Akun WA tak bisa diakses, Senator Lia Istifhama kisahkan jenis kejahatan yang satu Ini

id akun wa tak bisa diakses,senator,Lia Istifhama ,kejahatan

Akun WA tak bisa diakses, Senator Lia Istifhama kisahkan jenis kejahatan yang satu Ini

Senator Lia Istifhama (ANTARA/Dok Lia Istifahma)

Surabaya (ANTARA) - Setelah sebelumnya akun wikipeda menghilang, lagi-lagi aktivis sosial yang kini berhasil meraih suara signifikan dan mengantarnya sebagai senator Jatim, Dr. Lia Istifhama, menjadi korban cyber crime. Adalah akun WhatsApp pribadi yang selama ini menjadi penghubungnya dengan banyak orang, termasuk konstituen, tidak bisa diakses mulai Sabtu (27/4/2024) dini hari.

Menurut Ning Lia sapaan akrab keponakan Khofifah itu, melalui pesan WA nomernya yang lain, pada (28/4), mengatakan bahwa dirinya memang tergolong orang yang gemar bersosialisasi dan aplikasi WhatsApp menjadi salah satu sarananya.

“Malam sebelum kejadian akun WA tiba-tiba tidak bisa digunakan, saya sempat menggunakan secara normal-normal saja. Bahkan memang malamnya saya hanya mengunggah story terkait penganugerahan yang saya terima. Juga ada story terkait beberapa isu yang tengah berkembang di masyarakat, dan memang sudah passion saya untuk turut berpendapat atau menyuarakan apa yang bagi saya penting untuk disuarakan,” jelasnya.

Diketahui, politisi yang juga penulis itu sempat berbicara terkait sikap protesnya ada pelarangan jam operasional 24 jam warung Madura dan wacana pemberlakukan perda terkait tempat hiburan. Diantara yang tampak adalah sikap tegasnya menolak warung karaoke yang menjamur di tengah pemukiman yang kental dengan kultur religiusnya.

“Tapi tiba-tiba pas subuh buka WA, muncul di layar, sebuah tulisan ‘Akun Ini Tidak Dapat Lagi Menggunakan WhatsApp’, yah pasti kaget lah. Dan ini bukan karena saya membuka apk atau aplikasi apapun, tapi murni tiba-tiba log out otomatis. Jumlah grup yang saya ikuti juga dalam jumlah yang normal, itu pun grup-grup yang afiliansinya hanya terkait grup keluarga, dunia pendidikan, organisasi sosial, dan politik. Jadi sepertinya ada yang sengaja melaporkan dan sayangnya, tidak ada hak jawab atau hak sanggah ya,” ujarnya dengan tersenyum.

Atas pengalaman kurang nyaman yang dialaminya, ning Lia justru mengisahkan kisah lain terkait aktivitas online. 

Adalah transaksi online yang menjerat salah satu temannya dengan kerugian 10 juta rupiah. Kisah ini menurutnya, perlu disampaikan ke publik karena tergolong jenis kejahatan yang belum viral. Sekalipun, pelaku kejahatan menyeret nama besar ‘bea cukai’. Seperti apa kisahnya?

“Sekarang kan masih sangat viral, ya? Terkait polemik mahalnya beban bea masuk, sekalipun sudah dijelaskan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai bahwa beban tersebut didasari atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda, namun saya ada kisah lain yang saya kira penting juga untuk menjadi atensi dan kehati-hatian bersama,” jelas pemilik tagline peran CANTIK, cerdas, inovatatif, kreatif tersebut.

“Saya kira perlu menyampaikan kisah nyata yang kebetulan terjadi pada teman saya. Bahwa teman saya ini membeli pakaian via online melalui aplikasi Instagram. Promonya menggiurkan jadi wajar jika kemudian tertarik untuk membeli, yaitu sebuah gamis cantik seharga 400 ribuan.”

“Tapi kemudian masalah datang. Dimana ketika barang tersebut telah dibayar, beberapa hari kemudian seseorang yang mengaku dari pihak bea cukai, menelpon teman saya dan menyampaikan bahwa barangnya tertahan karena ada ‘barang haram’ atau ganja, di dalam paket tersebut.”

Secara detail dan lugas, ia pun menyampaikan bagian kisah yang memilukan.

“Mungkin karena pintarnya pihak penipu yang mengarang cerita, teman saya pun syok. Terlebih, pihak yang menjual gamis tersebut, turut membumbui bahwa mereka tidak tahu mengapa ada ganja namun mereka akan mengganti biaya tersebut, jika teman saya mau membayar terlebih dahulu agar tidak ada persoalan hukum yang menjerat mereka. Sekalipun secara logika, seharusnya teman saya menyadari bahwa dirinya tidak salah sama sekali.”

“Karena sudah terpedaya, akhirnya teman saya yang takut dengan segala ancaman penjara dan sebagainya sekalipun jelas itu cerita yang sangat fiktif, namun ia kemudian berhasil tertipu dengan membayar sekitar 10 juta agar masalah tersebut selesai. Barulah setelah mentransfer, ia menyadari bahwa dirinya korban penipuan.”

Dari kisah itu, ning Lia menyampaikan bahwa masyarakat sangat membutuhkan sosialisasi terkait pengiriman barang.

“Sesaat setelah kejadian, teman saya bercerita kepada saya dan kebingungan untuk mencari kontak pihak bea cukai untuk diwaduli terkait itu. Jadi saya kira pesan yang bisa dipetik adalah pentingnya sosialisasi, baik dari pihak bea cukai, Kanwil maupun kantor tipe madya, misalnya, terkait jenis barang seperti apa yang melibatkan mereka, dan mana yang tidak. Agar tidak ada peluang dari kejahatan para penipu untuk memanfaatkan nama instansi tersebut.”

Ning Lia sendiri, terkait kasus tersebut, tidak bisa mengangkat ke ranah hukum karena korban tidak mau melapor.

“Sebenarnya saya sudah menyampaikan terkait saran pelaporan. Namun korban memilih tidak melapor karena banyak pertimbangan. Jadi saya hanya bisa mencoba mengangkat kasus ini publik dengan tujuan memberikan edukasi agar masyarakat selalu berhati-hati dengan berbagai modus penipuan.”

“Jangan mudah panik jika ada pihak asing yang menakut-nakuti, karena memang penjahat kebanyakan bermain dengan cara menekan psikologis korban, diantaranya melalui ancaman itu,” pungkasnya.