hal tersebut seakan melegitimasi sikap partai untuk mau berdiri di belakang Prabowo/Gibran.
"Kesempatan, dorongan, keinginan, spirit mengajak, untuk bersama dengan pemerintahan saya pikir itu lebih baik. Itulah pilihan saya, pilihan NasDem," kata Paloh.
Gayung bersambut, Prabowo pun menyambut tangan kerja sama yang diulurkan Surya Paloh.
Walau demikian, Surya Paloh sendiri mengaku tidak mengharapkan jatah kursi menteri kepada Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Berbeda dengan NasDem, PKB justru menjadi partai pertama yang disambangi Prabowo setelah resmi dinyatakan sebagai presiden terpilih.
Pada 24 April, Prabowo langsung bertolak ke kantor PKB di Senen, Jakarta Pusat, sesaat setelah penetapan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sama seperti Surya Paloh, Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB langsung mendeklarasikan dukungannya.
"PKB dan Gerindra sebagai partai yang selama ini bekerja sama di parlemen maupun di eksekutif ingin terus bekerja sama lebih produktif lagi. Apalagi Pak Prabowo sebagai presiden terpilih akan menghadapi berbagai agenda pembangunan yang begitu menantang di masa yang akan datang,” kata pria yang biasa disapa Cak Imin ini.
"Saya tadi menerima penyampaian, pernyataan PKB ingin terus bekerja sama dengan Gerindra, dengan Prabowo Subianto untuk mengabdi demi kepentingan rakyat," sambung Prabowo membalas pernyataan Cak Imin.
Kehadiran PKB sendiri dinilai kelak dapat menambah kekuatan koalisi pemerintah di parlemen. Dengan demikian, PKB dan segenap partai yang ada di Koalisi Indonesia Maju (KIM) bisa dengan mudah mengawal kebijakan Prabowo/Gibran dari DPR RI.
Selain itu, PKB juga dianggap sebagai representasi Nahdliyin, sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Dengan dukungan PKB dan PAN, dua partai berbasis pemilih Islam, maka pemerintahan Prabowo/Gibran akan makin menguat.
Jika NasDem dan PKB akhirnya bergabung, kekuatan koalisi pendukung Prabowo/Gibran di parlemen sudah sangat kuat.
Hasil Pemilu 2024 diperkirakan, Gerindra menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 86 orang, Golkar (102), NasDem (69), PKB (68), PAN (48), dan Demokrat mengirimkan 44 wakil di DPR RI. Total kursi koalisi tersebut menguasai 417 kursi atau 71,9 persen.
Adapun PDIP sebagai pemenang Pemilu 2024 diperkirakan menempatkan 110 wakilnya, sedangkan PKS sebanyak 53. Total kekuatan dua partai ini 163 kursi atau 28,1 persen dari 580 kursi di DPR RI.
Bergabungnya PKB dan NasDem dengan koalisi pemerintah akan dikukuhkan dengan rencana pertemuan dua partai tersebut dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada Mei mendatang.
Ini akan jadi pertemuan pertama yang resmi antara NasDem dan PKB dengan KIM setelah Prabowo-Gibran resmi dinobatkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Kondisi ini benar-benar seusai dengan apa yang dikatakan Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Nusron Wahid.
Setelah MK menolak semua gugatan pada 22 April, Nusron menyatakan akan ada banyak manuver politik.
Benar saja, tidak sampai 1 minggu, dua partai besar langsung mau berlabuh dengan pemerintahan Prabowo/Gibran.
Semua langkah politik antar ketua partai itu disebutkan demi menyelamatkan kepentingan bersama dan persatuan bangsa.
Sikap PKS dan PDIP
Kondisi tersebut menyisakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dari barisan koalisi tersebut.
Dua partai yang memiliki ideologi berbeda ini akhirnya harus berhadap-hadapan dengan koalisi besar pemerintah. Setidaknya itu yang terlihat dari sikap PDI Perjuangan.
Namun, berbeda dengan PDIP, PKS justru mulai memancarkan sinyal mau masuk ke dalam koalisi pemerintah.
Sinyal tersebut sepertinya belum ditangkap Prabowo dan jajarannya. Hingga saat ini pertemuan antara PKS dan Prabowo belum berlangsung.
Pihak PKS pun menyimpan harapan agar pertemuan itu bisa terjadi.
"Kita ingin kebersamaan setelah NasDem dan PKB didatangi, ... PKS pasti akan didatangi, kita berharap gitu, toh," kata Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsyi pada 27 April.
PKS juga sudah berupaya membuat pertemuan itu terjadi, salah satunya dengan menggelar halalbihalal sekaligus Milad Ke-22 PKS di Kantor DPP PKS.
Semua perwakilan partai koalisi dan oposisi datang, namun tidak dengan Gerindra. Perwakilan Gerindra terlihat tidak hadir.
Walau demikian, PKS mengaku komunikasi dengan Prabowo masih terjalin baik dan dalam waktu dekat akan mengatur pertemuan ulang.
Bagi sebagian pihak, justru gestur yang diberikan Gerindra kepada PKS belum tentu sebuah penolakan.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, potensi masuknya PKS ke dalam koalisi besar masih terbuka lebar.
Namun perlu upaya lebih dalam melakukan lobi politik agar dua partai tersebut bisa bertemu dan mengikat kerja sama.
Lagi pula, PKS sendiri memiliki rekam jejak hubungan baik dengan Prabowo. Itu terlihat dari sikap politik PKS yang mendukung Prabowo pada Pemilihan Presiden 2014 dan 2019.
Adapun PDI Perjuangan sendiri hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda ingin masuk ke koalisi besar. Statusnya sebagai pemilik suara terbanyak di parlemen tampaknya membuat partai berlambang banteng ini percaya diri sebagai oposisi.
Sekretaris Jendral Partai Gerindra Ahmad Muzani juga mengaku telah menjalin komunikasi dengan PDI Perjuangan. Namun demikian, rangkaian komunikasi itu belum berujung pada penentuan hari pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Arah politik PDI Perjuangan terkait mau jadi koalisi atau oposisi sepertinya akan ditentukan pada rakernas yang akan digelar pada 26 Mei mendatang.
Dalam rakernas itulah PDI Perjuangan akan membahas dan menentukan sikap politiknya.
"Enggak hanya membahas itu (masuk atau di luar koalisi), mungkin juga evaluasi. Jadi, sekali lagi kita dalam tatanan ini dan sikap kita (akan) seperti apa," kata Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Utut Adianto.
Oposisi dibutuhkan?
Rekonsiliasi tentu dibutuhkan oleh pemerintah untuk menyatukan kekuatan politik demi kebaikan bangsa, juga demi berjalannya program-program kerakyatan.
Namun bagi sebagian pihak, oposisi harus tetap memiliki tempat di tengah ingar-bingar politik demi terciptanya check and ballance.
Hal tersebut dikatakan pengamat politik Universitas Andalas Padang Asrinaldi. Dia menilai, PDI Perjuangan punya modal kuat memainkan peran oposisi karena punya pengalaman di zaman pemerintahan SBY.
PDI Perjuangan pun bisa menentukan mau menjadi oposisi yang keras atau hanya bersifat mengoreksi kebijakan pemerintah saja.
"Mungkin oposisi yang untuk mengoreksi, bukan berhadapan langsung. Jadi, membantu dengan cara menyeimbangkan pemerintahan nanti," kata dia.
Konsep keseimbangan ini dinilai Asrinaldi diperlukan agar jalannya roda pemerintahan tetap dapat diawasi oleh rakyat yang diwakili barisan oposisi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Lili Romli.
Menurut dia, oposisi jangan dianggap sebagai batu penghalang roda pemerintahan. Oposisi justru harus dianggap sebagai pihak yang mengawal pemerintahan agar bisa berjalan dengan baik .
"Kalau semuanya masuk, ya wassalam, DPR betul-betul tidak memainkan peran," kata dia.
Dengan kehadiran oposisi ini, masyarakat tidak perlu pesimistis atas efektivitas jalannya roda pemerintahan.
Hingga hari pelantikan presiden dan wakil presiden di Oktober 2024 nanti, diperkirakan masih akan banyak lagi manuver politik yang ditunjukkan oleh partai-partai politik.
Apa pun, gelombang pergerakan petinggi partai politik itu diharapkan bisa menghasilkan pemerintah yang kuat demi kepentingan rakyat Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M