Mataram, 25/5 (ANTARA) - Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, menaikkan biaya kuliah kerja nyata tanpa persetujuan rektor, sehingga mahasiswa menggugat.
"Kenaikan biaya Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Rp150 ribu menjadi Rp250 ribu per mahasiswa adalah cacat hukum karena belum ada Surat Keputusan (SK) rektor," kata Kumar Gauraf, ketika menggelar aksi unjuk rasa di gedung rektorat Universitas Mataram (Unram) Rabu.
Di hadapan, Rektor Unram Prof. H. Sunarpi, Ph.D, dan seluruh pembantu rektor serta delapan dekan fakultas yang ada di Unram, ia mempertanyakan kebijakan yang ditempuh oleh Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Unram menaikkan dana KKN.
"Kenaikan biaya KKN tidak rasional. Kenaikan itu juga berarti menjadikan mahasiswa menanggung semua biaya KKN. Lantas pihak kampus mengeluarkan apa. Kenaikan biaya KKN itu juga pasti ada apa-apanya," tegasnya.
Kumar yang menjadi koordinator aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Mahasiswa (GAM) Unram, menilai apa yang dilakukan oleh LPPM sebagai salah satu lembaga di Unram, merupakan wujud kebijakan yang otoriter.
Pihak kampus juga dinilai tidak transparan dalam mengelola anggaran terutama yang dipungut dari para mahasiswa, seperti pungutan untuk biaya pembangunan teknologi informasi sebesar Rp50 ribu per mahasiswa pada 2010.
Janji dari pihak kampus, kata dia, dana tersebut akan dibayar hanya satu kali oleh mahasiswa yakni pada saat baru masuk, tetapi faktanya dana tersebut kembali diminta pada semester dua.
"Fasilitas yang ada di setiap fakultas hingga saat ini masih jauh dari layak. Bahkan, beberapa fakultas yang sudah dibangun sejak tiga tahun lalu hingga saat ini belum memiliki gedung. Kondisi laboratorium juga sangat memprihatinkan," tegasnya.
Rektor Unram Prof. H. Sunarpi, Ph.D, mengakui belum mengeluarkan SK kenaikan biaya KKN secara resmi, namun rencana tersebut sudah dibahas dalam rapat kerja universitas yang dihadiri seluruh pembantu rektor, dekan dan Ketua LPPM.
Atas desakan dari mahasiswa, Sunarpi akhirnya memutuskan untuk menunda kenaikan biaya KKN dan akan membahas kembali masalah tersebut bersama Ketua LPPM.
"Bagi yang belum membayar biaya KKN silahkan membayar dengan biaya yang lama sebesar Rp150 ribu. Bagi yang sudah membayar sebesar Rp250 ribu, akan dikembalikan kelebihannya," ujarnya.
Meskipun sudah diberikan solusi, ratusan mahasiswa kembali menuntut rektor menandatangani surat pernyataan diatas kertas bermaterai 6.000 sebagai bentuk komitmen rektor terhadap para mahasiswa.
Surat pernyataan itu berisi tolak dan kembalikan kenaikan biaya KKN, segerakan transparansi pembangunan, berikan jaminan kebebasan berorganisasi, berkumpul dan berpendapat, wujudkan demokratisasi kampus dan penuhi fasilitas penunjang perkulihan mahasiswa.
Namun, Sunarpi tidak bersedia menandatangani pernyataan tersebut karena salah satu tuntutan yakni transparansi pembangunan tidak bisa dipenuhi dengan alasan hal itu merupakan kewenangan dari lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi memeriksa pengelolaan anggaran.
"Tuntutan yang kedua saya tidak bisa penuhi. Sudah ada lembaga yang melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan anggaran di kampus ini seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kami juga tetap berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) Denpasar," ujarnya.
Adu argumentasi antara rektor dengan mahasiswa yang berlangsung alot itu, sempat menimbulkan ketegangan setelah beberapa mahasiswa hendak melakukan pengejaran terhadap salah seorang dekan yang diduga menganggap mahasiswa yang berunjukrasa melakukan perbuatan gila dengan mengacungkan jari telunjuknya ke dahi.
Namun, ketegangan itu bisa diredam setelah sejumlah mahasiswa lainnya menenangkan rekannya yang emosi. (*)