Mataram (Antaranews NTB) - Tonggak-tonggak besi berjarak 50 meter dari bibir pantai yang sudah dilengkapi talud atau turap, itulah awal dari kisah bagaimana begitu majunya dunia perdagangan di Pulau Lombok yang mulai dibangun pada 1896 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dahulunya tonggak-tonggak besi itu menjadi dermaga dengan beralaskan kayu dari bibir pantai, untuk menurunkan dan menaikkan barang-barang dari kapal laut yang berlabuh termasuk penumpang kapal laut serta mereka yang akan berangkat menunaikan ibadah haji. Kini, sudah tidak ada lagi dermaga itu yang tersisa hanya tonggak besi yang di atasnya dipajang Perahu Phinisi untuk mengingatkan bagaimana kejayaan Pelabuhan Ampenan.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu menilai Pelabuhan Ampenan merupakan pelabuhan penting untuk mengalahkan persaingan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di Bali milik kerajaan setempat sekaligus guna mengatasi keterlibatan Inggris dalam persaingan dagang kala itu.
Pentingnya pelabuhan itu tidak terlepas dari posisi Pelabuhan Ampenan yang berada berseberangan dengan Pulau Bali. Bahkan jika cuaca cerah, mereka yang tengah berada di Pelabuhan Ampenan itu bisa melihat dengan jelas siluet dari Gunung Agung.
Masih di wilayah pelabuhan itu, berdiri juga Bank Dagang Belanda (Netherlands Indische Handelsbank). Bangunan berlanggam "Art Deco" itu kini menjadi gudang tempat menyimpan penyewaan permainan anak-anak setelah sebelumnya sempat dijadikan cafe oleh warga negara asing.
Pemerintah Belanda kala itu hendak menciptakan pelabuhan dengan fasilitas perbankan dan tepat di bangunan bank itu, pernah berdiri bioskop China yang saat ini tinggal menyisakan puing-puingnya dan dijadikan tempat sampah dadakan oleh warga setempat.
Muhammad Shafwan menyebutkan pada abad 19 sekitar tahun 1896, Ampenan telah berkembang sebagai kota pelabuhan. Ampenan menghubungkan Lombok ke berbagai jalur pelabuhan sekitarnya.
"Kota pelabuhan ini tak hanya terkenal di wilayah nusantara, namun namanya sebagai salah satu jalur rempah-rempah, telah masyhur hingga ke luar negeri," katanya dalam buku Ampenan Kota Tua.
Sebagaimana namanya pelabuhan, di kawasan itu berdirilah gudang-gudang untuk menyimpan barang yang akan dipasarkan di Lombok maupun di luar pulau ini. Seperti di Jalan Arya Banjar Getas, Lingkungan Melayu Bangsal, masih tersisa bangunan gudang yang bertulisan Bahasa Indonesia ejaan lama, "Goedang Hookie". Bangunan gudang itu saat ini tampaknya sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya.
Tidak jauh dari sana terdapat juga bangunan yang di bagian atasnya tertulis tahun 1936. Saat ini digunakan oleh distributor bahan bakar. Bangunan berjejer di selepas areal pelabuhan itu. Semakin menuju jalan simpang lima atau tepatnya di Jalan Pabean yang saat ini dikenal Jalan Yos Sudarso, di kiri kanan berdiri rumah toko yang dimiliki oleh warga keturunan Tionghoa yang berjualan.
Tampaknya pemerintah Belanda saat itu, hendak menciptakan kawasan Simpang Lima menjadi pusat perdagangan yang ditandai dengan berdirinya bangunan antik bergaya "Art Deco" di sepanjang Jalan Niaga I dan II. Bahkan di lokasi itu juga, awal mula berdirinya pegadaian yang saat ini dipakai oleh Perum Pegadaian dengan bangunan aslinya yang dipertahankan.
Bahkan di simpang lima itu juga sempat berdiri bangunan bioskop sebagai tempat hiburan warga selain bioskop China yang berada di areal kompleks pelabuhan.
Di jalan sepanjang dari pelabuhan menuju Simpang Lima, yang dikenal saat ini Jalan Yos Sudarso itu sekaligus untuk pembatas perkampungan penduduk dari sejumlah suku, yakni, Suku Melayu dan Arab tinggal di sisi sebelah kanan jalan termasuk Suku Banjar, sedangkan di sisi kirinya Suku Arab dan Bugis.
Selayaknya pelabuhan mengundang banyak orang yang melakukan imigrasi ke daerah tersebut untuk mencari peruntungan hingga membentuk perkampungan-perkampungan sesuai kesukuannya. Sampai sekarang keharmonisan sesama suku itu masih terjalin baik. Contohnya pemakaman Bintaro yang berdampingan antara umat muslim dan keturunan Tionghoa.
Adanya akulturasi itu membuat bahasa sehari-hari yang digunakan di wilayah Ampenan menggunakan Bahasa Melayu dan menjadi bahasa komunikasi di dalam berniaga atau bertransaksi.
Masyarakat Ampenan dengan latar budaya yang berbeda, membentuk akulturasi dari heterogenitasnya. Keinginan yang sama untuk bekerja keras dan berusaha meraih kemajuan di bidang bisnis perdagangan, menjadi semacam penyangga kebersamaan dalam persaingan, kata Muhammad Shafwan.
Ia menambahkan Etnis Cina mengambil atau membeli barang kepada pedagang Arab, pedagang Arab dan Cina membutuhkan tenaga pribumi untuk bekerja, orang pribumi butuh pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Itu semua membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling tergantung, katanya.
Kita yang pernah berkunjung ke lokasi yang saat ini disebut dengan Kota Tua Ampenan, akan berpetualang imajinasinya ke masa lalu bagaimana begitu sibuknya dari kawasan pelabuhan sampai pusat pertokoan di jalan Simpang Lima.
Demikian juga mungkin masyarakat yang tinggal di Sembalun atau kaki Gunung Rinjani yang hidup dari pertanian, membawa barangnya ke Ampenan untuk diperjualbelikan, sama pula dengan warga yang tinggal di Lombok Tengah dan Lombok Timur serta Lombok Utara dan Lombok Barat, yang berbelanja kebutuhan, akan mendatangi kompleks Ampenan itu.
Perdagangan antarpulau
H Sudirman, Bahri dalam bukunya Studi Sejarah dan Budaya Lombok menyebutkan sejak abad ke-19, perdagangan di Pulau Lombok mulai ramai dan menjadi incaran Inggris dan Belanda. Barang-barang hasil pertanian dan peternakan menjadi bahan ekspor yang utama.
"Belanda sangat khawatir kalau Pulau Lombok yang sangat strategis jatuh ke tangan Inggris. Di Pelabuhan Ampenan, Inggris menempatkan seorang agen dari perusahaan dagang Almijda yang ada di Singapura. Perusahaan-perusahaan dagang yang terpusat di Jawa seperti Douglas Mac Kenzie & Co, Paine Striker & Co, dan King, King & Co juga menbuka perwakilan di Lombok ," katanya.
Dalam buku itu, menyebutkan sebanyak 18 kapal Eropa yang sembilan diantaranya bertiang tiga, tiga diantaranya kapal tersebut adalah kapal dagang Perancis dan sisanya adalah kapal dagang Inggris tetapi semuanya menggunakan bendera Belanda. Pada abad 19, Lombok menjadi lalu lintas perdagangan terbuka antara Australia, Singapura dan China.
Barang-barang yang diperdagangkan dari Lombok seperti beras, kacang hijau, telur, sarang burung, tembakau, tarum, sapi dan kuda. Sementara yang diimpor seperti kain, porselin dan lain-lain. Termasuk candu, senjata, minuman keras, dan garam.
Pentingnya pelabuhan Ampenan sebagai pusat perniagaan itu disampaikan pula oleh Michael Mc Millan yang menuliskan catatan perjalanannya menuju Pulau Jawa pada awal abad 19 dalam buku "A Journey to Java", pusat perdagangan Pulau Lombok itu dengan nama "Ampanam" (Ampenan).
"Ibu kotanya mempunyai nama yang sama dengan kapal kami, Mataram dan terletak di pantai Barat, akan pusat perdagangannya berada di Ampanam. Sejak tahun 1894 pulau ini berada di bawah pemerintahan Belanda," katanya.
Ia juga menyebutkan produk dari Pulau Lombok hampir sama dengan di Jawa, yakni beras, gula, kopi dan lain sebagainya.
Saat ini, kejayaan Pelabuhan Ampenan mulai meredup pada tahun 1976 dan 1977 setelah dipindahkan oleh pemerintah ke Pelabuhan Lembar, mengingat gelombang laut di Pelabuhan Ampenan cukup besar hingga sulit untuk menyandarkan kapal laut yang akan berlabuh.
Bisa dikatakan, Pelabuhan Ampenan kini bak seorang kakek yang tengah menanti ajalnya. Tiada lagi denyut kehidupan hiruk pikuk suasana perniagaan, yang ada hanya temaram dan kesunyian seusai dengan bangunan-bangunan tua yang catnya sudah memudar, berlumut.