IMPIAN TKI LOMBOK SEKOLAHKAN ANAK SETINGGI MUNGKIN Oleh Anwar Maga

id

IMPIAN TKI LOMBOK SEKOLAHKAN ANAK SETINGGI MUNGKIN Oleh Anwar Maga

     Siang itu, Hanafi (36), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Pengembur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) terlihat gembira ketika sekelompok wartawan dari berbagai media massa, mengajaknya berdialog seputar pekerjaannya.

     "Memang saya dari Lombok, saya sudah lama bekerja di sini, dan Alhamdulilah sudah ada hasilnya," ujarnya disertai senyum sumringah, ketika lima wartawan menyapanya di kawasan perkebunan kelapa sawit milik Sime Darby Plantation Sdn Bhd, di Carey Island, Negeri Selangor, Malaysia.

     Lima wartawan itu merupakan bagian dari 26 wartawan dari berbagai media massa di wilayah NTB yang melawat ke Negeri Selangor, Malaysia, 31 Oktober hingga 4 November 2012, guna melihat dari dekat kondisi kehidupan para TKI asal NTB.

     Lawatan tersebut dimulai dari Sime Darby Plantation Academy (SDPA) di Carey Island,  sekitar tiga jam perjalanan menggunakan bus dari arah Kuala Lumpur, ibukota negara Kerajaan Malaysia.

    Di lokasi itu banyak TKI asal NTB yang dijumpai, termasuk Hanafi yang mengaku sudah cukup sukses hidupnya dari upah bekerja di ladang kelapa sawit milik perusahaan swasta nasional di Malaysia itu.

     Setelah mengetahui kelompok wartawan yang mengajaknya berdialog, Hanafi pun menggunakan bahasa Sasak (bahasa daerah Suku Lombok) untuk menjawab setiap pertanyaan yang juga diajukan dalam bahasa Sasak.

     Putra dua anak itu mengaku setelah 12 tahun bergelut di kebun kepala sawit, ia telah mampu membeli truk di kampung halamannya di Desa Pengembur, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

     Ia diupah harian yakni sebesar 25 ringgit sehari, dari jasa memetik kelapa sawit di ladang Sime Darby Plantation. Namun, pendapatannya bisa lebih dari 100 ringgit perhari karena ia juga terlibat pekerjaan borongan, sehingga sebulannya bisa mengumpulkan 3.000 hingga 4.500 ringgit, atau setara dengan sekitar Rp9 juta hingga Rp13,5 juta sebulan.

     Bagi Hanafi, yang menjadi pembeda pendapatan TKI di ladang kelapa sawit, hanyalah ketekunan, sehingga ia bertekad akan terus tekun hingga mampu membangun rumah gedung dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.

     Tekad untuk mengubah kesejahteraan keluarga, juga diungkapkan Sudarmawan (28) yang juga dijumpai di ladang perkebunan Carey Island itu. Hanya saja, Sudarmawan belum terbilang sukses karena baru dua tahun dua bulan menggeluti pekerjaan itu.

     "Saya baru dua tahun lebih, tapi saya akan bertahan hingga mampu mendatangkan uang banyak, agar anak saya sekolah tinggi. Biar bapaknya TKI asal anak bisa sarjana," ujar ayah satu anak yang kini hidup bersama ibunya di kampung halamannya di Kecamatan Kuripan, Lombok Barat.

     Hanafi dan Sudarmawan merupakan bagian dari ribuan bahkan jutaan TKI yang menggantung impian kelak keluarganya terbebas dari belenggu kemiskinan, jikalau keturunan mereka mampu mengecam pendidikan tinggi dan dapat bekerja di sektor formal.

     Boleh jadi, TKI asal Lombok, NTB, itu tengah mencoba mengadopsi pemahaman penduduk asli Malaysia, yang berupaya memutus rantai kemiskinan keluarganya melalui pendidikan tinggi.

     Entah sejak kapan, penduduk asli Malaysia beranggapan biarpun orangtua petani biasa karena kondisi ekonomi lemah, namun anak-anak harus bisa bersekolah tinggi. Apalagi, beban orangtua di bidang pendidikan hanya di perguruan tinggi karena pendidikan dasar hingga menengah menjadi tanggungan kerajaan.

    

Dorongan para pihak

     Senior Vice Presiden Sime Darby Plantation Sdn Bhd Nageeb Wahab mengatakan, selain upah harian dan borongan, pihaknya juga memberikan bantuan perumahan layak huni, dan bantuan kemanusiaan kepada para TKI yang bekerja di ladang sawit. {jpg*5}

     Rumah layak huni itu pun diperlihatkan kepada rombongan wartawan NTB yang tergabung dalam Forum Wartawan Pemerintah Provinsi NTB itu. Setiap rumah dihuni empat hingga enam orang.

     "Ada juga bantuan beras dan minyak masak masing-masing sebanyak lima kilogram setiap dua minggu, dan layanan listrik dan air secara gratis hingga senilai 20 ringgit sebulan. Kalau tidak boros maka upah di ladang tidak terpakai atau dapat ditabung," ujar Nageeb.

     Sementara itu, Head Human Resources Sime Darby Plantation Sdn Bhd Mohammad Fauzi Hassan mengatakan, kini perusahaan tersebut memperkerjakan lebih dari 19 ribu TKI dan 90 persen atau sebagian besar berasal dari Pulau Lombok, NTB.

     Menurut Fauzi, di masa lalu memang banyak TKI asal Lombok yang tidak betah bekerja di ladang, namun sejak empat hingga lima tahun lalu, hal itu tidak terjadi lagi. Malah TKI asal Lombok berbondong-bondong ke ladang sawit Sime Darby yang luasnya lebih dari 15 ribu hektare.

     "TKI Lombok juga sudah makin rajin dan gigih, sehingga kami menyukainya. Kami berharap hal ini akan terus terjadi dan harus diakui TKI Lombok telah berkontribusi terhadap pembangunan di Malaysia, dan juga negaranya dan keluarganya di kampung halaman," ujarnya.

     Dorongan kepada TKI asal Lombok dan daerah lainnya di Indonesia yang bekerja di Sime Darby juga dilakukan pihak Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia.

     Atase Ketenagakerjaan KBRI Malaysia Agus Triyanto, berpesan agar para TKI harus tetap bekerja tekun dan mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di Negeri Jiran itu.

     "Memang TKI berkontribusi terhadap Malaysia, dan negaranya Indonesia melalui remitansi yang diperoleh, tetapi tidak cukup hanya itu, karena ketika berniat menjadi TKI dan telah sampai di negara tujuan maka hukum yang berlaku di negara tujuan harus dipatuhi," ujarnya.

     Menurut Agus, sebanyak 19 ribu lebih TKI yang bekerja di ladang sawit Sime Darby itu merupakan bagian dari 1,1 juta TKI legal yang berkerja di Malaysia. Sebanyak 450 ribu diantaranya bekerja di ladang perkebunan.

     Jumlah itu belum termasuk sekitar 1,3 juta warga Indonesia yang bekerja secara tidak resmi (illegal) di Malaysia, dan keberadaan mereka diketahui ketika mencuat beragam masalah.

     Secara keseluruhan, KBRI Malaysia mencatat jumlah tenaga kerja asing di Malaysia sebanyak 2,1 juta orang lebih, dan sebanyak 1,1 juta orang diantaranya merupakan TKI.

     Versi KBRI Malaysia, warga Indonesia yang bekerja di negara itu terbagi dalam enam kategori, yakni TKI legal sejak berangkat dari negara asal hingga bekerja di majikannya, TKI yang sat berangkat legal namun akhirnya menjadi ilegal karena kabur dari majikan.

     Kategori lainnya, TKI legal namun sampai di Malaysia menjadi ilegal karena berganti pekerjaan yang tidak sesuai dokumen, TKI ilegal tanpa dokumen, dan TKI yang saat datang ke Malaysia menggunakan paspor wisatawan kemudian bekerja, serta WNI yang luntang-lantung di Malaysia hingga mengadu ke KBRI.      

     "Kami pun terus berupaya membantu memberi perlindungan kepada para WNI dan TKI, sekecil apapun masalah yang dihadapi, akan kami bantu mencari solusi terbaiknya. Karena itu mari kita bangun sikap dan tingkah laku posistif agar jalinan kerja sama antarnegara pun tetap terpelihara," ujar Agus.

     Ia mengimbau insan pers, terutama Forum Wartawan Pemerintah Provinsi NTB yang melakukan lawatan ke Negeri Selangor guna melihat kondisi kehidupan para TKI itu, untuk ikut berperan aktif mendorong ketekunan para TKI agar dapat menggapai cita-citanya saat hendak bekerja di Malaysia.

     "Bagaimana pun juga, warga Indonesia yang mencari penghidupan di Malaysia, tentu ingin mengubah kesejahteraan hidup keluarganya. Semua pihak patut memberi dukungan semampunya," ujar Agus.

     Tentu saja, Hanafi, Sudarmawan dan TKI lainnya butuh dukungan, agar mereka mampu mewujudkan impiannya, seperti sekolahkan anak hingga sarjana atau bahkan pascasarjana, agar keluar dari predikat keluarga ekonomi lemah di masa mendatang. (*)