Mataram (ANTARA) - Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nusa Tenggara Barat (NTB) akan mensertifikasi sebanyak 11.600 tenaga kerja di bidang konstruksi agar mereka siap bersaing dan terlibat langsung dalam pembangunan di daerah.
Ketua LPJK NTB, Siti Nurul Hijjah, di Mataram, NTB, Jumat mengatakan sebanyak 11.600 tenaga konstruksi yang akan disertifikasi pada 2019 merupakan tenaga terampil lulusan SMP dan SMA, serta tenaga ahli sarjana.
"Kami berharap program sertifikasi yang dilaksanakan LPJK NTB bekerja sama dengan Balai Jasa Konstruksi, Dinas Pekerjaan Umum NTB dan kabupaten/kota tersebut dapat terwujud," katanya.
Ia menyebutkan sejak 2016 hingga 2018, LPJK NTB telah melakukan sertifikasi sebanyak 7.819 orang tenaga konstruksi, terdiri atas 2.628 orang pada 2016, sebanyak 1.803 orang pada 2017, dan 3.390 orang pada 2018.
Menurut Siti, sertifikasi menjadi sangat penting bagi tenaga kerja konstruksi maupun Badan Usaha (BU). "Tidak sedikit proyek-proyek pemerintah maupun swasta yang sedang dan akan dibangun setiap tahun," ujarnya.
Untuk terlibat dalam pembangunan, kata dia, sumber daya manusia atau tenaga konstruksi lokal syaratnya harus memiliki keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
Hal itu ditegaskan dalam Surat Edaran (SE) Gubernur NTB Nomor 600/138/DPUPR/2019 tentang Kewajiban Pekerja Konstruksi Bersertifikat di Provinsi NTB.
SE tersebut sebagai tindak lanjut dari SE Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tanggal 8 April 2019, perihal percepatan sertifikasi tenaga kerja konstruksi dan pembentukan organisasi perangkat daerah sub urusan jasa konstruksi.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, juga mewajibkan setiap badan usaha yang mengerjakan jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat, dan tenaga kerja yang dilibatkan juga wajib telah disertifikasi.
"Bagi yang tidak memiliki sertifikat, dikenakan sanksi berupa denda administrasi dan penghentian sementara kegiatan layanan jasa konstruksi," ucap Siti.
Menurut dia, masih banyaknya tenaga kerja konstruksi yang belum bersertifikat salah satunya karena tak adanya peringatan dan sanksi.
Pemerintah seharusnya turun melakukan pengawasan terhadap pekerjaan konstruksi, lalu memberikan hukuman bagi yang tidak memenuhi ketentuan.
"Sertifikat ini ibarat SIM, pengendara yang melanggar ketentuan, dikenakan sanksi. Seharusnya demikian juga caranya untuk menertibkan pekerjaan konstruksi ini," katanya.