INDONESIA GAWAT DARURAT INFRASTRUKTUR Oleh Muhammad Razi Rahman

id

     Jakarta, 20/6 (ANTARA) - Kajian yang dilakukan yayasan organisasi nirlaba global World Economic Forum (WEF) telah menempatkan infrastruktur sebagai permasalahan daya saing Indonesia ketiga, setelah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah.
     "Sebagai salah satu penentu peringkat daya saing, kondisi infrastruktur Indonesia menempati peringkat 76 dari 142 negara, jauh di bawah Malaysia yang ada di peringkat 26 dan Thailand di peringkat 42," kata Wakil Ketua Umum Bidang Perbankan dan Keuangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P Roeslani saat membuka acara Seminar Kajian Tengah Tahun 2012 antara Kadin-Lembaga untuk Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (Indef) di Jakarta, Selasa (19/6).
      Mengingat infrastruktur telah menjadi momok bagi perekonomian Indonesia, Rosan mengatakan, seharusnya pemimpin Indonesia benar-benar menyadari bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia adalah persoalan yang mutlak harus segera diatasi dan tidak bisa ditunggu-tunggu lagi.
      Rosan juga mengingatkan, dengan adanya perbaikan dalam infrastruktur maka bukan saja memperlancar distribusi pengadaan di daerah, namun juga akan menurunkan tingkat inflasi yang terjadi akibat tersendatnya distribusi.
      Menurut dia, anggaran untuk infrastruktur memang harus disediakan sebesar mungkin dan begitu pula dalam pelaksanaannya juga harus direalisasikan secara komprehensif, bersama-sama, dan terperinci.
      Untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dengan negara lain, ia menginginkan agar anggaran untuk infrastruktur di Indonesia seharusnya dapat sebesar 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
      Sementara itu, Direktur Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan, alokasi anggaran untuk infrastruktur di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan alokasi anggaran di sejumlah negara lain seperti Malaysia dan China.
      Erani mencontohkan, alokasi anggaran untuk infrastruktur di Malaysia sebesar 14 persen dari PDB negara tersebut, atau tujuh kali lipat dari alokasi anggaran infrastruktur di Indonesia.
      Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan BPS, rasio belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat dari 1,19 persen pada 2005 menjadi 2,21 persen pada 2012.
      Menurut dia, meski periode 2005-2012 terjadi peningkatan belanja infrastruktur sebesar 28,2 persen per tahun, tetapi rasio belanja infrastruktur terhadap PDB masih jauh dari level ideal yaitu 5 persen.
      Karenanya, ia menginginkan agar dapat segera diimplementasikannya "captive budget" atau alokasi anggaran yang ditetapkan di dalam APBN guna mengatasi persoalan minimnya pendanaan infrastruktur.
      Erani memaparkan, contoh dari "captive budget" adalah alokasi setidaknya 20 persen yang seharusnya disediakan pemerintah untuk bidang pendidikan, dan alokasi setidaknya 5 persen untuk kesehatan.
     Ia menuturkan, penerapan "captive budget" untuk infrastruktur dapat digunakan dengan ditetapkannya 80 persen dari seluruh anggaran infrastruktur dalam APBN agar dialokasikan untuk luar Jawa.
     "Jadi, misalnya ada dana di APBN sebesar 400 triliun untuk pembangunan infrastruktur, maka 80 persen untuk luar Jawa," ucapnya.
     Erani mengemukakan, alokasi yang sedemikian besar itu antara lain karena kondisi infrastruktur di luar Jawa masih banyak yang tertinggal.
     Menurut dia, penerapan "captive budget" terkait dengan infrastruktur sangat penting untuk membangun konsensus terkait pendanaan infrastruktur di APBN.
     Ia menganalisa bahwa selain pendanaan, kendala lainnya yang dihadapi terkait persoalan infrastruktur adalah kompleksnya pembebasan lahan, lemahnya implementasi regulasi dan daya dukung birokrasi, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam merawat dan menggunakan infrastruktur di Tanah Air.
     Sedangkan terkait dengan pola kemitraan atau kerja sama pemerintah-swasta (KPS) di bidang pembangunan infrastruktur, Erani mengatakan terdapat lima kendala yang dihadapi, antara lain peraturan yang bersifat tumpang tindih satu sama lain, serta KPS itu belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya investasi dari pemerintah bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan.
     Selain itu, lanjutnya, kendala lainnya adalah proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada sektor swasta tidak dipersiapkan secara matang, rendahnya tingkat ROI ("return of investment") dan pola pikir pemerintah khususnya di daerah yang belum terbangun secara baik.
     Padahal, ujar dia, penerapan KPS di Indonesia dinilai sangat penting karena kemampuan keuangan negara yang sangat terbatas dan sektor swasta memiliki keahlian.
  
Kontrak politik
    Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis mengatakan, penanganan terhadap masalah infrastruktur di Indonesia memerlukan semacam kontrak politik dari para elit yang akan memimpin Indonesia untuk meningkatkan alokasi dana pembangunan infrastruktur dalam APBN.
    "Perlu ada kontrak bagi pemimpin Indonesia di masa mendatang agar dia dapat membuat belanja untuk infrastruktur di APBN lebih besar daripada belanja pegawai dan barang," ujar Harry.
     Menurut dia, hal seperti kontrak politik penting karena selama ini pemerintah seakan-akan tidak memiliki keinginan untuk memperbesar alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di APBN.
     Indikasi dari hal tersebut, menurut dia, dapat dilihat dari selalu lebih rendahnya alokasi anggaran untuk infrastruktur di APBN dibandingkan dengan anggaran untuk belanja untuk pegawai dan barang, terlebih untuk alokasi subsidi.
     Selain itu, ia juga menyayangkan penyerapan anggaran di sejumlah kementerian terkait infrastruktur seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan masih kurang optimal
     Sementara itu, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata mengatakan pembangunan infrastruktur nasional perlu disertai harmonisasi peraturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
     "Pemerintah pusat tentunya memiliki wewenang dengan berbagai undang-undang yang ada untuk pembangunan infrastruktur, tapi terkadang pemerintah daerah juga punya kewenangan juga dengan aturan di daerahnya, jadi kalau ada yang (aturan) berbenturan, ya perlu disinkronkan," kata Wismana di gedung Bappenas Jakarta, Jumat (15/6).
     Ia menilai, kewenangan yang ada saat ini seakan-akan terbagi-bagi sehingga membuat pembangunan infrastruktur antara wilayah satu dengan wilayah lain menjadi tidak sinkron.
     Sedangkan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas Dedy Supriadi Priatna menambahkan bahwa fleksibilitas kewenangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah perlu diterapkan agar pembangunan infrastruktur dapat berjalan optimal.
     "Sejumlah pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan antarwilayah dan irigasi tercatat kurang optimal dan tidak sinkron antar wilayah. Karenanya, kewenangan pusat ke daerah perlu dikaji ulang, harus fleksibel kalau daerah tidak mampu. Mungkin perlu dengan sinkronisasi atau perubahan undang-undang dan peraturan pemerintah," kata Dedi.
     Ia mencontohkan, berdasarkan data Bappenas, irigasi di Indonesia tercatat mampu mengairi sebanyak 7,22 juta hektare, terdiri dari 2,31 juta hektare di wilayah pusat, dan 4,91 juta hektare wilayah daerah. Dari jumlah itu, kerusakan irigasi di wilayah pusat seluas 1 juta hektar atau sekitar 40 persen dan kerusakan di daerah mencapai 60 persen atau mencakup 2,68 juta hektare.
      Berdasarkan pembagian tanggung jawab, irigasi yang mengairi lahan sebesar 3.000 hektare ke atas menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sementara itu, lahan 1.000-3.000 hektare merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi, dan di bawah 1.000 hektare adalah kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
     Terkait dengan persoalan rusaknya infrastruktur pertanian, Anggota Komisi IV DPR, Ma'mur Hasanuddin menegaskan, untuk membenahi hal tersebut diperlukan jalinan sinergi tiga lembaga kementerian, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Bappenas.
     "Kami telah rapat lintas sektoral untuk masalah irigasi pertanian dan sudah sepakat kemarin untuk berkoordinasi intensif tiga lembaga tinggi negara dan pemerintah daerah," katanya.
      Menurut dia, kesepakatan itu untuk memperbaiki terutama sebanyak 52 persen sistem irigasi yang ada hingga kini dinilai masih mengalami kerusakan di mana-mana.
      Tidak hanya dalam sektor pertanian, permasalahan terkait infrastruktur juga terjadi misalnya di sektor energi sehingga Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini RS mengatakan akan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi melalui peningkatan infrastruktur seperti kilang dan pipa gas.
      "Pemenuhan kebutuhan energi sulit dilaksanakan karena kita kekurangan infrastruktur," kata Rudi.
      Menurut Rudi, keterbatasan kapasitas kilang menimbulkan permasalahan saat mengalami kerusakan, karena sebagian produksi minyak tidak bisa diolah di dalam negeri.
      Dengan adanya tambahan kilang, lanjutnya, maka hal itu juga akan semakin meningkatkan kehandalan energi. Di samping itu, infrastruktur pipa penyalur gas dari hulu ke hilir dibutuhkan untuk menyukseskan program konversi BBM ke BBG.
      Berbagai kajian dan perencanaan memang telah disusun oleh pemerintah, tetapi Rosan mengingatkan bahwa hal yang paling esensial adalah penerapannya benar-benar direalisasikan secara nyata di lapangan.
      Rosan berpendapat, saat ini pemerintah kerap membuat rencana atau pertemuan terkait dengan pembangunan infrastruktur tetapi dalam pelaksanannya kerap menjadi masalah.
      "Penting agar anggarannya tersedia, tetapi lebih penting lagi adalah dalam hal eksekusinya," katanya. (*)