Jakarta (ANTARA) - Pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, Afidha Fajar Adhitya tidak patah arang ketika 12 kali mencoba berwirausaha namun gagal dan gagal lagi. Usaha bidang elektronika, kuliner, hingga alat musik pernah dilakoninya.
Hingga untuk ke-13 kali, pria berusia 29 tahun tersebut menjajal keberuntungannya dengan membuat Eboni Watch pada 10 Oktober 2014, yakni jam tangan berbahan dasar kayu.
“Eboni Watch lahir dari keinginan saya memiliki jam tangan kayu dengan harga terjangkau karena awalnya, jam tangan kayu itu harganya sekitar Rp1 jutaan,” kata Afid, sapaan akrabnya, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Bermodal Rp2 juta, ayah satu anak ini membuat desain jam tangan kayu yang disesuaikan dengan seleranya. Desain jam tangan kayu yang ada saat itu terlihat terlalu besar dan kurang nyaman dipakai.
Kemudian, ia meminjam modal untuk membuat 10 jam tangan lagi, yang kemudian ia berikan kepada si peminjam modal.
Satu unit yang ia miliki kemudian dijual, dan hasilnya dijadikan modal kembali untuk membuat jam tangan baru untuk dijual kembali. Modal yang ia putar terus menerus tersebut membawanya pada kapasitas produksi hingga 300 unit per bulan.
Eboni Watch terbuat dari dua jenis kayu, yakni kayu maple dan sonokeling yang ia dapat dari limbah pabrik gitar di Sukoharjo. Ia juga memasok tali untuk jam tangan Ebony yang diproduksi dengan kualitas tinggi.
Sementara itu untuk mesin pada jam tangan Ebony, Afid menggunakan merek Miyota dari Jepang.
Tak lupa, Afid juga memberi nilai tambah pada produk jam tangan kayu besutannya. Nilai tambah tersebut ia bubuhkan pada desain jam tangan yang dibuat, di mana ia mengambil nama Jomblang, yang terinspirasi dari goa yang ada di Kota Gudeg Yogyakarta.
Adapula desain dengan nama Cakra, yang inspirasinya datang dari stupa dan Candi Prambanan yang juga terletak di Yogyakarta.
Dengan kualitas jam tangan kayu yang tahan terhadap air atau water resistance, lanjut Afid, Ebony Watch dipatok dengan harga Rp500.000 hingga Rp700.000 per unit.
Tidak hanya dijual di dalam negeri, jam tangan buatan Afid telah merambah pasar Asia Tenggara, Afrika Selatan, hingga Eropa, baik melalui ekspor ataupun pembelian langsung oleh pelanggan dari luar negeri.
Melalui kreasinya tersebut, Afid mampu menciptakan lapangan kerja untuk 15 orang dan menghasilkan omzet rata-rata Rp150 juta per bulan.
Menurut Afid, berwirausaha di Indonesia kini semakin mudah, karena ada bimbingan dan binaan dari berbagai pihak, terutama pemerintah.
“Ada binaan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, ada juga dari Badan Ekonomi Kreatif waktu itu. Dukungan ini sangat membantu kami UKM,” ungkap Hafid.
Sebagai wirausaha milenial, Afid mengatakan bahwa sudah waktunya para pemuda Indonesia berwirausaha dan berperan dalam menciptakan lapangan kerja.
“Saya pribadi, yang namanya wirausaha itu masalah mental. Kalau hanya untuk wah wahan itu usaha tidak akan bertahan lama. Kemudian kalau untuk mencari uang cepat itu ya pasti cepat melompat dari usaha satu ke usaha lain. Yang terpenting adalah mindset investasi, bahwa ini bukan hanya untuk jangka pendek, tapi juga investasi jangka panjang,” ujar Afid.