Minyak turun karena data permintaan China lesu

id minyak berjangka,minyak Brent,minyak WTI,permintaan China,dolar kuat

Minyak turun karena data permintaan China lesu

Ilustrasi - Pengeboran minyak (REUTERS)

New York (ANTARA) - Harga Minyak turun pada akhir perdagangan bergejolak pada Senin (Selasa pagi WIB), tertekan data yang menunjukkan permintaan dari China tetap lesu pada September dan dolar AS menguat, sementara data aktivitas bisnis AS yang melemah mengurangi ekspektasi kenaikan suku bunga lebih agresif dan membatasi penurunan harga.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember kehilangan 24 sen atau 0,3 persen, menjadi ditutup pada 93,26 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, setelah terangkat 2,0 persen minggu lalu.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember merosot 47 sen atau hampir 0,6 persen, menjadi menetap di 84,58 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, memperpanjang penurunan pekan lalu sekitar 0,7 persen. Kedua harga acuan telah turun sekitar dua dolar AS per barel di awal sesi.

Meskipun lebih tinggi dari Agustus, impor minyak mentah China September sebesar 9,79 juta barel per hari turun 2,0 persen di bawah tahun sebelumnya, data bea cukai menunjukkan pada Senin (24/10/2022), karena penyulingan independen membatasi throughput (tingkat pengolahan kilang) di tengah margin tipis dan permintaan yang lesu.

"Pemulihan baru-baru ini dalam impor minyak tersendat pada September," kata analis ANZ dalam sebuah catatan, menambahkan bahwa penyulingan independen gagal memanfaatkan peningkatan kuota karena penguncian terkait COVID yang sedang berlangsung membebani permintaan.

Ketidakpastian atas kebijakan nol-COVID China dan krisis properti merusak efektivitas langkah-langkah pro-pertumbuhan, analis ING mengatakan dalam sebuah catatan, meskipun pertumbuhan produk domestik bruto kuartal ketiga mengalahkan ekspektasi.

Penguatan dolar AS yang sedang berlangsung, yang naik lagi untuk sebagian sesi perdagangan menyusul dugaan intervensi valuta asing lainnya oleh Jepang, juga menimbulkan masalah bagi harga minyak. Dolar yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli non-AS.

"Penguatan dolar lebih lanjut akan membebani nilai WTI dengan uji penurunan kami perkirakan di 79,50 dolar AS kemungkinan pada akhir minggu," kata Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates. Harga minyak kembali menguat setelah data yang menunjukkan aktivitas bisnis AS mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut pada Oktober, dengan produsen dan perusahaan jasa dalam survei bulanan terhadap manajer pembelian melaporkan permintaan klien yang lebih lemah.

S&P Global mengatakan Indeks Output PMI (Indeks Manajer Pembelian) komposit AS, yang melacak sektor manufaktur dan jasa, turun menjadi 47,3 bulan ini dari pembacaan akhir 49,5 pada September. Pelemahan itu dapat menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga Federal Reserve AS untuk melawan inflasi telah berhasil dan dapat membujuknya untuk memperlambat kebijakan kenaikan suku bunganya, sinyal positif untuk permintaan bahan bakar, kata Phil Flynn, seorang analis di grup Price Futures.

Baca juga: Minyak menguat ditopang harapan permintaan China
Baca juga: Minyak menguat karena persediaan AS turun


"Penurunan angka PMI adalah tanda bahwa ekonomi mungkin sedikit melambat, yang menghasilkan bullish," kata Flynn. Brent naik pekan lalu meskipun Presiden AS Joe Biden mengumumkan penjualan sisa 15 juta barel minyak dari Cadangan Minyak Strategis, bagian dari rekor pelepasan 180 juta barel yang dimulai pada Mei.
Biden menambahkan bahwa tujuannya adalah untuk mengisi kembali stok ketika minyak mentah AS berada di sekitar 70 dolar AS per barel.

Tapi Goldman Sachs mengatakan rilis stok tesebut mungkin berdampak besar pada harga. "Rilis seperti itu kemungkinan hanya memiliki pengaruh kecil (kurang dari 5 dolar AS per barel) pada harga minyak", kata bank tersebut dalam sebuah catatan.