MENGUAK POLEMIK PENCEMARAN TELUK BUYAT Oleh Masnun

id

Desir ombak pantai Teluk Buyat terasa ringan pada sore nan mendung itu, menyapu wajah-wajah ceria sekelompok bocah yang tengah asik bermain pasir.

Sesekali mereka berenang dan menyelam menikmati jernihnya air laut depan perkampungan nelayan itu.
Pencemaran Teluk Buyat yang kerap dibicarakan sejumpah pegiat LSM lingkungan, tampaknya tak mempengaruhi keceriaan anak-anak di perkampungan nelayan pesisir pantai tempat pembuangan "tailing" (limbah tambang) PT Newmont Minahasa Raya (PTMNR) itu.
Gisela Modeong, siswa SDN 2 Buyat dan Naya Putri Mamoto bersama sejumlah bocah lainnya di pesisir Buyat Pante tidak takut mandi dan berenang di pantai yang dinyatakan telah tercemar logam berat itu.
Para nelayan di pesisir Buyat Pante pun terus melaut mengais ikan. Mereka tak takut ikan tangkapannya beracun, karena mereka yakin perairan laut Teluk Buyat masih aman.
Ibrahim Modeong (45), nelayan Bayat Pante dan sejumlah warga lainnya merasa yakin tidak terjadi pencemaran lingkungan, karena hingga kini ikan hasil tangkapan mereka tetap banyak dan laku dijual dan tidak ada warga yang menderita penyakit yang disebabkan tercemarnya laut itu.
"Kami tidak percaya terhadap isu-isu pencemaran lingkungan yang dihembuskan sejumlah pegiat LSM termasuk adanya berbagai penyakit akibat logam berat dari limbah tambang PTNMR," ujar pria paruh baya itu ketika ditanya wartawan asal NTB yang berkunjung, 7-10 September 2011.
Sejumlah nelayan menilai tudingan bahwa PTNMR telah mencemarkan lingkungan justru menyengsarakan warga terutama yang bermukim di Buyat Pante, karena kontroversi pencemaran Teluk Buyat itu mengakibatkan ikan hasil tangkapan mereka sempat tidak laku dijual.
Pengalaman buruk yang hingga kini masih membekas di hati sebagian warga Teluk Buyat adalah ketika mereka terpaksa ikut eksodus ke Domininga, Minahasa Selatan yang jaraknya sekitar 100 kilometer dari kampung mereka.
"Kami harus berpisah dengan keluarga, karena iming-iming akan diberikan uang Rp200 juta dan rumah, namun kenyataannya hanya janji belaka," kata Yeny Rorong (41).
Di lokasi pemukiman baru di Dominanga, warga asal Buyat Pante justru hidup sengsara, karena tidak ada pekerjaan yang bisa menopang hidup mereka. Pekerjaan sebagai nelayan tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Syarif Rondonuwu (42), warga Buyat Pante lainnya yang ikut eksodus ke Dominanga juga mengaku sulit mendapatkan ikan dan kalaupun ada hasil tangkapan, harganya murah.
Karena itu 30 dari 70 kepala keluarga (KK) yang mengungsi ke Dominanga akhirnya memutuskan kembali ke tempat asal mereka di Buyat Pante, karena merasa lebih menderita dibandingkan dengan ketika masih tinggal kampung halamannya di Buyat.
"Janji akan diberikan uang masing-masing Rp150 juta per KK dan tempat tinggal yang layak tidak hingga kini tidak direalisasikan," kata nelayan Buyat Pante itu dengan raut wajah penuh penyesalan.

Para nelayan itu baru menyadari bahwa janji-janji muluk para pegiat LSM itu agar mereka bersedia meninggalkan Buyat Pante.
"Yang lebih menyedihkan sebelum diberangkatkan ke Dominanga, kami diminta membakar rumah kami," ujar pria berkulit legam itu mengenang masa lalunya.
Menurut warga Buyat Pante, dengan cara itu para pegiat LSM bermaksud membuktikan kebenaran tuduhan mereka bahwa perairan laut Teluk Buyat benar-benar tercemar tailing yang dibuang PTNMR.

"Orang-oraang pintar"
Bekas Sangadi (Kepala Desa) Buyat Makmun Paputungan (41) juga mengaku menjadi "korban" isu pencemaran lingkungan yang dihembuskan pegiat LSM asal luar daerah.
"Orang-orang pintar asal luar daerah memanfaatkan warga untuk kepentingan mereka dengan menghembuskan isu pencemaran lingkungan termasuk 16 sumur milik warga juga diisukan beracun akibat tercemar logam berat," ujar Bekas Sangadi, yang kini menjadi anggota Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Ratatotok Buyat (YPBRB).
Kenyataannya air sumur itu masih digunakan warga dan warga tidak ada yang sakit. "Itu siasat kelompok tertentu," ujarnya.
Bahkan, Makmun mengaku sangat kecewa adiknya ditolak lamarannya oleh orangtua pacarnya karena takut kawin dengan keturunan yang berpanyakit "Minamata".
"Bukan itu saja, keluarga saya yang datang dari Kotamobagu sengaja membawa air, karena takut meminum air yang terkontaminasi logam berat," katanya
Kehadiran perusahaan tambang PTNMR di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tidak dikehendaki oleh sebagian kelompok, sehingga perusahan yang berkantor pusat di Denver Colorado, Amerika Serikat itu sempat terpojokkan.
Site Manager PTNMR David Sompie mengatakan, selama kurun waktu sembilan tahun (1995-2004), bahkan sebelum operasi tambang dimulai sejumlah LSM melontarkan adanya penyakit yang menyerang manusia.
Sejak awal juga muncul tuduhan tailing mencemari ikan dan biota laut lainnya akibat penempatan tailing bawah laut atau submarine tailings placement (STP) oleh PTNMR.
Namun, menurut David, spekulasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian oleh pihak berwenang yang membuktikan, membuktikan bahwa tuduhan itu tidak mendasar.
Pada Juli 2004, kampanye publik menentang PTNMR dimulai dilancarkan dengan tuduhan perusahaan tambang itu telah menyebabkan menderita suatu penyakit.
Beberapa aktivis LSM bahwa warga desa Buyat Pante menderita gejala penyakit Minamata dan menggunakan video yang menyeramkan mengenai penduduk Jepang yang menderita penyakit tersebut. Penelitian independen yang dilakukan berhasil mematahkan rumor tersebut, namun tidak juga menghentikan kampanye tersebut.
Sejumlah gugatan pidana dan perdata juga menghadang PTNMR. Bahkan lima karyawan perusahaan tambang ini sempat ditahan Mabes Polri selama 23 hari. Pada 24 Oktober 2004 status penahanan diubah menjadi tahanan kota, namun para karyawan itu masuk daftar cegah.
Berbagai tuduhan dipatahkan termasuk yang dilontarkan panitia khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pansus dinilai tidak mengambil data dan informasi resmi dari Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu atau perangkat desa yang berwenang memberikan keterangan dan memiliki data resmi dan lengkap mengenai kesehatan masyarakat Ratatotok-Buyat.
"Pansus menjadikan informasi pihak yang tidak berkompeten sebagai bahan resmi tanpa konfirmasi," kata David melalui persnya menanggapi pernyataan pansus yang dilansir media cetak yang terbit di Mataram.
Dalam berita berjudul "Pansus Tailing Datangi Masyarakat Teluk Buyat, David merasa ada ketidakbenaran dalam pemaparan fakta yang terjadi.

Sangat menyesatkan
Pernyataan yang menyebutkan "sejak tambang PTNMR ditutup karena masalah lingkungan, PTNMR sendiri akhirnya mengeluarkan dana hibah sebesar 30 juta dolar AS tidak benar dan sangat menyesatkan.
Rencana penutupan tambang PT PTNMR sudah dirancang sejak operasi dimulai dan dilaporkan ke Pemerintah Indonesia pada tahun 2001. Dokumen rencana penutupan tambang ini kemudian disetujui pada tahun 2002.
Penutupan tambang dilakukan setelah delapan tahun berproduksi, sebagaimana tercantum dalam dokumen studi kelayakan sebelum operasi dimulai. Ini dikarenakan deposit batuan yang mengandung emas telah habis.

Menurut dia, dana 30 juta dolar AS merupakan bagian dari perjanjian itikad baik antara Pemerintah Indonesia dan PTNMR yang ditandatangani pada tahun 2006 untuk memantau lingkungan Teluk Buyat selama 10 tahun dan untuk kegiatan pengembangan masyarakat.
"PTNMR menandatangani perjanjian tersebut karena justru kami yakin bahwa operasi tambang kami tidak menyebabkan pencemaran di Teluk Buyat dan sekitarnya sebagaimana dituduhkan. Sehingga kami bersedia untuk membantu pemerintah memantau lingkungan perairan Teluk Buyat selama 10 tahun ke depan sekaligus melakukan program pengembangan masyarakat.
Menurut David, Teluk Buyat tidak tercemar dan tidak ada dampak negatif penempatan tailing PT NMR terhadap biota laut dan kesehatan masyarakat.
"Posisi kami di mata hukum juga sudah jelas sesuai fakta-fakta hukum. Misalnya putusan MA pada 6 Januari 2009 menguatkan putusan PN Manado tahun 2007 yang membebaskan PTNMR dari tuduhan-tuduhan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, Sulawesi Utara.
PN Manado yang mengeluarkan putusannya dalam salah satu sidang terlama dan padat bukti di Indonesia ini telah menyatakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar. Putusan itu juga menyatakan bahwa PTNMR telah mematuhi seluruh peraturan dan perizinan selama delapan tahun kegiatan operasinya dari 1996-2004.
Pada persidangan ini memeriksa puluhan ribu halaman dokumen bukti dan puluhan saksi ahli dari ke-dua belah pihak.
Selama 25 tahun berada di Sulawesi Utara, PTNMR bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat telah membangun membangun jalan, jembatan, sekolah, kantor pemerintah, puskesmas, meningkatkan kapasitas petani, peternak dan nelayan serta menyalurkan ribuan beasiswa untuk SD hingga program doktor di luar negeri dan bantuan lainnya.
"Setelah penutupan tambang tahun 2004, kami tetap dan akan melanjutkan bantuan dan kerjasama pengembangan masyarakat melalui dana perjanjian itikad baik selama 10 tahun," kata David.
Dana pengembangan masyarakat sebesar 30 juta dolar AS yang dihibahkan PTNMR kepada Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Utara salah satunya telah digunakan untuk membangun Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok-Buyat.
Saat ini Teluk Buyat telah menjadi tujuan wisata bahari yang tiap akhir pekan atau hari libur ramai dikunjungi ribuan penduduk sekitar maupun Sulawesi Utara bahkan dari luar negeri.
Selama ini, kata David, NMR telah diuji dengan kasus Teluk Buyat. Tuduhan pencemaran yang menyeret Presiden Direktur PT NMR Richard Ness dan lima karyawan Newmont akhirnya tidak terbukti.
Setelah melalui proses peradilan akibat tuntutan LSM lingkungan dan komunitas masyarakat tertentu, akhirnya pada 6 Januari 2009 MA menolak kasasi jaksa setempat. Dan akhirnya pengadilan memvonis Newmont tidak bersalah melakukan pecemaran di Teluk Buyat.
"Kasus ini membuktikan bahwa tailing kami aman dan teruji. Ini bisa dilihat pascatambang kasus serupa kian meredup dan menghilang," katanya. (*)

KETERANGAN FOTO: Sekelompok bocah Buyat Pante mandi dan berenang di perairan laut Teluk Buyat yang telah dinyatakan tercemar logam berat akibat penempatan tailin (limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR).

Seorang nelayan Buyat Pantai Ibrahim Modeong sedang memperbaiki peralatan untuk persiapan melaut di Perairan laut Teluk Buyat. Ia tidak merasa takut melaut kendati sejumlah pegiat LSM menuding laut tercemar.

Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok yang dibangun dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) PTNMR.