Bambang Laresolo temukan `Passion` pada Secangkir Teh

id Bambang Laresolo

Bambang Laresolo temukan `Passion` pada Secangkir Teh

Kedai teh Laresolo membaur dengan alam (Ist)

Ada orang Australia, Perancis, Swiss dan Canada, yang telah mencicipi secangkir teh di kedai saya. Dan mereka antusias meresapi rasanya, kemudian spontan mencetuskan membeli teh dan dibawa ke negara masing-masing
Melewatkan perguliran waktu dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya minum teh, serta menawarkan sensasi seruput teh kepada wisatawan asing yang sedang bertandang ke Indonesia, menjadi ritme keseharian lelaki yang dikenal dengan panggilan Bambang Laresolo ini.

"Ada orang Australia, Perancis, Swiss dan Canada, yang telah mencicipi secangkir teh di kedai saya. Dan mereka antusias meresapi rasanya, kemudian spontan mencetuskan membeli teh untuk dibawa ke negara masing-masing," kata lelaki bernama asli Bambang Muhtar Rusdianto.

Kedai teh itu diberi nama Kedai Teh Laresolo, hingga membuat lelaki ini lebih dikenal sebagai Bambang Laresolo. Perihal penyematan nama Laresolo sebagai `brand` usahanya, karena Kota Solo merupakan tempat kelahiran Bambang.

Memilih usaha di bidang teh, ujar lelaki 10 April 1965 ini, menjejakkan catatan bersejarah yang cukup berliku di lintasan kehidupan Bambang. Semula, lelaki ini menekuni pekerjaan sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Terpikir olehnya jika tiba waktunya berhenti kerja kelak saat usianya menapak senja, maka dirinya tidak akan mendapatkan uang pensiun.

Pemikiran ketiadaan uang pensiun, membuat Bambang pada tahun 1997 memutuskan menekuni usaha sampingan di bidang fotografi, dengan harapan memiliki kesejahteraan hidup yang lebih maksimal. Sayangnya, usaha ini tidak menerbitkan masa depan gemilang. Bambang kembali berganti haluan di bidang desain, namun lagi-lagi tidak ada perkembangan berarti pada usaha tersebut.



Komunitas Pecinta Teh

"Setelah berbagai usaha saya coba, namun tidak kunjung mendapatkan kemantapan, akhirnya saya menginstropeksi diri. Mencoba bertanya pada diri, apa gerangan hal yang paling saya gemari, dan kemudian teringatlah saya pada bidang menulis yang sudah lama saya sukai," katanya.

Salah satu penulis favorit Bambang adalah Bondan Winarno. Dia sangat menyukai gaya bahasa Bondan yang dibaca pada sebuah kolom tetap di majalah Tempo. Ketika mencermati tulisan Bondan yang sudah dibukukan, lelaki ini mendapati bahwa penulis favoritnya itu sudah berganti `passion` dan memiliki Komunitas Jalan Sutra. Pada komunitas inilah, Bambang bergabung dan belajar menuliskan pengalamannya saat melakoni kegiatan jalan-jalan, disertai eksperimen mencoba kuliner setempat, termasuk kegiatan mengesankan ketika minum teh di berbagai daerah.

"Saya mulai mengulas merk-merk teh yang ada di supermarket. Banyak anggota komunitas yang kemudian menyukai tulisan saya dan sebagian mengirimkan teh koleksinya untuk saya cicipi. Teh pertama yang saya cicipi dan belum pernah saya dengar namanya adalah teh puerh dan silver needle," ucap dia.

Kegiatan mencicipi dan mengulas teh, membukakan kesadaran Bambang betapa teh adalah dunia yang teramat menarik untuk dikembangkan. Baik dari sisi ragam, proses seduh, dan seni budaya yang terkandung di dalamnya. Teh dikenal sebagai minuman yang kaya antioksidan, berkhasiat mencegah kanker dan penyakit jantung, melancarkan sirkulasi darah, serta berbagai khasiat lainnya, hingga menjadikan minuman ini begitu bermanfaat bagi manusia.

"Makin banyak pengalaman minum teh yang saya tulis, kian banyak pula kiriman teh untuk saya coba. Di titik ini, saya akhirnya saya menemukan dan menyadari passion saya terhadap teh. Saya mulai mengeksplore lebih jauh tentang teh, mencoba googling untuk menambah pengetahuan serta berkumpul dengan teman-teman yang memiliki passion yang sama," ujar Bambang.

Menurut dia, berkegiatan kumpul-kumpul bersama pecinta teh, akhirnya mempertemukan Bambang dengan Ratna Somantri, yang sudah terlebih dahulu membuka `tea house` bernama Tea Gallery. Pada bulan Juli 1997, Bambang diminta Ratna membantu untuk membentuk sebuah komunitas pecinta teh. Ratna sebagai `founder` dan Bambang sebagai co-founder. Melalui komunitas ini, ilmu mengenai seluk-beluk teh dan `networking` Bambang semakin meluas.

Berniat secara total menggeluti dan berbagi ilmu tentang teh, selain di Komunitas Jalan Sutra, Bambang pun menuliskan pengalaman berkecimpung di bidang teh pada milis komunitas pecinta teh lain dan media sosial yang saat itu ngetren, yaitu Multiply. Terdorong niatnya sudah menggebu bahwa tehlah yang akan menjadi jalan hidupnya, maka Bambang kemudian membuat blog khusus tentang teh.

Bambang sama sekali tidak menyadari jika pada akhirnya, blog tersebut menjadi `personal branding` bagi dirinya dan membuatnya makin dikenal sebagai orang yang berpengetahuan di bidang teh.

Ketenarannya membuat lelaki itu menjadi sering diminta menjadi narasumber di perbagai media dan perusahaan yang berkaitan dengan teh. Mulai dari siaran radio, televisi, koran, majalah dan `launching` produk teh. Salah satu perusahaan teh skala besar yang telah menggunakan jasa Bambang adalah Futami 17.

Ketika pada akhirnya kesibukan berkegiatan di bidang teh makin bertambah, Bambang mengambil keputusan untuk pensiun dini dari perusahaannya, dan pada tahun 2010 dia mendirikan Kedai Teh Laresolo pertama, yang terletak di di Kompleks Agripark, Bogor. Tiga bulan kemudian, Bambang membuka cabang di Mall Jogja Bogor Junction. Pada tahun 2012 berdiri cabang Kedai Teh Laresolo di Kota Yogyakarta.

Tersedia lebih dari 50 jenis teh dari berbagai negara yang disediakan di kedai itu, antara lain, teh hijau, twinning fruit tea, teh ice cream, tisane, teh putih dan lainnya, disertai delapan pilihan rasa. Pengunjung di kedai kebanyakan memfavoritkan mango green tea dan tisane rasa after dark.

"Kalau disimpulkan, proses bisnis teh saya mencakup passion, networking, personal branding, determining dan sharing," katanya.



Belajar Otodidak

Persentuhan Bambang dengan teh, tidak terjalin dalam masa singkat. Ada rentang waktu panjang, yang terjalin seiring pertumbuhan usianya, melewati hari, bulan hingga berjalannya tahun di sepanjang kehidupannya.

"Sejak masih kecil, keluarga saya nyaris tidak pernah minum air putih. Setiap hari, kami selalu minum teh. Kebiasaan ini berlangsung hingga saya dewasa, sampai tidak menyadari betapa teh begitu melekat dan menjadi minuman yang tidak terpisahkan pada keluarga saya," kata lelaki yang merupakan alumnus D3 Ekonomi - Universitas Gadjah Mada.

Begitu dekatnya dengan teh, maka begitu memutuskan untuk konsentrasi menggelutinya sebagai bisnis, maka Bambang melengkapi pengetahuannya dengan belajar tentang teh secara otodidak. Khusus mengenai keterkaitan teh dengan seni budaya, Bambang sengaja mempelajari `gong fu cha`, seni menyeduh teh Tiongkok dan `cha no yu`, seni menyeduh teh ala Jepang kepada Suwarni, pemilik Siang Ming Tea House yang juga sekretaris Urusanke Tonkai, salah satu organisasi yang mengajarkan tata cara upacara minum teh jepang cabang Indonesia.

Setelah belajar kepada ahlinya, Bambang pun tidak segan berbagi ilmu yang dimilikinya dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya minum teh bagi kesehatan, dan cara menyeduh teh secara benar dengan menggunakan daun teh utuh. Bukan justru memakai teh celup.

Langkah edukasi dilakukan melalui kegiatan `tea sharing` yang dilakukan secara rutin tiap bulan di kedai teh Bambang cabang Yogyakarta, serta menjadi pembicara khusus teh pada berbagai kota.

Meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai kegunaan teh bagi kesehatan, berimbas pada ramainya pengunjung di kedai Bambang. Baik kedai di Bogor atau Yogyakarta selalu diminati pengunjung dari berbagai daerah, serta sering kali terlihat turis asing yang menyempatkan singgah untuk merasakan kehangatan teh di kedai Bambang.

"Kalau di rata-rata, omzet yang didapat dari kedai adalah Rp2 juta per hari, hasil penjualan teh yang harga per gelasnya Rp5 ribu - Rp40 ribu. Saya sudah bersyukur dengan perkembangan usaha ini, karena paling tidak bisa menghidupi 10 karyawan yang bekerja di kedai teh," ucap Bambang, seraya menjelaskan bahwa `workshop` pembuatan teh dilakukan di rumahnya.

Peminat yang datang ke kedai, mayoritas memesan teh racikan khusus, yang tidak dijumpai di tempat lain. Kalangan usia peminat teh adalah rentang umur remaja, dan hanya sebagian kecil yang telah menginjak dewasa.

Kendati kian hari peminat teh makin ramai di kedai, tapi Bambang juga fokus memasarkan teh produk Laresolo ke berbagai kafe. Saat ini, ada tujuh kafe yang sudah dipasok bahan baku teh Laresolo. Kafe itu terletak di Surabaya, Bandung dan Jakarta.

Menyinggung soal kendala, Bambang menyebutkan sampai kini dirinya masih tidak henti melakukan pengenalan ragam teh kepada masyarakat, mengingat variannya sebenarnya cukup banyak. Namun sayangnya, masyarakat hanya mengetahui yang itu-itu saja.

Jika masyarakat sudah paham dengan varian, ujar Bambang, dirinya memiliki keinginan supaya produk tehnya dapat menjangkau pasaran luar negeri. Selama ini, pengusaha melakukan ekspor teh dalam kemasan tanpa mengusung merk, padahal Bambang menginginkan teh `brand` lokal dapat berkibar di luar negeri.

"Saya juga ingin mengambil alih distribusi teh di hotel dan kafe yang selama ini dikuasai oleh merk asing. Semoga ini dapat terwujud," kata Bambang penuh harapan.

*) Penulis buku dan artikel