Mataram (ANTARA) - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat merampungkan petunjuk jaksa terkait kasus perekrutan pekerja migran Indonesia yang berjalan tidak sesuai prosedur.
"Petunjuk jaksa sudah kami rampungkan dan akhir pekan lalu berkas milik tersangka kembali kami limpahkan ke jaksa," kata Kepala Subbidang Remaja, Anak, dan Wanita Ditreskrimum Polda NTB Ajun Komisaris Besar Polisi Ni Made Pujawati di Mataram, Jumat.
Dengan adanya pelimpahan tersebut, kini penyidik menunggu hasil penelitian berkas oleh jaksa peneliti pada Kejaksaan Tinggi NTB.
Pujawati optimistis hasil penelitian jaksa kali ini akan menyatakan berkas lengkap atau P-21. "Iya, semoga bisa disegerakan. Kami menunggu," ujarnya.
Kasus perekrutan pekerja migran nonprosedural ini kali pertama terungkap dari adanya laporan korban pada akhir September 2022.
Berdasarkan tindak lanjut laporan, polisi berhasil mengungkap peran tersangka dari penangkapan pada 7 November 2022. Polisi menangkap dua orang yang berperan sebagai perekrut.
Keduanya yang kini berstatus tersangka adalah seorang perempuan berinisial SN (37) alias Ela, asal Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, dan MU (47) alias Tuan Zaki, asal Desa Sandik, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat.
Penyidik menetapkan keduanya sebagai tersangka berdasarkan adanya alat bukti kuat, seperti dokumen pribadi yang mengatasnamakan korban, antara lain kartu identitas, paspor korban, dan kuitansi pembayaran untuk proses perekrutan.
Penetapan keduanya sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan korban yang berjumlah sembilan orang.
Selain menyita barang bukti dan keterangan dari para korban, pihak kepolisian juga mengantongi keterangan ahli dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia maupun Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB.
Kedua tersangka juga terungkap menjalankan modus kejahatannya dengan menjanjikan korban sebagai pekerja migran di Arab Saudi. Janji tersebut akan terpenuhi apabila korban menyerahkan uang Rp22 juta.
Kedua tersangka membahasakan uang Rp22 juta itu sebagai biaya seluruh kebutuhan administrasi bekerja di luar negeri, seperti pembuatan paspor, cek kesehatan, dan pengurusan visa kerja.
Dalam berkas milik kedua tersangka, penyidik menerapkan sangkaan pasal 81 juncto pasal 69 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman pidana hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Kini kedua tersangka sedang menjalani penahanan di Rutan Polda NTB terhitung sejak penangkapan pada 7 November 2022.