Bogor, 4/9 (ANTARA) - Masyarakat kawasan hutan lindung
Sesaot seluas 5.950 hektare di Desa Sedau, Lebah Sempage, Sesaot, dan Batu Mekar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat menyatakan siap berdialog dengan pemerintah untuk pengelolaan hutan itu dengan skema hutan kemasyarakatan.
Menurut Ahmad Mulyadi, Ketua Forum Kawasan Hutan Sesaot dalam
penjelasan yang disampaikan di Bogor, Sabtu, kesiapan dialog itu
dilakukan sehubungan dengan klaim Dinas Kehutanan Provinsi Nusa
Tenggara Barat bahwa kawasan hutan lindung Sesaot tetap sebagai Taman
Hutan Raya (Tahura).
Padahal, katanya, sebagian arealnya telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan (HKM).
Ia menjelaskan, pada 26 November 2009 Bupati Lombok Barat
menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM)
seluas 185 hektare kepada Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) Sesaot
Dengan terbitnya IUPHKM di kawasan hutan Sesaot tersebut menunjukkan bahwa secara "de facto" kawasan hutan Sesaot masih merupakan hutan lindung.
Hal ini juga diperkuat bahwa sejak awal penunjukan Tahura tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh pengelola Tahura atas kawasan tersebut.
Namun, kata dia, tiba-tiba beberapa bulan yang lalu Dinas Kehutanan
Provinsi NTB mengklaim bahwa kawasan hutan lindung Sesaot tetap sebagai Tahura, meski diketahui sebagian arealnya telah ditetapkan sebagai areal kerja HKM.
Menurut Ahmad Mulyadi, Dinas Kehutanan Provinsi NTB secara arogan memasang papan nama besi Tahura di kawasan hutan tersebut.
Pemasangan papan nama yang dilakukan secara diam-diam tersebut mengakibatkan masyarakat resah.
Ia mengatakan, kepada masyarakat seorang staf dinas kehutanan berkata
bahwa pemasangan papan nama tersebut boleh dilepas setelah selesai
kunjungan pemeriksaan tim BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan.
"Akan tetapi sampai sekarang papan tersebut belum dilepas. Akhirnya oleh masyarakat tulisan Tahura pada papan tersebut diganti menjadi tulisan HKM," katanya.
Menurut dia, Dinas Kehutanan Provinsi NTB beserta SCBFWM, sebuah
proyek untuk memperkuat pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai
berbasis masyarakat, mengadakan beberapa kali pertemuan yang
mendorong implementasi model Tahura di kawasan hutan Sesaot.
Namun, masyarakat yang tetap menolak keberadaan Tahura kemudian
mengirimkan surat kepada Gubernur NTB yang dilampirkan kepada pihak-pihak yang lain, seperti Menteri Kehutanan RI, Ketua DPRD Provinsi NTB, dan lain-lain, yang isinyapernyataan keberatan dan penolakan terhadap kebijakan Dinas Kehutanan
Provinsi NTB yang akan menjadikan kawasan hutan sesaot sebagai model Tahura.
Pernyataan sikap
Menyikapi kondisi tersebut, katanya, pada 27 Agustus 2010 sebagai respon atas penyelenggaraan Lokakarya Rekonstruksi Model Pengelolaan Tahura Nuraksa Berbasis Masyarakat di kawasan Hutan Sesaot, maka kelompok-kelompok masyarakat pengelola HKM bertemu dan kemudian sepakat mengeluarkan pernyataan sikap bersama masyarakat pengelola hutan kawasan Sesaot.
Isinya adalah masyarakat pengelola kawasan hutan Sesaot yang terdiri atas kelompok tani dan kelompok pemuda serta pemerintahan desa menyatakan agar pengelolaan hutan dilakukan oleh masyarakat melalui skema HKM menolak kawasan hutan Sesaot dijadikan Tahura dan/atau inisiatif model Tahura.
Selain itu, disebutkan bahwa keterlibatan para pihak dan kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan dalam perencanaan maupun implementasi dan monitoring program-program pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan sangatlah penting dilakukan agar tidak terjadi pola-pola pendekatan proyek yang masih mengedepankan
kepentingan sesaat saja.
"Bahwa kami, masyarakat mampu memberikan jaminan kelestarian hutan
dan lingkungan serta sumberdaya air tanpa mengurangi manfaat ekonomi
dalam pengelolaan hutan," katanya.
Mereka juga mendesak pemerintah pusat, dan khususnya Pemerintah
Provinsi NTB untuk meninjau ulang keberadaan Tahura di kawasan Hutan
Sesaot.
"Untuk itulah kami siap berdialog dengan semua pihak terkait dengan pernyataan sikap kami ini," katanya.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh wakil dari 16 kelompok
masyarakat dan diketahui oleh kepala-kepala desa dari empat desa yang
terletak di sekitar kawasan hutan Sesaot.
Surat pernyataan itu, kemudian dikirimkan ke berbagai pihak, baik di NTB maupun di tempat lain dengan harapan bahwa inisiasi program apapun yang akan masuk ke kawasan hutan Sesaot harus melibatkan masyarakat dan tidak menegasikan keberadaan masyarakat yang sudah lama memanfaatkan dan menjaga hutan Sesaot. (*)