Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, merupakan salah satu wilayah terluar Indonesia, dengan penduduk dari berbagai macam agama, suku dan budaya.
Toleransi menjadi pemandangan yang biasa, salah satu yang paling menonjol adalah bangunan rumah ibadah berdampingan di Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur.
Kedua rumah ibadah di Kota Tua Penagi ersebut adalah Masjid Al-Mukarramah milik umat islam dan Klenteng Pu Tek Chi milik umat Khonghucu.
Jarak antara kedua rumah ibadah itu sekitar dua meter, dengan ukuran yang hampir sama. Saat ini Masjid Al Mukarasama dalam tahap renovasi.
Meski dibangun bersebelahan, tidak pernah terdengar salah satu umat agama saling mengutarakan komplain karena merasa tidak nyaman atau mereka saling melarang saat salah satu umat untuk melaksanakan ibadah. Mereka hidup berdampingan dengan damai, hingga puluhan tahun.
Toleransi yang mereka jalankan sebatas menyediakan ruang untuk masing-masing agama menjalan ajaran dari keyakinannya sesuai dengan tuntunan yang telah tertulis dalam kitab agama yang mereka yakini.
Tingginya toleransi di Natuna membuat wilayah itu ditetapkan oleh Kementerian Agama sebagai Kampung Modernasi Beragama.
Dengan ditepkan sebagai kampung modernasi beragama, diharapkan hubungan harmonis yang selalu terjaga dapat menular ke berbagai daerah lainnya di Indonesia. Pada akhirnya akan memperkokoh toleransi antarumat beragama di Tanah Air.
Selain Kampung Tua Penagi di Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, Kementerian Agama juga menetapkan Kelurahan Sedanau yang berada di Kecamatan Bunguran Barat, dengan status yang sama.
Budaya
Masyarakat Natuna, mayoritas bersuku Melayu dan berbahasa Melayu. Bahaya Melayu yang digunakan masyarakat daerah itu identik dengan Bahasa Melayu Terengganu di Malaysia.
Kondisi demikian dikarenakan pemimpin pemerintahan pertama di daerah itu merupakan Datuk Kaya, yang merupakan keturunan Kesultanan Patani yang pernah menguasai semenajung Malaya bagian utara, yakni Klantan dan Terengganu.
Pastinya Budaya Melayu tumbuh subur di Natuna. Meskipun demikian, Suku Melayu di pulau itu tidak pernah melarang suku lainnya untuk melestarikan budaya mereka.
Suku-suku dari luar tanah Melayu bebas mementaskan atau menampilkan budaya yang mereka miliki untuk diekspresikan di daerah itu.
Ragam budaya di luar Melayu itu, contohnya upacara sedekah bumi yang dilakukan oleh Suku Jawa yang mayoritas bermukim di Kecamatan Bunguran Tengah.
Bahkan Pemerintah Kabupaten Natuna kerap mengirimkan perwakilan untuk menghadiri acara dari budaya di luar Suku Melayu tersebut.
Sedekah bumi merupakan tradisi yang kerap dilakukan Suku Jawa setiap satu tahun sekali, biasanya setelah panen hasil pertanian.
Tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki melalui Bumi, berupa segala bentuk hasil panen dari yang mereka tanam.
Biasanya kegiatan itu selalu dimeriahkan dengan pementasan tarian kuda lumping yang merupakan salah satu warisan budaya seni dari Suku Jawa.
Tidak hanya itu, bukti kalau masyarakat Suku melayu Natuna tidak pernah menolak pada budaya luar, terlihat pada Tahun 2023, tepatnya pada perayaan 17 Agustus. Para pegiat budaya dari masing-masing suku juga diberi ruang oleh pemerintah daerah setempat untuk menampilkan kesenian dari suku masing-masing guna menghibur dan mengenalkan budaya mereka kepada para penerus serta masyarakat dari suku lainnya.
Kegiatan itu tidak pernah diprotes oleh masyarakat tempatan, bahkan mereka turut memeriahkannya dan membantu suku lainnya mencari keperluan untuk membuat pakaian serta atribut yang diperlukan.
Kegiatan yang diikuti ribuan masyarakat dari berbagai suku itu berlangsung sukses dan meriah serta direncanakan akan kembali digelar pada tahun 2024.
Saling membantu
Tingginya sikap toleran dalam bentuk lainnya yang bisa dilihat pada saat penyambutannya peringatan hari besar dari agama tertentu, seperti pada perayaan Tahun Baru Imlek dari umat Konghucu.
Pada malam perayaan tahun baru Imlek berlangsung, warga dari Suku China dan umat beragama yang memiliki paham yang sama di Natuna akan menghiasi klenteng dan jalan-jalan menuju klenteng dengan lampu-lampu lampion yang didominasi warna merah.
Selain itu mereka juga memasang lampion di rumah-rumah mereka.
Pada proses pemasangan lampion-lampion tersebut juga dibantu atau dilakukan oleh masyarakat dari suku lainnya.
Hal yang tidak tidak kalah unik adalah pemain dari pementasan barongsai di Klenteng Pu Tek Chi di Kota Tua Penagi, Kecamatan Bunguran Timur, berasal dari masyarakat suku lain, yakni Melayu dan beragama Islam.
Para penonton yang menyaksikan pementasan seni juga mayoritas berasal dari masyarakat suku dan agama lain.
Begitu juga perayaan hari raya umat Islam, umat agama lainnya akan turut memeriahkan dengan caranya masing-masing.
Benuk dukungan itu, salah satunya dengan ikut berkeliling saat takbiran dan mereka yang memiliki usaha toko sembako biasanya memberikan bonus minuman berkarbonasi atau minuman kaleng lainnya kepada pelanggan beragama islam yang berbelanja di toko itu, agar umat islam bisa menyajikan minuman tersebut saat ada tamu berkunjung ke rumah di masa Lebaran.
Ada juga yang membantu menyumbangkan uang kepada karang taruna untuk membuat tempat memasang lampu colok dan membeli bahan bakar lampu colok serta peralatan lainnya untuk membuat lampu colok yang biasanya dipasang pada malam takbiran (Idul Fitri maupun Idul Adha).
Dari contoh tersebut kita bisa melihat bahwa umat beragama di Natuna berhasil berbagi serta menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan dari perbedaan di setiap agama dan suku masing-masing, tanpa merasa terancam atau merasa keyakinan maupun hak-haknya dihalangi. Natuna telah memberikan contoh bagaimana Indonesia memang dibangun dari fondasi agama, budaya dan suku yang berbeda-beda, namun tetap bersatu dalam suasana damai.