GUS SHOLAH USULKAN KURIKULUM PANCASILA UNTUK PEJABAT

id

Surabaya (ANTARA) - Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), mengusulkan pelatihan dengan kurikulum Pancasila untuk pejabat dan politisi. "Saya setuju adanya pendidikan Pancasila seperti P4 dihidupkan lagi, tapi saya kira kurikulum itu seharusnya tidak hanya untuk sekolah dan universitas," katanya kepada ANTARA di Surabaya (27/5). Ia mengemukakan hal itu di sela-sela pameran foto bertajuk "Berbingkai Lumpur" yang merupakan hasil bidikan 10 korban lumpur di Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, 25 Mei hingga 11 Juni 2011. Sebelumnya, Rektor PTN se-Jatim yang tergabung dalam Paguyuban Rektor Jatim meminta P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila) diajarkan kembali di sekolah dan kampus dengan materi yang bukan doktrinisasi ala Orde Baru. Menurut Gus Sholah yang juga mantan anggota Komnas HAM itu, politisi, pejabat pemerintah, dan pejabat lembaga-lembaga negara juga perlu pendidikan Pancasila seperti halnya pelajar dan mahasiswa. "Hal itu karena politisi dan pejabat selama ini hanya bicara tentang Pancasila dan bukan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga mereka mampu memikirkan rakyat lebih baik lagi," kata adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu. Mantan Ketua PBNU itu menilai Pancasila bukan hanya solusi untuk menangkal radikalisme dan liberalisme, tapi Pancasila juga mengajarkan solusi radikalisme dan liberalisme adalah mengatasi kemiskinan dan menghapus ketidakadilan. "Saya yakin, Pancasila itu sudah merupakan bentuk yang paling baik untuk masyarakat yang majemuk, karena itu sistem lain seperti negara Islam itu tidak ada gunanya, tapi kalau Pancasila hanya diomongkan juga percuma," katanya. Senada dengan itu, Rektor Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Drs Ec Wibisono Hardjopranoto MS mendukung pembelajaran Pancasila bagi sekolah dan kampus untuk mewujudkan pendidikan karakter yang non-doktrinasi. "Tapi, pembelajaran Pancasila harus ada revitalisasi, sebab di kampus sebenarnya sudah ada pendidikan Pancasila dalam tiga SKS yang digabung dengan pendidikan kewarganegaraan," katanya. Menurut dia, jumlah SKS untuk Pancasila dan agama itu bukan hal yang penting, melainkan bagaimana nilai-nilai Pancasila diajarkan tanpa terjebak pada ritualisme, kosmetik-isme, dan rutinitas. "Harus ada pembelajaran yang membuat Pancasila dapat diterima oleh pelajar dan mahasiswa serta para pemimpin negeri ini sebagai `roh` atau `rujukan` dalam kehidupan sehari-hari," kata Guru Besar Ekonomi Ubaya itu. Misalnya, Pancasila dapat diajarkan melalui dongeng atau praktik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Pancasila dapat juga diajarkan dalam pelajaran atau pelatihan apa pun yang dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. (*)