Jangan pertentangkan UU Perlindungan Anak dengan tujuan pendidikan

id UU Perlindungan Anak ,tujuan pendidikan Oleh Isa Ansori*)

Jangan pertentangkan UU Perlindungan Anak dengan tujuan pendidikan

Ketua Dewan penasehat Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Surabaya Isa Ansori (ANTARA/HO-LPA Surabaya)

Surabaya (ANTARA) - "Asahlah pisau dari sisi tajamnya, jangan asah pisau dari sisi tumpulnya, tapi jangan pertentangkan UU Perlindungan Anak dengan tujuan pendidikan"


Diskusi dan perdebatan tentang tuntutan mengembalikan pendidikan sebagaimana era ujian nasional sebagai alat ukur standar pendidikan dan keluhan sebagian guru yang menganggap dilaksanakannya kurikulum merdeka mengakibatkan anak – anak dimanjakan dan menjadi semaunya sendiri, serta upaya Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdullah Mu’ti melakukan pengkajian perlu tidaknya ujian nasional dikembalikan serta tawaran humanis proses belajar “Deep Learning” melalui tiga proses “ Mind Learning “, “ Meaningful Learning “ serta “ Joyful Learnig” merupakan sebuah keniscayaan dalam menyiapkan anak – anak menghadapi Indonesia emas. Inilah yang disebut nilai – nilai perubahan dalam bingkai pendidikan.

Pendidikan sudah seharusnya tidak lagi hanya berpusat pada kepentingan guru, tapi anak sebagai subyek pendidikan juga harus diperhatikan apa yang menjadi kebutuhannya berdasar apa yang melatar belakangi sosial ekonomi serta lingkungannya. Jangan paksa ikan untuk terbang,  begitulah kondisi anak – anak kita, mereka memiliki keunikan masing – masing yang tak bisa dipaksa untuk diseragamkan. Saya selalu menganut falsafah “ asahlah pisau dari sisi tajamnya, jangan asah pisau dari sisi tumpulnya “. Betapa banyak orang sukses menjalani hidupnya bukan karena ahli dalam bidang matematika atau IPA, tapi karena kompetensi yang dia miliki dia asah dengan baik melalui bimbingan para gurunya. 

Di era modern ini, pendidikan semakin menuntut adanya pendekatan yang holistik, yang tidak hanya menekankan aspek akademis tetapi juga perkembangan karakter dan psikologis anak. Dalam konteks ini, penerapan proses belajar yang humanis menjadi sangat relevan dan penting. Namun, tak jarang kita melihat adanya pertentangan antara pendekatan pendidikan yang humanis dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sering kali, terdapat pandangan bahwa batasan-batasan dalam UU Perlindungan Anak bisa menghambat guru dalam mendidik, terutama ketika dibutuhkan kedisiplinan.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, keduanya bukanlah konsep yang bertentangan, melainkan bisa berjalan seiring untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik. Guru dalam proses pendidikan agar mencapai tujuan yang diharapkan bersama, berkewajiban melakukan pendisipinan melalui ketegasan, yang dilarang adalah melakukan tindak kekerasan

Pendidikan Humanis: Mendukung Hak Anak

Pendekatan humanis dalam pendidikan didasarkan pada prinsip bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dengan kebutuhan, kemampuan, dan potensi yang berbeda. Pendekatan ini menempatkan anak sebagai pusat dari proses belajar. Dr. Maria Montessori, seorang tokoh pendidikan yang terkenal dengan pendekatan ini, menggarisbawahi bahwa “education is not something which the teacher does, but a natural process which develops spontaneously in the human being.” Menurut Montessori, tugas utama pendidik adalah menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perkembangan anak.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak, yang melindungi hak-hak anak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Tidak ada tempat untuk pendekatan yang represif dalam proses belajar yang humanis. Anak perlu merasa aman, dihargai, dan didukung. Ketika anak-anak merasa aman secara psikologis, mereka akan lebih mudah belajar dan mengembangkan potensi mereka secara optimal.

Menyeimbangkan Disiplin dan Perlindungan Anak

Di sisi lain, kedisiplinan dalam pendidikan juga diperlukan untuk membentuk karakter dan tanggung jawab anak. Akan tetapi, konsep kedisiplinan dalam pendidikan humanis berbeda dari pendekatan tradisional yang mungkin lebih mengandalkan hukuman fisik atau verbal. Jean Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan, berpendapat bahwa kedisiplinan yang efektif adalah yang berbasis pada pengertian dan logika, bukan hukuman yang bersifat punitif. Hal ini juga didukung oleh Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya mengarahkan anak pada kemandirian dan integritas diri, bukan dengan cara menekan atau mengintimidasi.

Dengan demikian, kedisiplinan dalam konteks pendidikan humanis adalah kedisiplinan yang mendidik, bukan menghukum. Undang-Undang Perlindungan Anak bukanlah hambatan, melainkan pedoman bagi tenaga pendidik untuk menerapkan kedisiplinan yang sesuai dan mendidik anak dengan metode yang lebih konstruktif.

Kolaborasi untuk Mewujudkan Pendidikan yang Berkesadaran

Pendidikan humanis menuntut sinergi antara orang tua, guru, dan masyarakat. Howard Gardner, penggagas teori Multiple Intelligences, menjelaskan bahwa pendidikan yang baik adalah yang mampu mengembangkan seluruh aspek kecerdasan anak, baik kognitif, emosional, maupun sosial. Lingkungan pendidikan yang suportif, aman, dan adil akan membantu anak belajar dengan lebih efektif dan membentuk karakter yang kuat.

Di sinilah pentingnya peran Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai kerangka kerja yang melindungi anak dari praktik-praktik pendidikan yang merusak dan memastikan bahwa pendidikan diarahkan untuk membangun karakter anak secara positif. UU Perlindungan Anak dan pendidikan humanis seharusnya berjalan beriringan untuk menciptakan generasi yang cerdas, berempati, dan memiliki moral yang baik.

Pendidikan yang Menumbuhkan Empati

Kehadiran UU Perlindungan Anak bukanlah untuk menghambat proses pendidikan, tetapi untuk memastikan bahwa pendidikan berlangsung dalam suasana yang aman dan suportif bagi anak. Pendidik diharapkan dapat melihat peraturan ini sebagai pendukung dalam upaya menciptakan pembelajaran yang humanis, bukan sebagai penghalang.

Dengan menerapkan pendidikan humanis yang menghormati hak-hak anak, kita tidak hanya membangun generasi yang berpengetahuan luas tetapi juga generasi yang berempati, tangguh, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Surabaya, 11 November 2024

*) Penulis adalah Kolumnis, Pengajar Ilmu Psikologi Komunikasi, Pemerhati Pendidikan dan Perlindungan Anak, Tinggal di Surabaya