Mataram (ANTARA) - Penyidik Siber Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menerapkan aturan wajib lapor kepada Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani inisial SS yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyebaran hoaks adanya bantuan pemerintah untuk masyarakat dari dana Rp2 triliun program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Kepada tersangka, diwajibkan melapor setiap hari Senin dan Kamis ke penyidik," kata Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto di Mataram, Jumat.
Pertimbangan penyidik menerapkan hal demikian, jelas Artanto, karena alasan sikap kooperatif tersangka selama menjalani proses hukum.
"Alasan lain, tersangka ini sedang mengajukan gugatan secara perdata ke PN Mataram," ujar dia.
Perihal perkembangan penyidikan, Artanto menyampaikan bahwa penyidik kini sedang berupaya melengkapi berkas perkara milik tersangka. Pemeriksaan saksi, ahli, tersangka maupun dokumen kelengkapan alat bukti masih dalam tahap perampungan.
"Tentunya kalau sudah rampung, berkas akan segera dilimpahkan ke jaksa untuk diteliti," ucapnya.
Tersangka SS dalam konten "YouTube" berjudul "Konferensi Pers KSU Rinjani", diduga menuding pemerintah menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Hal demikian yang kemudian menjadi motif SS menyebutkan program penyaluran KSU Rinjani yang menjanjikan bantuan tiga ekor sapi dengan anggaran Rp100 juta untuk setiap anggota, terhambat.
Unggahan itu yang diduga menimbulkan reaksi dari sejumlah anggota KSU Rinjani, melakukan unjuk rasa ke Pemprov NTB, menuntut agar program tiga ekor sapi dari dana PEN itu segera disalurkan.
Dalam persoalan tersebut, Artanto memastikan bahwa pada tahap penyelidikannya, tim siber telah meminta klarifikasi kepada pihak pemerintah.
Dari klarifikasi tim penyelidik, pemerintah menyatakan tidak ada program atau anggaran demikian, baik dari pusat maupun daerah.
Pernyataan klarifikasi dari pemerintah itu pun dikatakan Artanto telah dikuatkan dengan pemeriksaan data dan program yang sedang maupun akan berjalan.
Selain bukti dari klarifikasi, penetapan SS sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan ahli di bidang bahasa maupun informasi dan transaksi elektronik.
Sebagai tersangka, SS terancam hukuman penjara 10 tahun. Ancaman itu sesuai dengan sangkaan kepada tersangka yang diduga menyebarkan berita bohong, yakni Pasal 14 Ayat 1,2 dan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Selain sangkaan tersebut, penyidik kepolisian juga menerapkan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk sangkaan pasal ini masih berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di tengah masyarakat. Ancaman pidana dari dugaan ini tertera dalam Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Ancaman pidana juga disangkakan kepada SS perihal pendistribusian informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam hal ini tudingan ke pemerintah yang menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Sangkaan tersebut sesuai dengan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, sesuai Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.