Mataram (ANTARA) - Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memastikan penjualan aset tanah seluas 6,9 hektare dalam bentuk kaveling di Dusun Punikan, Kecamatan Lingsar, itu berstatus ilegal.
Kepala BPKAD Lombok Barat Fauzan Husniadi yang ditemui usai memberikan klarifikasi ke jaksa di Kantor Kejati NTB, Selasa, mengatakan, lahan yang diklaim milik perorangan itu hingga kini masih tercatat sebagai aset Pemkab Lombok Barat yang dikelola dinas pertanian.
"Jadi kalau bicara mengenai status, tanah itu masih menjadi aset pemda. Jadi kegiatan yang ada di sana (jual beli tanah kaveling) itu jelas ilegal," kata Fauzan.
Terkait dengan adanya penyewaan lahan tersebut, Fauzan membenarkannya. Namun demikian, sewa lahan perorangan oleh penggarap dari warga sekitar itu telah berakhir di tahun 2017.
"Sewanya juga ada pencatatannya, semuanya ada di sana (Dinas Pertanian Lombok Barat). Sewanya waktu itu kalau tidak salah dalam kuitansi-nya Rp4 juta pertahun," ujarnya.
Setelah sewa berakhir, lanjutnya, aset berupa lahan perkebunan tersebut kembali dikelola oleh Dinas Pertanian Lombok Barat.
Fauzan menghadap jaksa pidana khusus hingga pukul 17.00 Wita. Dia hadir ke hadapan penyidik memberikan klarifikasi bersama Kadis Pertanian Lombok Barat Muhur Zohri.
Terkait dengan agenda klarifikasi pejabat Pemkab Lombok Barat ini, Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan membenarkannya.
"Iya, keduanya dimintai keterangan terkait kasus dugaan penjualan aset yang sekarang masuk dalam penyelidikan pidsus," kata Dedi.
Pada tahun 2017, lahan yang berada dalam status kelola Dinas Pertanian Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Setelah kepemilikan beralih, meskipun belum ada eksekusi pengadilan, lahan diduga diperjualbelikan dalam bentuk kaveling. Nilai jualnya diperkirakan mencapai Rp2 miliar.
Terkait dengan peralihan tersebut, pihak kejaksaan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).
Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK mengklaim lahan seluas 6,9 hektare tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Dia menggugat pengurus lahan berinisial IW yang menduduki lahan.
IW yang dalam perkara tersebut sebagai tergugat, merupakan pengelola lahan. Penghasilan panen kelapa yang hidup di atas lahan itu disetorkan ke Pemda Lombok Barat. Setorannya Rp4 juta setiap tahun. Sebanyak 490 pohon kelapa diduga sudah ditebang dan dijual.
Kembali dalam gugatannya, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Hasilnya, majelis hakim dalam putusan perdatanya menolak gugatan GHK itu untuk seluruhnya.
Selanjutnya GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Hasilnya berbeda, majelis hakim menerima banding GHK serta membatalkan putusan PN Mataram dan menyatakan lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orang tuanya berinisial GGK.
Putusan bandingnya menyebutkan tergugat untuk menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat.
Dasar putusan banding itu pun yang menjadi dasar GHK mengajukan ke BPN Lombok Barat untuk menerbitkan kepemilikan lahan.