KEJARI BIMA TERBURUK DALAM PENANGANAN KORUPSI TAHUN 2008

id

     Mataram, 19/1 (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bima yang membawahi wilayah hukum Kabupaten dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menempati urutan terburuk dalam penanganan kasus dugaan korupsi selama tahun 2008.    
     "Kejari Bima yang terburuk karena tidak ada kasus dugaan korupsi yang sampai ke tahapan penuntutan meskipun ada dua kasus yang disidik," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB, H.M. Amari, SH, di sela-sela Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Kejaksaan se-NTB, di Mataram, Senin.
     Amari mengatakan, salah satu agenda Rakerda Kejaksaan se-NTB itu yakni evaluasi kinerja Kejari, termasuk dari aspek penanganan kasus dugaan korupsi.
     Dari hasil evaluasi, kinerja terbaik dalam penanganan kasus dugaan korupsi diraih Kejari Dompu yang mampu membawa tiga kasus dugaan korupsi hingga tahapan penuntutan.
     Kinerja penanganan kasus dugaan korupsi Kejari Bima terburuk karena tidak mampu membawa kasus dugaan korupsi hingga tingkatan penuntutan, meskipun menangani dua kasus dalam tahapan penyidikan.
     Kejari lainnya dikategorikan cukup baik karena ada perkara dugaan korupsi yang sampai tahapan penuntutan, termasuk Kejari Mataram sebanyak dua kasus.
     Namun, Kejari Bima belum layak diberikan sanksi karena masih ada kasus dugaan korupsi yang ditangani dan pimpinan beserta penyidiknya mampu memberi alasan yang logis.
     "Menurut ketentuan di kejaksaan kalau masih ada kasus dugaan korupsi yang ditangani hingga penyidikan dalam setahun berarti masih bisa dianggap berkinerja dan diberi nilai 66, kecuali tidak ada sama sekali," ujarnya.
     Amari mengatakan, rekomendasi lainnya yang dihasilkan dalam Rakerda Kejaksaan se-NTB itu yakni kesepakatan penanganan kasus dugana korupsi antara Kejati NTB dan Kejari di berbagai kabupaten/kota.
     Telah disepakati bahwa kasus dugaan korupsi dengan perkiraan nilai kerugian negara diatas Rp100 juta, sebaiknya ditangani penyidik Kejati NTB yang memiliki dukungan penyidik dan dukungan lainnya yang relatif memadai.  
     "Namun, pola penanganannya bisa dalam bentuk 'sharing' data dan informasi agar ada percepatan penyelesaian berkas perkara hingga tahapan penuntutan," ujarnya. (*)