"Masih dugaan awal, untuk memastikannya saat ini sampel ijuk dan kayu masih dibawa ke LAB Nasional untuk diuji, kita masih menunggu hasil uji sampelnya," kata arkeolog dari Universitas Indonesia, Ali Akbar, di Jambi, Senin.
Berdasarkan hasil penelitian sementara, perahu itu lebarnya sekitar lima meter dengan jarak ujung barat dan timur perahu sampai 24 meter.
"Sejauh ini proses ekskavasi baru berjalan sekitar 60 persen, baru sebagian perahu yang dapat diketahui," kata Ali Akbar.
"Fakta paling unik, di bagian bawah bilah papan kapal tidak ditemukan lunas dan rangka, hanya ditemukan kayu-kayu bulat melintang di bawah papan tadi. Dugaannya, kapal ini dalam keadaan parkir untuk perbaikan di sebuah dok," katanya.
Perahu itu dibuat menggunakan bilah kayu yang disambung menggunakan pasak kayu. Teknik pembuatan perahu yang demikian, menurut Ali Akbar, merupakan teknik pembuatan kapal yang umum diterapkan di Asia Tenggara pada masa lalu.
Berdasarkan ukuran dan ketebalan papan pembangunnya, menurut arkeolog perahu tersebut kemungkinan digunakan untuk mengarungi samudra.
Arkeolog menduga perahu itu dibangun dalam masa antara tahun satu hingga 13 Masehi. Kalau perahu itu usianya 700 tahun, Ali Akbar menjelaskan, besar kemungkinan keberadaannya berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya.
Sekitar dua kilometer dari tempat penemuan perahu kuno itu, ditemukan makam, sabuk, dan peninggalan yang lain. Berdasarkan temuan benda-benda peninggalan masa lalu tersebut, arkeolog menduga pada masa itu permukiman warga berkembang di sekitar muara sungai.
Prof Chiara Zazzara, arkeolog dari Italia yang sedang mengunjungi situs perahu kuno Lambur, menyebut bagian perahu tersebut ada yang hampir sama dengan perahu pinisi.
"Masih misteri, dilihat dari pasaknya memang mendekati jenis perahu pinisi, namun ada perbedaan sedikit pada pasak dan ijuk, karena kapal pinisi kebanyakan menggunakan pasak namun terkait penggunaan ijuk belum bisa dipastikan, dan ini sangat menarik bagi saya untuk diteliti lebih lanjut," katanya.