Profil-ARTIM MENGOLAH LAHAN TANDUS MENJADI SUMBER PENGHIDUPAN Oleh Masnun Masud

id

          Kondisi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan  yang membentang di ujung timur Pulau Lombok itu tandus, dan hanya ditumbuhi padang ilalang. Kawasan hutan yang  masuk wilayah hutan Rinjani itu  merupakan bekas ladang berpindah.
         Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat di sekitar kawasan hutan itu terpaksa bekerja sebagai buruh. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan. Tidak ada sumber penghasilan tetap yang bisa diharapkan untuk menopang hidup.
         Tujuh tahun silam masyarakat di pinggiran hutan itu hidup dalam lilitan kemiskinan. Jangankan biaya pendidikan anak-anak, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat sulit. Tidak ada lahan pertanian yang bisa digarap.
          Itulah potret kehidupan masyarakat di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, yang saat itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Barat dan setelah dilakukan pemekaran empat tahun lalu desa itu masuk wilayah Kabupaten Lombok Utara.
         Kondisi yang cukup memprihatinkan itu memaksa H Artim Yahya, salah seorang petani di Desa Santong bersama petani  lainnya berpikir keras bagaimana  mengubah  kondisi kehidupan menjadi lebih baik.
         Namun, cerita duka itu berangsur-angsur hilang setelah pemerintah mulai menginisiasi program Hutan Kemasyarakatan (HKM)  atau "Community Forestery" pada 1997. Masyarakat Santong diberikan hak mengelola kawasan hutan.
        " Kami bisa bernafas lega ketika Saat itu di kawasan hutan seluas 758 hektare tersebut  tidak ada tanda kehidupan. Para peladang berpindah menelantarkan begitu saja bekas lahan garapan yang kemudian berubah menjadi semak belukar  yang gersang," kata pria berpenampilan sederhana itu.
         Petani kecil yang bernama lengkap H Artim Yahya yang menjadi kepala desa pertama di Santong sejak  terbentuk tahun 1997 silam bersama masyarakat desa itu sepakat menerima tawaran mengelola HKM yang ditawarkan pemerintah saat itu.
         Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara ditetapkan menjadi HKM dengan Surat Keputusan (SK) SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009.
         "Saat itu kami sempat psimis, karena kawasan hutan seluas 758 hektare itu kondisinya tandus, tanpa sebatang pohon dan nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan," kata pria yang kini dikenal sebagai "bapak HKM" mengenang masa silam yang kelabu.
         Pada awalnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan Santong yang berjarak sekitar 50 kilometer arah utara Mataram itu mencoba  menanam berbagai jenis pohon dengan sistem tumpang sari     
        "Pada tahun pertama dan kedua kami memperoleh bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB berupa bibit kayu-kayuan, antara lain sengon, kalimuru (udu), gamelila   dan sonokeling dan pada tanaman kayu tersebut juga ditanam `lekoq¿ (sirih) ,¿ kata mantan  kepala desa yang kini menjadi Ketua Koperasi Tani-Hutan Maju Bersama Desa Santong.
         Selain kayu-kayuan para petani hutan juga menanam bibit tanaman buah-buahan seperti nangka, melinjo, alpukat, durian, kemiri dan kakao atau cokelat.  Komoditas  Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) inilah yang kemudian menjadi sumber kehidupan masyarakat tepi hutan itu.
         Pada tahun ketiga yang merupakan masa pemeliharaan tahap kedua, masyarakat menyediakan bibit secara swadaya  untuk penyulaman. Saat itu lahan tandus di kawasan hutan Santong  tersebut mulai berubah menjadi hambaran pemohonan yang hijau.
         "Jadi ibaratnya kalau sebelum ada HKM tahun 1997, hutan Santong itu hanya kawasan semak belukar  tanpa sebatang pohon.  Namun pada 2011 kami sudah sulit untuk menanam pohon, karena semua lahan sudah dipenuhi tumbuhan,¿ kata pria yang memelopori masyarakat dalam mengembangkan HKM Santong.
         Perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan Artim Yahya bersama masyarakat itu kini telah membuahkan hasil. Padang tandus yang sebelumnya hanya ditumbuhi ilalang itu kini telah berubah menjadi hutan yang menjadi sumber penghidupan  bagi masyarakat sekitarnya.
          Kawasan hutan Santong seluas 758 hektare itu kini telah mampu memberikan kehidupan yang lebih baik  bagi 1.258 orang petani hutan yang menjadi anggota Koperasi Tani Hutan Maju Bersama. Para petani itu tersebar di Kecamatan Kayangan dan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
         Bagi Artim Yahya keberhasilan itu tak mungkin bisa diraih tanpa perjuangan yang tak kenal lelah dan dorongan pemerintah daerah maupun pusat serta pembinaan dari  Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES).
         Pembinaan kepada petani HKM itu kemudian dilanjutkan  oleh Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  pemberdayaan masyarakat pinggiran.
         "Kami mendapat pembinaan dari PL3ES yang kemudian dilanjutkan oleh Konsepsi NTB dan LSM pemberdayaan masyarakat pinggiran mulai 1997 hingga tahun 2000. Hasilnya cukup menggembirakan para petani berhasil mengelola kawasan hutan yang sebelumnya tandus menjadi lahan produktif dan kami memiliki sumber penghasilan tetap," kata Artim Yahya dengan penuh semangat.
         Kawasan hutan yang dulunya gersang dan tandus kini teah berubah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Dari lahan HKM masing-masing seluas 0,75 haktare yang ditanami berbagai jenis kayu-kayuan dan buah-buahan termasuk pisang itu para petani meraup penghasilan rata-rata Rp3 juta per bulan.
         Bahkan  para petani hutan bis meraup keuntungan mencapai Rp5 juta lebih per bulan. Khusus dari tanaman "lekoq" atau sirih para petani mendapatkan keuntungan mencapai rata-rata Rp500.000 per bulan.
         "Daun sirih merupakan komoditas primadona bagi petani hutan di HKM Santong, karena. Bahan utama makan sirih ini cukup laris, karena tradisi makan sirih ini masih terus dilakukan masyarakat terutama para orang tua terutama di wilayah timur Kabupaten Lombok Utara," kata petani yang mengaku menunaikan ibadah haji dari hasil HKM.
         
                                            Desa Sejahtera 
         Sejatinya keberadaan HKM telah mengubah wajah Desa Santong yang sebelumnya kental dengan nuansa keterbelakangan dan kemiskinan, menjadi desa yang maju dan sejahtera.
         Artim Yahya mengisahkan tujuh tahun silam warga desa di pinggiran hutan Santong umumnya tinggal di gubuk yang tidak layak huni dan anak-sanak saat itu paling tinggi hanya lulus SMP. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat tidak memiliki biaya.
         "Anak-anak di Desa Santong paling tinggi lulus SMP. Berkat keberhasilan HKM anak-anak kami paling rendah lulusan SMA. Bahkan sudah banyak yang bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hingga kini 15 orang  kuliah dan lima diantaranya sudah meraih gelar sarjana," kata bapak dari dua anak yang kini sedang duduk di bangku kuliah itu.
          Ke depan, kata Artim Yahya, akan banyak "Sarjana HKM" atau menjadi sarjana dengan biaya dari hasil hutan kemasyarakatan. Hingga kini sudah belasan orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makah termasuk pada musim haji tahun 2012 ada satu orang petani hutan yang menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu.
         "Saat ini  sudah banyak "Haji HKM" Di masa mendatang akan  lebih banyak lagi menjadi haji dari hasil usaha tani hutan tersebut. Ini berkah dari Allah yang patut kita syukuri,¿ kata Artim yang juga bergelar Haji HKM ini.
          Keberhasilan para petani itu menjadi semakin sempurna ketika HKM Santong di Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara seluas 758 hektare meraih sertifikasi ekolabel pertama di Indonesia untuk jenis hutan kemasyarakatan.      
         "Kami mendapatkan apresiasi atas sertifikasi itu dari Menteri Kehutanan bersamaan pada puncak peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ," kata Artim Yahya dengan penuh kebanggaan.
          Penghargaan bergengsi itu diterima Artim Yahya atas perjuangannya membangun HK Santong itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Puncak peringatan HMPI dan BMN 2011   di Bukit Merah Putih, Santi Dharma Indonesia Peace and Security Center atau Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian, di Sentul, Kecamatan Citeureup, Bogor, Provinsi Jawa Barat.
         Atas keberhasilnya memelopori program HKM Santong, kini Artim Yahya, petani kecil yang hidup sengsara tujuh tahun silam itu kini telah menjadi sosok petani terkenal tidak hanya di level nasional, tetapi juga di tararan internasional. Mantan Kepala Desa Santong itu kini menjadi terkenal bak "seleberity".
         Kesehariannya kini disibukkan dengan menerima kunjungan tamu baik dari provinsi lain maupun luar negeri yang ingin melihat secara langsung pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekaligus ingin belajar bagaimana mengubah hutan tandus menjadi sumber kehidupan masyarakat.
         Prestasi gemilang yang dicapai Artim Yahya bersama masyarakat di Desa Santong itu  kini telah menjadi objek studi banding internasional , banyak tamu dari luar negeri yang datang baik secara perorangan maupun kelompok
        Pada Oktober 2012 untusan dari 10 negara ASEAN melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Para pecinta lingkungan dari negara-negara Asia itu berkunjung ke HKM Santong untuk belajar mengenai pengelolaan hutan Santong, melihat partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai proses izin HKM Santong dari Bupati Lombok Utara.
         "Hampir setiap tahun delegasi pemerhati hutan dari berbagai negara datang ke HKM Santong, baik melalui asosiasi maupun utusan dari masing-masing negara," kata Artim Yahya seraya berjanji akan terus mempertahankan hutan yang telah mendatangkan "berkah" bagi ribuan warga di Desa Santong itu .
         Tahun 2011, utusan dari 14 negara di Asia berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari mengenai keberhasilan pengelolaan hutan di daerah ini. Sementara pada 2009 rombongan dari Jepang juga melakukan penelitian atas keberhasilan masyarakat sekitar hutan mengelola HKm Santong.
        Kerja keras Yahya Artim bersama masyarakat Desa Santong ini agaknya patut menjadi contoh bagi masyarakat lainnya dalam mengubah lahan tandus menjadi hutan belantara yang menjadi sumber penghidupan. Dan tidak merusak hutan yang akhirnya akan mendatangkan bencana. (*)