Jakarta (ANTARA) - Pernahkah Anda merasa pusing dan tidak enak badan, lalu memutuskan mencari tahu gejala penyakit yang kamu alami di internet? Kalau Anda pernah melakukannya, itu berarti kamu telah melakukan self-diagnose. Self-diagnose merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang mendiagnosis penyakit yang sedang dialami berdasarkan pencarian informasi secara mandiri.
Ternyata, self-diagnose juga banyak dilakukan untuk memeriksa kesehatan mental.
Prita Yulia Maharani, M.Psi., Psikolog, tim konselor dari aplikasi konseling Riliv mengatakan dalam siaran resmi, "Banyak orang yang mencari tahu gejala kesehatan mental di internet, lalu percaya mentah-mentah bahwa mereka sedang mengalaminya. Padahal, apa yang ada di internet belum tentu sesuai dengan mereka."
Prita menambahkan sebenarnya kegiatan mencari tahu gejala kesehatan mental di internet tidak selalu salah.
"Sebenarnya tidak apa-apa, kok mencari tahu gejala gangguan mental di Google. Tapi, jangan lupa cross-check. Caranya ya dengan mendatangi psikolog atau psikiater profesional untuk tahu lebih lanjut masalah kesehatan mental yang sedang dialami. Dari situ bisa ditentukan langkah yang bisa diambil selanjutnya."
Apa bahaya yang tidak disadari dari melakukan diagnosis sendiri berdasarkan informasi di internet?
Self-diagnose hanya membuat panik
Manusia memiliki naluri untuk cenderung memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpanya? Itulah mengapa lebih mudah bagi Anda untuk mengasumsikan hal-hal buruk ketika melakukan self-diagnose.
Pada akhirnya, self-diagnose hanya akan membuat Anda mengalami kepanikan yang tidak seharusnya terjadi. Periksakan diri ke psikolog profesional yang bisa menjelaskan kondisi dengan baik tanpa menimbulkan kepanikan dan kecemasan.
Self-diagnose membuat penyakit atau gangguan sebenarnya terabaikan
Gejala penyakit atau gangguan kesehatan mental yang Anda tebak lewat internet belum tentu benar. Bisa saja Anda yakin sedang mengalami anxiety disorder, tetapi sebenarnya Anda mengalami depresi mayor. Bisa jadi pula kebalikannya atau bahkan bukan keduanya.
Saat Anda melakukan self-diagnose, Anda jadi tidak tahu sebenarnya penyakit atau gangguan kesehatan mental apa yang sedang dialami. Anda hanya menduga-duga hal yang belum tentu kebenarannya. Hal ini merupakan masalah karena dengan begitu Anda jadi tidak bisa mendapatkan penanganan yang tepat.
Self-diagnose bisa memperparah kondisi kesehatan mental
Salah satu risiko dari melakukan self-diagnose adalah dapat memperparah kondisi kesehatan mental. Ini bisa terjadi karena terlalu panik dan stres, tidak mengobati masalah kesehatan mental yang sedang dialami, atau bahkan mendapatkan pengobatan yang salah.
Setiap masalah kesehatan mental memiliki penanganan tersendiri. Ada yang bisa diatasi dengan terapi, ada pula yang membutuhkan obat-obatan tertentu. Kelemahannya adalah tidak benar-benar tahu penanganan yang tepat untuk masalah kesehatan mental. Bisa jadi Anda salah langkah dengan menggunakan produk yang memiliki efek samping negatif.
Self-diagnose bisa membuatmu menyangkal masalah kesehatan mental yang sedang dialami
Biasanya, seseorang akan menyimpulkan hal terburuk saat melakukan self-diagnose. Tetapi, ternyata hal kebalikannya juga berlaku. Tak jarang ada orang yang memilih untuk menyangkal gangguan kesehatan mental yang sedang dialami.
Mereka umumnya merasa masalah kesehatan mental yang ia alami tidak terlalu parah. Padahal penyangkalan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab bisa jadi masalah kesehatan mental yang dimiliki membutuhkan penanganan segera agar tidak semakin parah.
Terlalu sering self-diagnose akan membuat enggan berkonsultasi dengan pakar
Setelah googling masalah kesehatan mental, Anda jadi merasa tidak perlu lagi untuk berkonsultasi ke psikolog. Sebab, Anda berpikir bisa tahu gejala yang dialami tanpa bantuan ahli.
Jika terlalu sering dilakukan, self-diagnose bisa memunculkan masalah kepercayaan kepada psikolog dan psikiater. Hal ini dapat terjadi karena sudah terlalu percaya diagnosis yang kamu dapat dari internet. Anda jadi cenderung mempercayai internet, bukan para ahli.