Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia menilai pencegahan intoleransi di dunia pendidikan bukan hanya menjadi tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab semua pihak.
Menurut Musdah, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, semua pihak di Tanah Air sebagai umat beragama bertanggung jawab memastikan agama yang beredar di tengah masyarakat bersifat inklusif, toleran, dan sesuai dengan Pancasila.
"Jadi, kalau mengaku sebagai orang yang beragama, kita harus toleran. Toleran itu tidak mesti meyakini dan menyetujui keimanan agama lain, tetapi legowo menerima bahwa beragama adalah hak mereka atau hak orang lain,” kata dia.
Hal tersebut dia sampaikan sebagai tanggapan atas kasus pemaksaan penggunaan jilbab yang terus berulang terjadi di Indonesia sehingga menunjukkan bahwa persoalan intoleransi, pemaksaan, dan diskriminasi belum mampu terselesaikan dengan baik.
Musdah menilai kasus ironis yang berkaitan pula dengan persoalan budaya dan persoalan agama itu memang akan terus berulang jika semua pihak tidak tegas mencegah dan menangani persoalan intoleransi di tengah masyarakat.
Lebih lanjut, dia menyampaikan di satu sisi, pemerintah dengan segala sumber dayanya harus mampu menangani persoalan tersebut dengan serius, sistematis, dan menyeluruh atau holistik. Salah satunya, lanjut dia, adalah dengan menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika dan mengedukasi publik bahwa tidak ada benturan antara agama dan Pancasila sebagai hasil pemikiran para pendiri bangsa atau founding fathers.
“Fouding fathers kita sudah sepakat memilih demokrasi, bukan teokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem di mana seorang mau menerima dan melihat orang yang berbeda sehingga tidak boleh ada pemaksaan. Paling tidak, pemerintah harus berusaha menunjukkan keseriusannya,” kata Musdah.
Dia juga menilai peran dan kompetensi guru terhadap pemahaman keberagaman bernilai penting untuk didorong dalam rangka mengatasi persoalan intoleransi serta diskriminasi melalui pemaksaan penggunaan jilbab di dunia pendidikan. Pemerintah ataupun dinas pendidikan, tambah dia, harus mampu menyusun indikator keberhasilan pendidikan yang menekankan pada karakter luhur dan budi pekerti siswa, baik dalam hal agama maupun bernegara.
“Jadi dalam pendidikan agama tertulis guru-guru agama itu harus membangun kesuksesan keberagamaan dan salah satu indikator keberhasilannya itu pakai jilbab, ini. harus direvisi dan clear (diperjelas). Jadi, karakter keberagamaannya yang harusnya didorong,” ucap dia.
Baca juga: Imam besar masjid sebutkan penyebaran narasi intoleran di mimbar agama nyata
Baca juga: Bupati Lombok Timur menyayangkan pernyataan Menteri Agama
Lalu di sisi lain, ia menyampaikan bahwa pihak lain di luar pemerintah, dalam hal ini masyarakat, harus menanamkan di lingkungan keluarganya mengenai pemahaman agama secara tepat agar tidak mengajarkan segregasi atau pemisahan, permusuhan, dan kebencian terhadap yang berbeda. Dengan demikian, mereka pun akan memahami pentingnya tanggung jawab menjaga toleransi di Indonesia. “Masyarakat sipil harus diperkuat literasinya, sehingga terdorong pula tanggung jawabnya,” ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Musdah juga mengkritisi mengenai masih seringnya ditemukan oknum yang secara tidak sadar menghancurkan nilai toleransi berkedok memberi imbauan. Hal tersebut, menurut dia, justru menjadi sesuatu yang mengerikan karena terjadi praktik pelabelan dan penilaian buruk terhadap seseorang yang berbeda.
“Kadang oknum menjustifikasi bahwa berjilbab adalah imbauan. Akan tetapi di lapangan dalam praktiknya, ada sikap tidak menyenangkan, seperti memberi penilaian jelek pada seseorang yang tidak berjilbab serta pelabelan lain. Itu kan pandangan yang salah dan berbahaya karena dalam beragama, tujuannya adalah tentang keluhuran budi,” ujar mantan Wakil Sekjen PP Muslimat Nahdlatul Ulama ini.
Meskipun banyak hal yang masih perlu untuk dibenahi, Musdah mengapresiasi Kemendikbudristek yang sudah sedemikian rupa menyadari pentingnya penyelesaian persoalan intoleransi dengan memasukkannya ke dalam "Tiga Dosa Lembaga Pendidikan", selain perundungan dan kekerasan seksual. Dia bersyukur penyelesaian persoalan tersebut menjadi wacana publik.
“Sebelum ada tiga dosa besar itu kondisinya sangat mengenaskan dan baru sekarang kita sadar serta punya keberanian memberantas kasus intoleransi di dunia pendidikan. Saya bersyukur bahwa ini sudah menjadi wacana publik,” kata dia.
Berita Terkait
BNPT-Kemenhan perkuat kolaborasi cegah paham radikalisme
Kamis, 3 Oktober 2024 21:29
Alwi Shihab katakan intoleransi di Indonesia cukup mengkhawatirkan
Sabtu, 6 Juli 2024 5:04
BNPT mepaparkan sejumlah isu penting akhir tahun 2023
Rabu, 20 Desember 2023 8:26
Undiksha Singaraja menggelorakan semangat anti radikalisme di kampus
Jumat, 3 November 2023 19:50
Kepala BNPT sebut intoleransi adalah bibit utama radikalisme
Sabtu, 9 September 2023 15:37
Pencegahan Napza dan bahaya intoleransi wujud bangun Maluku
Rabu, 30 Agustus 2023 15:15
Bangka Barat luncurkan Airlimau kampung moderasi beragama
Selasa, 15 Agustus 2023 18:41
Psikolog UI kaji gerakan hijrah berkelompok intoleransi beragama
Selasa, 15 Agustus 2023 7:42