Yogyakarta (ANTARA) - Pasca kehadiran pagar laut Tangerang sepanjang 30,16 kilometer yang ramai diperbincangkan oleh warganet Indonesia, melalui cuitan akun @thanthowy di media sosial X melalui aplikasi Bhumi Kementerian ATR/BPN. Pada area yang berada di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo terdapat pagar laut yang mana di dalamnya memiliki Hak Guna Bangunan (HGB).
HGB seluas 656,58 hektare menimbulkan pertanyaan yang terlintas di kepala, siapa pemiliknya dan bagaimana bisa area perairan memiliki HGB, mengingat permasalahan ini berkaitan langsung dengan lingkungan atau penghilangan sumber rezeki warga.
Sebelum menjawab, ada baiknya kita melihat ke belakang motif fenomena HGB di atas area perairan ini terbentuk yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1996 oleh perusahaan properti PT Semeru Cemerlang dan PT Surya Inti Permata.
Kesaksian warga sekitar yang bermukim di sekitar kawasan bahwa pagar-pagar kayu sempat ditancapkan untuk menjadi pembeda tanah milik perusahaan dan milik warga, namun pagar kayu itu hilang tergerus ombak sebab pemiliknya melihat bahwa HGB lahan laut tersebut habis pada tahun 2026. Seharusnya, kepemilikan HGB itu sudah dapat segera dicabut oleh para pengambil kebijakan karena berbagai alasan.
Merujuk pada PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, HGB yang dimiliki oleh dua perusahaan di Sidoarjo tersebut telah menyalahi mengingat HGB hanya diperbolehkan berdiri di atas tanah bukan di atas perairan seperti yang terjadi sekarang.
Selain itu, berbicara soal pemanfaatan wilayah perairan, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-3K) telah mengatur bahwa pengelolaan wilayah perairan memang harus berizin pengelolaan PWP-3K yang jelas berbeda dengan HGB. Belum lagi terdapat Perda No. 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur tahun 2023-2043, HGB yang terletak di timur Sidoarjo itu berdempetan dengan kawasan ekosistem mangrove yang berada di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo serta kawasan lindung Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya).
Eksistensi kawasan hutan mangrove tentu secara langsung terancam apabila pemilik HGB merencanakan pengerukan lahan baru atau reklamasi,mengingat pemilik bergerak di sektor properti yang menguntungkan bagi segelintir kalangan.
Menyoal HGB, pada bulan Maret, 2024 pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru, salah satunya adalah Surabaya Waterfront Land (SWL) yang kabarnya tidak menggunakan anggaran negara melainkan menggunakan pembiayaan swasta. Lokasi SWL tepat berada di sebelah utara area HGB yang ada di Sidoarjo.
Merujuk pada perencanaan SWL, proyek untuk menguruk lahan reklamasi di area perairan timur Surabaya seluas 1.048 hektare termasuk sembilan muara untuk membuka kawasan urban baru yang meliputi wilayah residensial, komersial, industri, serta wisata. Bukan suatu kebetulan apabila motif dari pemilik HGB di Sidoarjo sama dengan penggarap PSN yakni PT Granting Jaya.
Hal ini mendatangkan respons warga terutama dari kalangan nelayan yang memiliki mata pencarian di kawasan tersebut yang tentu menolak keras adanya proyek SWL. Nelayan dan warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3) pada Desember 2024 lalu mempertanyakan ulang manfaat dari proyek yang digadang-gadang akan jadi “Pantai Indah Kapuk cabang Surabaya” ini.
FM3 menyoroti penggusuran lahan dapat mengganggu aktivitas penangkapan ikan serta ancaman langsung terhadap ekosistem laut mengingat lahan berdekatan dengan Pamurbaya dan ekosistem mangrove. Dukungan terhadap aksi FM3 juga dilontarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur atau WALHI Jatim juga menyoroti proyek SWL yang melakukan penggusuran secara “halus” di kawasan FM3.
Kerusakan ekosistem tidak hanya timbul di laut dengan dibangunnya bendungan laut SWL. Kawasan sekitar seperti Gunung Penanggungan akan dapat dieksploitasi untuk keperluan material SWL. Jika nekat dipaksakan, tentunya proyek SWL berdampak panjang sehingga menimbulkan efek domino. Ambil contoh pada ekosistem mangrove yang rusak, berapa kubik air akan masuk Kota Surabaya dengan adanya banjir rob di wilayah pesisir Surabaya dan sekitarnya.
Kembali pada persoalan HGB di Sidoarjo yang juga berada di area ekosistem mangrove, pada Desember 2024 satu wilayah Sedati mengalami banjir rob cukup parah yang merugikan warga khususnya pemilik tambak hingga ratusan juta rupiah.
Bencana rob hampir terjadi tiap tahun dan sampai sejauh ini tidak ada tindak lanjut yang signifikan dari Pemerintahan Kabupaten setempat. Jika HGB di Kecamatan Sedati, dipergunakan selayaknya SWL, maka bisa dibayangkan bagaimana ke depannya bencana banjir rob yang terjadi di Sidoarjo.
Buntut dari viralnya kasus HGB Sidoarjo membuat permasalahan PSN SWL kembali naik dengan sikap penolakan yang datang dari Komisi C DPRD Kota Surabaya. Alasan yang diutarakan adalah dampak berkepanjangan pada lingkungan Kota Surabaya dan sekitarnya khususnya banjir hingga kesejahteraan nelayan di kawasan Kenjeran dan Bulak.
Selain itu para anggota juga mempersoalkan rekam jejak PT Granting Jaya yang mengelola Atlantis Land di Kenjeran. Pembangunan Atlantis Land tidak memiliki dampak secara langsung pada warga sekitar.
Melihat kembali banjir Surabaya yang terjadi pada malam perayaan hari Natal, tepatnya 24 Desember 2024 lalu, sejumlah kawasan terkepung air dengan durasi yang sangat lama. Padahal, penanganan banjir di Kota Surabaya menjadi fokus utama dari pemerintah dengan kisaran dana pada APBD sekitar Rp1,4 triliun hanya untuk mengentaskan kepungan-kepungan air yang hampir setiap tahun menghantui warga kota.
Upaya Pemkot sendiri belum maksimal dalam mencegah serta menangani bencana banjir yang acapkali terjadi termasuk membiarkan proyek SWL yang mengancam mata pencaharian warganya serta lingkungan. Apabila terus diterobos, maka besar kemungkinan akan datang bencana banjir yang lebih dahsyat dan membawa malapetaka bagi para warga.
Oleh karena itu, suara penolakan yang datang dari Komisi C DPRD Kota Surabaya perlu diapresiasi dan dikawal dengan baik oleh warga. Mengingat SWL menyangkut isu lingkungan dan hajat hidup warga, terutama sekali kelompok masyarakat nelayan. Keberpihakan pemerintah pada kepentingan rakyat perlu diutamakan, daripada hanya sebatas mengakomodasi keuntungan segelintir orang.
Sebab berdasar syarat berdirinya sebuah negara-bangsa sudah sepatutnya rakyat diposisikan sebagai pemilik dari negara ini terutama ketika rakyat telah membayarkan pajaknya, adapun pemerintah hanyalah menjalankan mandat dari rakyat yang telah memberikan materi dan kepercayaan. Ke depan, sebagai masyarakat kita tentu perlu melek terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan serta kinerja para pelayan rakyat, dengan tetap kritis terhadap keadaan.
*) Penulis adalah Pemerhati Kawasan Lingkungan Perkotaan dan juga Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada