KERUSAKAN KARANG ITU MENYISAKAN DUKA NELAYAN JAMBIANOM Oleh Masnun Masud

id

          Siang itu pria bertubuh kurus itu nampak tak bersemangat. Sesekali ia memandang laut dengan tatapan kosong. Tidak seperti  sebelumnya ia selalu bersemangat membicakan upaya mengembangkan  budidaya terumbu karang yang ditekuninya sejak lima tahun terakhir bersama sejumlah nelayan kecil di pesisir utara Pulau Lombok itu.  
         Kesedihan lelaki itu berserta sejumlah nelayan di pesisir utara Pulau Lombok itu berawal ketika belasan ribu stek karang yang berhasil dibudidayakan dengan teknik tranplantasi di perairan laut Jambianom, Desa Medana, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, rusak parah.
         Transplantasi terumbu karang adalah salah satu teknik pelestarian (rehabilitasi) terumbu karang yang rusak, dengan teknik pencangkokan untuk pelestarian ekosistem terumbu karang yang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak atau untuk membangun terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada.     
       Suasto (40), ketua kelompok nelayan Lestari Bahari Jambianom mengaku sedih dan nyaris putus asa ketika menyaksikan belasan ribu stek karang bewarna warni yang menghiasi perairan laut pesisir Mulur dan Medana rusak parah dan berubah warna menjadi putih.
         Kerja keras sejumlah nelayan kecil yang tergabung dalam kelompok "Lestari Bahari" itu berhasil mengubah lingkungan laut yang sebelumnya hancur akibat pengambilan batu karang untuk pembuatan kapur bahan bangunan, menjadi lebih baik, indah dan mempesona.
         Berkat keberhasilan para nelayan Jambianom merehabilitasi terumbu karang itu, perairan laut Jambianom menjadi kembali normal. Bahkan saat itu sempat menjadi objek wisata yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk menikmati keindahan panorama bawah laut.
         Saat itu hampir setiap hari ada wisatawan yang menginap di sejumlah hotel di Lombok Utara sengaja datang untuk berenang sambil menikmati terumbu karang berwarna warni di perairan Medana dan Mulur.   
        Bahkan sejumlah pejabat dan anggota DPR RI berkunjung untuk melihat secara langsung keberhasilan nelayan Jambianom merehabilitasi terumbu karang. Mereka menyatakan salut atas kepedulian nelayan dalam memelihara kelestarian lingkungan laut.
        Transplantasi karang itu dilaksanakan kelompok nelayan Lestari Bahari Jambianom  sejak 28 April 2007, yang diawali dengan 20 meja beton sebanyak 1.600 stek dan secara keseluruhan selama tahun 2007 berhasil dikembangkan sebanyak 4.600 stek.
        "Hingga tahun 2011 kami berhasil mengembangkan lebih dari 13.000 lebih stek karang baik yang menggunakan media meja beton maupun bola beton, dalam enam bulan. Pertumbuhan terumbu karang cukup pesat dari stek sepanjang 10 menjadi 20 hingga 25 cm. Kami akan terus berupaya memperluas areal rehabilitasi terumbu karang tersebut," katanya.
         Rehabilitasi karang di perairan pantai Jambianom yang dilaksanakan selama empat tahun ini cukup berhasil. Terumbu karang yang sebelumnya rusak parah akibat pengambilan karang untuk permbuatan kapur, bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan bahan peledak bom, kini cukup baik.
         Dengan berkembangnya terumbu karang hasil transplantasi tersebut, kini biota laut terutama berbagai jenis ikan berkembangbiak di perairan pantai Jambianom.
         Di perairan pantai Jambianom yang sebelumnya nyaris tanpa karang,  mulai nampak indah dihiasi karang warna-warni, antara lain gold, pink dan putih. Berbagai jenis ikan pun mulai berkembangbiak di terumbu karang tersebut, seperti cumi-cumi, ikan baronang dan berbagai jenis biota laut lainnya.
         Pada awalnya, untuk merehabilitasi terumbu karang dengan teknik transplantasi itu kelompok nelayan Bahari Lestari mendapat bantuan  sejumlah donatur dari kelompok pengajian perempuan di Jakarta.
         Selain menggunakan meja atau rak beton dan `reefball` atau bola beton, transplantasi karang  juga menggunakan teknik `biorock` sebanyak 150 stek bibit yang juga cukup berhasil.
         Menurut Swasto, untuk mengamankan terumbu karang agar tidak dirusak oleh nelayan lain, anggota kelompok nelayan Bahari Lestari Jambianom melakukan penjagaan secara bergantian.
         "Hasilnya cukup menggembirakan. Sekarang terumbu karang yang rusak parah selama 20 tahun, berubah menjadi baik dan jika kita menyelam pemandangannya tampak indah, karena dihaisi karang berwarna-warni," ujarnya.
         Namun, perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan kelompok nelayan kecil di salah satu sudut pesisir pantai di Lombok Utara itu kini hancur tanpa sisa. Sekitar 12.000 stek karang yang menghiasi perairan laut Mulur dan Medana itu tinggal seonggok karang mati yang tidak berguna.
         Meningkatnya suhu permukaan laut akibat pemanasan global yang puncaknya pada pertengahan 2010 itu telah menghancurkan impian sejumlah nelayan "penyelelamat" lingkungan laut untuk mendapat keuntungan dari hasil penjualan sebagian stek karang yang mereka budidayakan.
         Kesedihan juga menghiasai wajah Jalaludin, salah seorang anggota kelompok nelayan Lestari Bahari Jambianom lainnya. Jerih payah mereka membudidayakan terumbu karang selama bertahun-tahun dengan teknik transplantasi itu kini rusak parah.
         Kini kondisi perairan laut di depan perkampungan nelayan Jambianom yang sebagian dihuni oleh keturunan etnis Bajo itu. Stek karang yang telah tumbuh sepanjang 10 hingga 15 senti meter hanya dalam waktu empat tahun itu kini semuanya mati.
         "Kami tidak pernah menyangka kalau hasil kerja keras kami selama bertahun-tahun untuk melakukan konservasi terumbu karang itu hancur semuanya akibat pemanasan suhu air laut," kata pahlawan penyelamat terumbu karang itu.      
                                        
              Tidak putus asa
    Pengalaman pahit yang menimpa sejumlah nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan Lestari Bahari itu nampaknya tidak menyebabkan mereka putus asa. Mereka berencana menempatkan 12.000 stek karang untuk menggantikan karang yang mati akibat naiknya suku permukaan air laut itu.
         Burhanuddin (45), salah seorang nelayan yang juga anggota kelompok  nelayan Lestari Bahari Dusun Jambianom mengaku tidak akan putus asa akibat rusaknya karang hasil transpalantasi. Ia bersama temannya akan mencoba lagi menempatkan belasan ribu stek karang di perairan laut Jambianom.     
      "Kami akan mencoba lagi membudidayakan stek karang untuk mengganti karang yang rusak. Kendati harus bekerja keras mulai dari nol tidak akan menyurutkan semangat kami untuk mencoba lagi melakukan kegiatan konservasi terumbu karang tersebut," katanya.
         Untuk membudidayakan stek karang dengan teknik tranpalantasi itu para nelayan Jamboanom membutuhkan biaya sekitar Rp20 juta, antara lain untuk membuat meja beton.
        "Sejak 2007 kami berhasil membudidayakan sekitar 13.000 setek karang di perairan laut Jambianom dan pertumbuhannya cukup pesat, namun saat ini hampir seluruhnya rusak akibat kenaikan suhu permukaan air laut," kata Burhanudin dengan penuh semangat.
         Namun, kata Suasto, pihaknya tidak putus asa, akan mencoba lagi membudidayakan karang tersebut agar lingkungan perairan laut Jambianom kembali dipenuhi karang berwarna-warni.
          "Untuk membiayai kegiatan tersebut kami akan berupaya mencari dana dengan melobi Pemkab Lombok Utara. Kami akan mencoba membuat suvernir dengan karang hasil transplantasi dan akan ditempatkan dalam kaca agar nampak menarik," ujarnya.
          Rencan tersebut telah dibahas secara matang dengan seluruh anggota termasuk dengan Ketua Kelompok Nelayan Lestari Bahari Jambianom, Suasto.
         Para nelayan peduli lingkungan ini membutuhkan ulusan tangan pemerintah daerah baik Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, Pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah pusat serta semua pihaknya yang peduli terhadap kelestarian laut.      
        Kerusakan terumbu karang akibat meningkatnya suhu permukaan air laut itu agaknya tidak hanya menimpa terumbu karang hasil transplantasi di perairan laut Jambianom, Kabupaten Lombok Utara.     
                                                                 
            Hasil studi
      Hasil studi lapang yang dilakukan sebuah lembaga lembaga penelitian Internasional yang bermarkas di New York, Amerika Serikat Wildlife Conservation Society (WCS) 16 Agustus 2010 menunjukkan bahwa peningkatan suhu permukaan di perairan Indonesia secara dramatis telah mengakibatkan peristiwa pemutihan atau "bleaching" besar-besaran dan telah menghancurkan populasi karang.
         Ahli biologi laut WCS¿s Indonesia Program ¿Rapid Response Unit¿ dikirim untuk menyelidiki pemutihan karang yang dilaporkan pada bulan Mei di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam (NAD) di ujung utara pulau Sumatra.
         Survei awal yang dilakukan oleh tim mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen karang yang memutih. "Bleaching" adalah sebuah pemutihan karang yang terjadi ketika alga yang hidup dalam jaringan karang keluar.
         Ini merupakan indikasi tekanan yang disebabkan oleh pemicu lingkungan, seperti fluktuasi suhu permukaan laut. Kondisi ini juga tergantung pada banyak faktor, karang yang memutih dapat pulih dari waktu ke waktu atau mati.
         Monitoring berikutnya yang dilakukan oleh ahli ekologi kelautan dari WCS, James Cook University ¿ JCU (Australia), dan Universitas Syiah Kuala (Indonesia) diselesaikan pada awal bulan Agustus dan mengungkapkan salah satu peristiwa yang paling cepat dan beberapa kematian karang yang parah.
         Para ilmuwan menemukan bahwa 80 persen dari beberapa spesies telah mati sejak kajian awal dan lebih banyak koloni diperkirakan akan mati dalam beberapa bulan ke depan.
        Peristiwa ini merupakan hasil dari peningkatan suhu permukaan laut di Laut Andaman ¿ daerah yang meliputi pantai Myanmar, Thailand, Andaman dan Nicobar Island, serta Indonesia barat laut. Menurut situs pusat terumbu karang National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
         Suhu di daerah mencapai puncaknya pada akhir Mei 2010, saat suhu mencapai 34 oC, 4 oC lebih tinggi dari rata-rata jangka panjang untuk daerah tersebut.
         "Ini adalah perkembangan yang mengecewakan terutama mengingat kenyataan bahwa karang yang sama terbukti tahan terhadap gangguan lain untuk ekosistem ini, termasuk tsunami di Samudera Hindia tahun 2004," kata Dr Stuart Campbell, direktur Program Kelautan WCS Indonesia.
         Upaya kelompok nelayan kecil di pesisir utara Pulau Lombok untuk kembali berjuang menyelamatkan terumbu karang itu nampaknya akan sulit berhasil, tanpa dukungan dari para pemangku amanah, terutama pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan laut. (*)